webnovel

Kalimat Sakral

Suara mesin penjual otomatis itu terdengar nyaring di telinga Hu Tao, setelah dua buah koin ia masukkan ke dalamnya, Hu Tao menekan dua kali minuman dingin yang ia inginkan juga untuk si sepupu. Hu Tao mengambil kedua minuman itu lalu pergi meninggalkan area tempat berjejernya mesin penjual otomatis di pusat kota Liyue.

"Gue gak tau lo sukanya minuman apa, jadi gue beliin aja—"

Hu Tao tak mendapati John Lee di mana pun, ia meruntuk kesal karena sepupunya itu tak mengindahkan peringatannya untuk tidak mencolok di muka umum selama beberapa hari. Semenjak berita munculnya jawara baru di sekolah, John Lee mulai dicari oleh banyak kelompok, bukan hanya anak-anak sekolah, melainkan bawahan Keluarga Harbingers yang disebut sebagai Fatui.

Hu Tao mengambil ponselnya di saku celana, lagi-lagi ia harus menghela nafas karena perempuan itu tak memiliki nomor telepon John Lee. Hu Tao kembali membungkus minumannya lalu mencari John Lee ke setiap sudut di pusat kota Liyue.

***

John Lee tiba di Rumah Sakit Umum Liyue, dugaannya benar karena saat ia kecelakaan, seingat lelaki itu dirinya sedang berada di Negeri Seribu Kontrak tersebut. Lelaki bersurai hitam itu menelusuri setiap koridor rumah sakit, mencari keberadaan istrinya. John Lee tak bisa lagi menahan rindu serta khawatir karena telah meninggalkan Ei dan calon buah hatinya sendirian, memikirkannya saja sudah membuat hatinya gusar.

'Kamu di mana, Ei?' gumam John Lee sembari melihat ke sana kemari.

Kawanan pria bertubuh kekar datang dari arah berlawanan, seorang perempuan bersurai hitam dengan kacamata hitam di atas keningnya tampak memimpin bawahannya lewat langkah kakinya. Dari sisi John Lee, muncul pula kawanan dokter dengan atribut lengkap namun mencurigakan datang ke area ICU tempat Zhongli sebenarnya dirawat.

"Sudah?" tanya perempuan bersurai hitam itu.

"Kenapa kau membawa anak kecil?" tanya si dokter.

John Lee berada tepat di antara mereka, ia bingung karena mau pergi dari sana pun rasanya tidak mungkin. Saat John Lee sekilas melihat ke celah kaca ruang ICU, ia mendapati dirinya sedang terbaring seorang diri tanpa siapa pun.

'Ini ruangan saya,'

Perempuan bersurai hitam itu mengisyaratkan bawahannya untuk menyingkirkan John Lee dari area ruangan ICU. Tanpa perlawanan, John Lee menurut dengan perintah pria-pria besar yang sedang menggiringnya menjauh dari area tersebut. Ketika ia sampai di depan meja resepsionis, John Lee melihat Raiden Ei dan Yae Miko masuk ke dalam rumah sakit sambil terisak. Namun sayangnya langkah kaki John Lee seolah tertahan karena hatinya ikut sakit melihat penderitaan sang istri.

John Lee memaksakan tubuhnya untuk bergerak. Ada yang aneh, ia tak dapat bergerak sedikit pun entah kenapa.

Suara teriakan dari area ICU mulai terdengar, John Lee pun mendengarnya tetapi tubuhnya masih belum bisa digerakkan.

Dari belakang, seorang pria bersurai putih menyenggolnya hingga ia terjatuh. Namun pria itu sama sekali tak menggubris kondisi John Lee yang sudah seperti mayat hidup.

Raiden Ei dan Yae Miko berusaha melawan kawanan pria berjas hitam sekuat tenaga, mereka berdua berusaha untuk menerobos pintu masuk setelah mengenali bahwa dokter yang datang barusan adalah salah satu anggota Keluarga Harbingers, Dokter Dottore.

"Mau kalian apakan suami saya?!" seru Raiden Ei membabi buta, namun kekuatannya masih kalah jauh dengan sang lawan.

Yae Miko memukul tubuh kawanan berseragam lengkap itu dengan kepalan kecilnya yang tentu tidak terasa sama sekali. Karena sudah hilang kesabaran, mereka mendorong Ei dan Yae Miko hingga terhempas ke dinding rumah sakit.

"Wah, sudah ramai saja," ujar Pierro disusul oleh Arlecchino yang baru saja tiba.

Mata Raiden Ei terbelalak karena kumpulan orang yang selama ini hanya ia dengar melalui berita kini berada di depannya secara langsung. Hawa mengerikan mulai menusuk tubuhnya, bulu kuduknya berdiri diiringi perasaan merinding hanya karena menatap wajah mereka saja.

"Siapa perempuan ini?" tanya Arlecchino bingung.

"Yang rambut ungu itu istrinya Zhongli," jelas salah satu pria bertubuh kekar itu.

Mendengar jawaban yang memuaskan hati itu membuat Arlecchino tersenyum lebar, ia berjalan ke arah Raiden Ei yang masih tersender di dinding.

Perempuan bersurai pendek itu menggenggam erat dagu runcing Ei lalu menatapnya dalam-dalam.

"Sepertinya kamu tidak tahu pekerjaan suami kamu, ya?" tanya Arlecchino sinis.

Raiden Ei hanya menggangguk pelan, ia tak bisa bergerak bebas karena wajahnya kini dicengkram oleh Arlecchino.

"Dia memiliki utang yang belum dibayar lunas kepada keluarga kami—"

"Sudah, Arle. Tidak penting membicarakan itu sekarang," potong Pierro lalu berjalan masuk ke dalam ruang ICU.

Arlecchino menuruti perintah sang suami, ia melepas cengkramannya lalu ikut menyusul ke dalam. Kawanan berjas hitam itu kembali menutupi pintu ruang rawat Zhongli setelah mempersilakan kedua orang penting Harbingers itu masuk.

Kalau saja kamu mengizinkanku untuk melanggar janji itu, sudah kuhabisi mereka semua, runtuk Ei dalam hati.

Yae Miko menoleh pelan ke arah saudaranya, ia tahu persis apa yang dirasakan oleh Raiden Ei saat ini. Sebagai mantan pasukan khusus militer di Inazuma, getaran yang terlihat di tubuh Ei bukanlah karena ketakutan, melainkan agar sabarnya dapat tertahan walaupun sebenarnya sulit.

John Lee berjalan perlahan ke area ruang rawatnya, tubuhnya masih sulit untuk digerakkan secara misterius. Entah apa yang sedang terjadi di dalam ruangan rawat itu, namun ia ingin berbicara dengan sang istri jika diberikan kesempatan.

"Kenapa kau ke sini lagi?!" seru salah satu pria bertubuh kekar.

Mereka berlari ke arah John Lee dengan cepat, Yae Miko dan Raiden Ei menoleh ke arah seorang lelaki berseragam sekolah itu dengan tatapan heran.

"Imperatrix Umbrosa!"

Mendengar kalimat itu berhasil memacu seluruh darah di tubuh Ei hingga bergejolak, jantungnya berdetak 10 kali lebih dari biasanya. Perempuan bersurai ungu itu mengepalkan tangannya sebelum berlari menyusul kawanan yang sedang mengincar John Lee.

'Dari mana bocah itu tahu tentang hal ini?!' gumam Yae Miko tak percaya.

Dalam sekejap mata, kawanan berseragam lengkap itu terjatuh dan tak berdaya dengan luka di sekitar tubuhnya. Raiden Ei kini berada tepat di depan John Lee, ia menatap lelaki itu tak percaya.

"Apa yang kau bilang—"

Petinggi Harbingers keluar dari ruangan ICU setelah mendengar suara keributan di luar, tak disangka seluruh bawahannya yang berjaga kini sudah tak lagi berdaya karena seorang perempuan.

"Apa yang terjadi?!" sentak Pierro kesal.

Tubuh John Lee kembali normal setelah melihat Pierro, Arlecchino, Dottore, dan Columbine. Kini ia mampu berdiri tegak setelah perhatian para Harbingers teralihkan oleh Raiden Ei.

"Kita bicarakan nanti," ujar John Lee dengan suara beratnya.

John Lee melangkah lebih dulu dari Raiden Ei, namun sayangnya takdir berkata lain. Belasan Pasukan Millelith datang melerai kejadian panas itu agar tidak berkelanjutan.

"Bubar! Bubar! Kalian kenapa buat keributan di rumah sakit?!" seru salah satu anggota Millelith.

Pierro menghela nafasnya berat, ia terpaksa mengikuti perintah Millelith sebelum terjadi konflik lain yang tak diinginkan. Mereka pergi ke arah berlawanan dari Raiden Ei dan John Lee. Di saat yang sama, Raiden Ei, John Lee, dan Yae Miko pun diusir dari area tersebut sampai waktu yang tak dapat ditentukan.

"Demi keamanan pasien, jam besuk akan diperketat. Biarkan kami yang menjaga saudara Zhongli sampai kepalamu dingin,"

Mau tak mau, mereka pun pergi dari rumah sakit dengan perasaan kesal.

"Kenapa kamu menyorakkan kalimat itu?" tanya Raiden Ei kepada Zhongli.

Walaupun raganya sama, tetapi istrinya tetap tak mengenali sosoknya. Di sini John Lee sadar kalau ia memang bukanlah Zhongli, suami dari Ei. Ia menggelengkan kepalanya sembari mengangkat kedua bahunya tanpa mengeluarkan kata-kata.

"Sudahlah, untung saja semuanya berhasil dicegah. Sekarang kita pulang saja, memang ide buruk memaksa kembali ke sini sore-sore begini," ajak Yae Miko sambil menarik lengan Ei.

Mereka berdua pergi meninggalkan John Lee tanpa kata setelahnya, yang bisa dilakukan oleh John Lee saat itu hanyalah mendoakan istrinya agar tak perlu khawatir lagi, karena ia sudah tahu bagaimana caranya menjaga diri sebelum tubuh aslinya kembali normal seperti sedia kala.

Dari kejauhan, John Lee melihat Hu Tao masih mencari keberadaannya sejak tadi. Lelaki bersurai hitam itu menghampiri sepupunya sambil berlari kecil. Mungkin menurutnya kejadian tadi sedikit memberikan ruang agar dirinya bisa bebas dari tekanan Harbingers.

"Lo ke mana aja, sih?! Gue cariin ke mana-mana!" sentak Hu Tao kesal setelah John Lee tiba di depannya.

"Tadi nyari toilet, saya kebelet buang air," jawab John Lee mencurigakan.

Hu Tao menempeleng kepala John Lee sedikit keras, ia benar-benar khawatir kalau misalnya John Lee dikepung atau malah diserang oleh kawanan yang tak diinginkan.

"Bawel banget! Udah ayo pulang!" ajak Hu Tao sambil mendorong tubuh sepupunya dari belakang.

John Lee terkekeh melihat gelagat Hu Tao, mereka berdua ikut pergi meninggalkan area rumah sakit setelah Raiden Ei dan Yae Miko hilang dari pandangannya.

***

"Baik, terima kasih," ujar perempuan bersurai putih di depan meja kasir.

Shenhe membawa obat merah yang masih terbungkus plastik lalu berjalan ke arah Xiao, putra tunggalnya.

Xiao masih bergumam karena kejadian tadi pagi, ia masih tak percaya bahwa dirinya bisa dikalahkan oleh anak baru di sekolahnya. Walaupun sekilas ia tampak tak peduli dengan statusnya sebagai salah satu jawara sekolah, Xiao ternyata bermimpi untuk menjadi nomor satu di sana sebelum ia benar-benar lulus dari SMA Teyvat.

"Mau sampai kapan kamu berantem terus, Nak?"

Shenhe mengobati luka di wajah Xiao dengan lembut, sesekali ia meringis kesakitan karena obat merah itu, pedih rasanya.

"Kalau tahu sakit kenapa harus berantem tiap hari?" lanjut Shenhe mengomeli Xiao.

"Udahlah, Bu. Kalau gak ikhlas ngobatin biar aku aja," balas Xiao mengambil kain kasa di tangan kanan ibunya.

Melihat putra satu-satunya itu merepet sembari menyeka darah yang masih mengalir di sekitar wajahnya membuat air mata Shenhe berlinang. Jujur saja, perempuan bersurai putih itu tak kuat melihat Xiao dalam keadaan seperti ini.

"Maaf, ya, Nak." ujar Shenhe terbata-bata, ia berusaha menahan tangisnya di depan Xiao.

Hatinya lunak seketika, Xiao menghentikan aktivitasnya lalu memeluk Shenhe yang sedang terisak.

"Maaf," kata lelaki bersurai hitam itu pelan.

Tak peduli orang yang lalu lalang di area klinik, Xiao merasakan hangatnya pelukan sang ibu, karena untuk saat ini hanyalah sosok Shenhe yang mampu untuk mengobati luka di hatinya. Xiao tak peduli dengan seluruh tubuhnya, tetapi kalau ia melihat Shenhe menangis, dunia seakan hancur mengikuti.