1 Chapter 1 : Prolog

"Hati-hati! Ada orang gila ngamuk!"

Langkah Amira tertahan. Ada puluhan pasang mata menyorot takut pada seseorang di jarak 20 meter dari tempatnya berdiri. Seorang laki-laki 40 tahunan, mengenakan kemeja berwarna gelap dan celana kain cokelat. Laki-laki itu berjalan tanpa alas kaki dan ada sebuah belati di tangannya. Sejak tadi ia mondar-mandir tidak jelas sambil terus berteriak, "Siapa? Siapa yang tadi menantangku? Ayo, maju! Lawan aku! Biar kubunuh sekalian!" katanya diiringi tawa hebat.

Mati konyol jika ada yang berani melawan orang yang kira-kira sudah tidak waras itu.

"Panggil polisi saja! Tadi sudah ada yang terluka karena diserang olehnya," ujar seseorang di samping Amira, tanpa jelas perintah itu ditujukan untuk siapa.

Idenya memang terdengar cukup logis ketimbang hanya menjadi penonton keributan yang dibuat oleh orang yang tidak waras itu. Amira menoleh ke kanan dan ke kiri, ia belum mengambil keputusan jalan mana yang akan dipilih. Kemacetan mulai terbentuk, beberapa kali terdengar teriakan dan sudah banyak yang memilih lari dari lokasi tersebut. Untuk ini, Amira memang terkesan tidak peduli. Bukan suatu kebetulan ia berada di tempat itu. Itu adalah jalanan yang biasa ia lewati. Jalan ramai di depan satu-satunya mall di kota. Di sana ada halte bus. Pasar tradisional berjarak hanya beberapa ratus meter saja. Jalan itu adalah jantungnya kota kecil di pesisir yang berkembang sekitar dua puluh tahun terakhir. Kota itu, orang-orang menyebutnya Kota Mataram .

Amira baru ingin berbalik pergi, ketika seseorang berteriak panik, "Awas!" katanya.

Orang yang tidak waras menangkap lengan Amira, "Kamu berani menantangku?"

Amira menggelengkan kepala seraya berusaha melepaskan diri. Berhadapan dengan orang asing yang melotot dan menyodorkan belati, tentu itu buruk.

"Berani menantangku?" ulangnya lagi dengan sorot mata seakan ingin membakar Amira. "Asal kamu tahu, aku ini panglima TNI Angkatan Darat, tidak ada yang berani melawanku!" ujarnya kembali tertawa hebat.

"Ayo, ikut!" perintahnya lagi.

Amira ditarik ke tengah jalan raya. Decitan rem mobil terdengar memilukan saat itu. Jika saja orang yang membawa Amira normal, ia akan berpikir puluhan kali untuk menyeberang tiba-tiba. Bukan hal lucu jika akhirnya mereka menggelepar merah seperti ayam yang baru saja disembelih. Amira berharap orang yang menarik tangannya saat itu benar-benar tertabrak, dan Amira bisa terbebas darinya. Amira ingin meminta tolong, namun mengharapkan orang lain, agaknya mustahil. Tidak ada yang akan bergerak menolongnya. Orang-orang itu hanya akan menjadikan dirinya tontonan mengerikan sambil mengatakan, "Kasihan! Padahal masih muda."

Amira pasrah. Tapi, sebuah mobil hitam yang berhenti tiba-tiba di hadapannya, sedikit mengusik harapan Amira. Seseorang turun dari mobil, ia menyingsing kedua lengan kemeja dan segera menangkap tangan yang memegang belati.

"Lepaskan dia!" suara itu terdengar mengancam.

Orang tidak waras masih berusaha melawan. Ia mempererat genggaman pada Amira, sementara tangan kanannya tertawan oleh seseorang yang mengenakan setelan formal.

Orang yang tidak waras itu, tidak banyak yang bisa ia lakukan kemudian. Biar begitu, ia terlihat tidak rela ketika dipaksa melepaskan Amira. Belati tetap diarahkan ke Amira, dan untuk beberapa hal terjadi, akhirnya genggaman tangan ke Amira terlepas. Amira terjatuh dan kepalanya menghantam trotoar.

~II~

avataravatar
Next chapter