webnovel

When Love Knocks The Billionaire's Heart

L'amour est comme le vent, nous ne savons pas d'ou il vient. Cinta datang seperti angin, kita tidak tahu kapan dia datang. -Balzac- ---- Ditinggalkan dua orang wanita yang sangat dicintai dalam hidupnya membuat William James Hunter, 27, kesulitan untuk mempercayai wanita. Di matanya, wanita hanyalah objek pemuas hasratnya. Dengan uang yang ia miliki ia bisa dengan mudah mendekati wanita manapun yang ia mau. Pandangan William pada wanita mulai berubah ketika ia bertemu Esmee Louise, 24, di sebuah restoran kecil di desa Riquewihr, Perancis. Perlahan tapi pasti, sikap hangat dan pribadi Esmee yang pekerja keras kembali mengetuk hati William. Pada awalnya, William berencana ingin menghancurkan restoran milik Esmee karena gadis itu tidak mau menjual restoran tersebut pada perusahaan milik keluarganya. Namun, perasaan yang ia rasakan pada Esmee akhirnya membuat William memikirkan kembali semua rencana yang sudah ia buat untuk menghancurkan restoran tersebut. Akankah William kembali melanjutkan rencananya untuk menghancurkan restoran milik Esmee agar ia bisa menjadi pewaris seluruh kekayaan keluarganya? Atau, ia akan memilih melupakan warisannya dan memilih cintanya pada Esmee? Let's find out by adding this book to your library for an update. Support this book on WSA events through reviews, comments, power stones, gifts, etc. Your support means a lot. Thank you, and happy reading. ^^ Cover source: Pinterest *The cover is temporary until the main cover is ready

pearl_amethys · Urban
Not enough ratings
409 Chs

Curious 2

Pierre menghentikan langkahnya ketika ia melihat seorang pria yang terlihat tidak asing baginya baru saja keluar dari restoran hotel yang juga ia kelola. "Bukankah itu William? Apa yang dia lakukan di sini?"

Karena penasaran, Pierre kemudian berjalan ke arah meja di dekat pintu masuk yang digunakan untuk menerima reservasi. Ia bekerja sebagai food consultant yang ada di restoran tersebut dan ia baru saja menemui head chef dari restoran untuk membahas menu baru yang akan diluncurkan di restoran itu.

Begitu sampai di meja reservasi, Pierre segera menyapa Pelayan yang bertugas untuk menerima reservasi. Pierre melirik tanda pengenal yang digunakan oleh Pelayan itu. "Bonjour, Silvie."

Pelayan wanita yang sedang sibuk mencatat reservasi itu langsung menyahuti Pierre tanpa melihat wajahnya. "Ya, untuk berapa orang?"

Pierre tertawa pelan melihat Pelayan wanita itu masih sibuk menulis nama orang di daftar buku tamu. "Kalau Nicholas yang melihat pelayananmu yang tidak menyapa tamu dengan ramah, besok kau pasti akan kehilangan pekerjaan."

Pelayan wanita itu langsung meletakkan pulpen yang ia pegang. Setelah itu ia mengangkat kepalanya dan langsung tersenyum canggung pada Pierre. "Oh, maaf Tuan. Aku tidak bermaksud kasar."

Pierre tersenyum pada pelayan wanita itu. "Nampaknya hari ini restoran cukup ramai. Betul kan, Silvie?"

Pelayan wanita Bernama Silvie itu langsung menganggukkan kepalanya. "Hari ini banyak sekali pengunjung di restoran. Sekali lagi maafkan atas sikapku tadi. Dan, aku mohon jangan beri tahu Nicho. Aku masih harus membayar kredit mahasiswaku."

"Kau tenang saja. Aku tidak akan memberitahu Nicho. Lagipula aku sudah mau pulang dan kembali ke klubku. Sebelum aku pulang, aku ingin meminta tolong padamu," ujar Pierre.

"Apa yang kau butuhkan?" tanya Silvie.

"Aku ingin tahu, siapa tamu yang tadi duduk di meja delapan," jawab Pierre.

Silvie menganggukkan kepalanya. Ia kemudian melihat buku daftar tamu restoran. Silvie menekuri satu per satu kolom nomor meja yang ia tulis. Setelah ia menemukan nomor meja yang dicari Pierre, ia segera mengarahkan jari telunjuknya ke kolom yang berisi nama dari tamu yang duduk di meja tersebut.

"Hunter, Alexander," ujar Silvie pada Pierre setelah ia menemukan nama tamu yang duduk di meja nomor delapan.

"Hunter?" sahut Pierre sedikit tidak percaya.

Silvie menganggukkan kepalanya.

"Apa dia datang seorang diri?" Pierre kembali bertanya pada Silvie.

"Di sini tertulis dia memesan meja untuk dua orang," jawab Silvie.

Pierre mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian tersenyum pada Silvie. "Kalau begitu, terima kasih atas informasimu. Kalau Nicho memecatmu karena memberikan informasi ini padaku, kau langsung datang ke klubku dan aku akan memberikan pekerjaan untukku."

Silvie tertawa pelan menanggapi ucapan Pierre. "Aku akan mengingatnya."

"Selamat malam," ujar Pierre. Ia kemudian segera berjalan pergi meninggalkan restoran.

Ketika sedang berjalan menuju lobi hotel, Pierre tidak sengaja melihat William yang berdiri di luar pintu masuk hotel. Ia pun segera mempercepat langkahnya untuk memastikan bahwa pria yang ia lihat benar-benar William.

Tepat setelah Pierre keluar dari lobi hotel, pria yang ia lihat mirip dengan William masuk ke dalam mobil Bentley hitam dan diikuti dengan pria lain setelahnya. Pierre menghela nafas panjang begitu mobil tersebut pergi meninggalkan hotel. Ia hanya bisa melihat mobil tersebut yang sudah menjauh.

"Kalau pria itu benar-benar William, apa yang dia dilakukan bersama Alexander Hunter? Sejak awal aku merasa wajahnya terasa tidak asing," gumam Pierre sambil menatap mobil yang dinaiki William. Ia kemudian tertawa pelan.

"Sepertinya ini akan menarik," ujar Pierre. Ia kemudian berjalan ke arah Petugas Valet dan memberikan karcis parkir miliknya.

----

William membanting pintu rumahnya sambil mendengus kesal. Ia lalu mengunci pintu rumah tersebut dan segera berjalan ke kamarnya.

"WILLIAM! Buka pintunya!" seru Charles yang masih berada di luar rumah. Ia menggedor-gedor pintu rumah tersebut.

"HEY! WILLIAM!"

William yang sudah berada di kamarnya tidak mempedulikan teriakan Charles yang meminta untuk dibukakan pintu. Ia melepaskan jaket yang ia kenakan dan melemparkannya ke gantungan baju yang ada di tembok. Setelah itu William melangkah ke kamar mandi sambil melepaskan pakaiannya.

Di dalam kamar mandi, William segera menyalakan pancuran airnya. Ia berdiri di bawah pancuran air dan membiarkan air dingin membasuh tubuhnya, terutama kepalanya. William merasa kepalanya hampir meledak setelah bertemu dengan ayahnya.

William menundukkan kepalanya dan berdiam diri di bawah pancuran air. Ia memejamkan matanya dan meresapi tiap titik air menyentuh kulitnya sambil mencoba untuk menjernihkan pikirannya. William menghela nafas panjang ketika mendengar Charles yang kembali berteriak dari luar rumah.

"Kenapa dia tidak bisa diam sebentar saja?" gerutu William karena Charles terus berteriak.

William akhirnya kembali menegakkan kepalanya dan segera mematikan pancuran airnya. Setelah itu ia melilit handuk putih di pinggangnya dan berjalan keluar dari kamar mandi. William duduk di tepi tempat tidurnya sambil menyambungkan pengisi daya ke ponselnya. Ia kemudian segera mengenakan celana panjang dan jubah tidurnya.

William mengerutkan keningnya ketika suara Charles tiba-tiba menghilang. Charles tidak lagi berteriak meminta dibukakan pintu. "Baguslah, akhirnya dia bisa diam."

William kembali melepaskan jubah tidurnya dan segera berbaring di tempat tidurnya. Ia sudah hampir memejamkan matanya ketika seseorang masuk ke dalam kamarnya dan langsung melemparnya dengan mantel.

"Kau sialan!" teriak Charles. Ia berjalan menghampiri William yang sudah berbaring di tempat tidur.

William memutar tubuhnya. Ia menyipitkan matanya ketika melihat Charles sudah berdiri di dekat tempat tidurnya. "Bagaimana kau bisa masuk?"

"Aku ingat aku belum mengunci pintu belakang," jawab Charles.

"Harusnya aku juga mengunci pintu belakang," sahut William.

"Dan aku akan membuat keributan agar kita berdua dilaporkan ke Polisi oleh tetangga kita," timpal Charles.

"Pengacaraku bisa mengurusnya. Kau cari Pengacara sendiri kalau kita dilaporkan karena membuat keributan," ujar William.

Charles mendesis setelah mendengar ucapan William. "Kau benar-benar—"

Charles kehabisan kata-katanya melihat sikap William.

Sementara itu, William kembali memunggungi Charles. "Jangan lupa tutup pintunya."

Charles menatap William yang memunggunginya sambil menghela nafas panjang. Setelah itu ia memutuskan untuk meninggalkan kamar William. Ia sengaja membanting pintu kamar William ketika ia menutup pintu tersebut.

William menoleh sambil tertawa pelan setelah Charles membanting pintu kamarnya. Ia lalu kembali menghadap tembok dan melipat kedua tangan di depan dadanya sembari menghela nafas panjang. William kemudian mencoba memejamkan matanya.

William memilih untuk tidur karena ia tidak melampiaskan kekesalannya dengan berpesta, mabuk-mabukan atau apapun yang biasa ia lakukan ketika ia sedang merasa kesal. Akan tetapi baru sebentar ia memejamkan matanya, ia kembali menatap tembok di hadapannya. William menghela nafas panjang. Kali ini bukan ucapan ayahnya yang mengganggunya. Melainkan wajah Esmee yang muncul ketika ia memejamkan matanya.

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.

Keep in touch with me by following my Instagram Account or Discord pearl_amethys ^^

pearl_amethyscreators' thoughts