2 Bonjour D'Amelie 2

Selama berada di dapur restoran D'Amelie, William terus memperhatikan sekelilingnya. Menurutnya tidak ada yang spesial dari tempat tersebut. Ia keheranan kenapa Sang Pemilik sampai menolak untuk menjual restoran tersebut pada perusahaannya.

William tiba-tiba terisak. Matanya mulai terasa perih setelah ia memotong beberapa bonggol bawang putih.

Esmee yang sedang sibuk membuat kaldu, tertawa pelan mendengar suara isak William. "Kau pasti belum pernah bekerja di dapur sebelumnya?"

"Belum," jawab William singkat.

"Beberapa pekerjaku sebelumnya suka sekali bersiul ketika mereka sedang mengupas bawang. Mereka bilang, itu bisa mengurangi efek perih yang kau rasakan ketika mengupasnya," ujar Esmee.

"Kau pernah mencobanya?"

"Aku tidak pandai bersiul. Lagipula aku tidak perlu bersiul untuk mengurangi efeknya," jawab Esmee.

"Lalu, apa yang kau lakukan untuk mengurangi efeknya?" William kembali bertanya pada Esmee.

Esmee menoleh pada William dan tersenyum lebar. "Mempekerjakanmu."

William terdiam sejenak setelah mendengar jawaban singkat yang diberikan Esmee. Ia mengulum tawanya lalu tiba-tiba terbahak. "Aku suka jawaban yang kau berikan."

Esmee ikut tertawa dan kembali melanjutkan ucapannya. "Dengan begitu, aku tidak perlu mengupas bawang-bawang itu lagi."

"Selera humormu lumayan juga," ujar William. Ia masih mengulum tawanya sambil terus mengupas bawang.

"Aku anggap itu sebagai pujian. Marie selalu mengatakan selera humorku buruk," sahut Esmee.

"Marie pasti belum mendengar leluconmu barusan," timpal William.

William dan Esmee kemudian sama-sama tersenyum sambil melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing. William mendengus pelan sambil menatap ke arah Esmee.

"Ouch!" pekik William.

Esmee segera menoleh pada William. "Ada apa?"

Mata Esmee membulat ketika ia melihat jari telunjuk William yang mengeluarkan darah. Ia pun bergegas menghampiri William.

"Aku tidak sengaja mengiris jariku," ujar William ketika Esmee menghampirinya.

Esmee menghela nafas panjang. Ia kemudian menarik tangan William ke arah wastafel. "Lukanya harus dibersihkan menggunakan air mengalir."

William pasrah ketika Esmee membersihkan luka di jari telunjuknya di bawah pancuran air wastafel. Sesekali ia meringis menahan rasa perih yang ia rasakan. "Harusnya aku lebih berhati-hati."

"Teriris pisau di dapur adalah hal yang biasa terjadi," ujar Esmee. Ia mengelap luka di jari telunjuk William menggunakan handuk kering yang ada di dekat wastafel.

William diam dan memperhatikan apa yang dilakukan Esmee padanya.

Setelah selesai mengelap luka William, Esmee menatap William sambil tersenyum simpul. "Tunggu sebentar, aku ambilkan plester."

William tersenyum kikuk pada Esmee dan mengangguk pelan. Selanjutnya Esmee berjalan ke arah kotak P3K yang tergantung di dekat pintu dapur. Ia mengambil sebuah plester dan salep dari dalam kotak tersebut lalu kembali menghampiri William.

Sekali lagi William hanya bisa terdiam melihat apa yang dilakukan Esmee padanya. Dengan telaten Esmee mengoleskan salep di atas lukanya dan segera menutupnya dengan plester yang ia bawa.

"Setelah ini kau harus lebih berhati-hati lagi. Jangan sampai kau mengiris kesepuluh jarimu di hari pertamamu bekerja di sini. Aku tidak punya plester sebanyak itu," ujar Esmee pada William.

William menanggapi ucapan Esmee sambil tertawa pelan. "Aku akan mengingatnya. Terima kasih."

Esmee menganggukkan kepalanya. "Kembali bekerja. Aku tidak mau membuat pelangganku kelaparan."

"Yes, Boss," seru William.

"Kalduku," pekik Esmee ketika ia teringat bahwa ia sedang membuat kaldu. Ia pun segera berlari ke arah panci berisi kaldu yang sedang ia buat.

Sementara Esmee sudah kembali sibuk dengan kaldunya, William justru masih terdiam di tempatnya berdiri. Ia menatap jari telunjuknya yang sudah dibalut plester oleh Esmee. William berdecak pelan lalu kembali ke meja dapur dan melanjutkan pekerjaannya mengupas bawang putih.

----

William segera menjatuhkan dirinya di sofa hitam yang sedang diduduki Charles di ruang depan tempat tinggal sementara mereka. Ia menghela nafas panjang sembari menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa tersebut.

"Ada apa di restoran itu?" tanya Charles.

William menggelengkan kepalanya. "Tidak ada apa-apa di restoran itu. Sejauh yang aku lihat, tidak ada yang spesial dari restoran tersebut. Restoran itu seperti orang tua sekarat yang sedang menunggu ajal. Entah mengapa si pemilik berkeras tidak mau menjualnya."

"Kamu sudah bertemu pemiliknya?"

William menganggukkan kepalanya. "Dia ternyata masih cukup muda. Aku pikir dia wanita tua yang mengenakan kacamata bulan sabit di hidungnya."

"Bukankah di berkas tertulis kalau pemiliknya sudah berumur enam puluh tahun?" Charles kembali bertanya pada William.

"Mungkin itu pemilik sebelumnya. Karena yang menerimaku bekerja di sana seorang wanita muda," jawab William.

Charles menganggukkan kepalanya. "Aku akan periksa kembali perizinan mereka. Kalau mereka belum memperbaiki siapa pemiliknya, kita bisa memanfaatkan hal itu dengan melaporkan mereka."

William mengangguk pelan. Ia kemudian menunjukkan luka di jari telunjuknya pada Charles. "Lihat, aku mengiris jariku di hari pertamaku kerja di tempat itu. Menurutmu, ini pertanda baik atau buruk?"

Charles mengangkat bahunya. "Aku tidak percaya hal seperti itu. Memangnya apa yang kau lakukan?"

"Aku mengupas bawang," jawab William.

Seketika Charles mendelik pada William. "Kau? Mengupas bawang?"

William kembali menganggukkan kepalanya. "Ternyata tidak sia-sia aku sedikit belajar memasak dengan chef pribadiku sebelum pergi ke restoran itu."

"Kau jadi bisa membuatnya percaya bahwa kau benar-benar bisa bekerja di restoran?" sambar Charles.

"Tidak ada yang tidak bisa aku lakukan," timpal William sambil tersenyum bangga.

"Sebaiknya kamu cepat mandi, Will. Aroma bawang itu menguar dari tubuhmu," ujar Charles.

William langsung mengendus aroma pada kemeja yang ia kenakan. Ia mengernyitkan keningnya begitu ia mencium aroma bawang putih yang masih tersisa di kemejanya. Sambil berdiri dari tempat duduknya, William melepaskan kemejanya lalu melemparkannya ke wajah Charles.

"William!" sergah Charles sambil menyingkirkan kemeja William dari wajahnya.

William terkekeh dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

----

Esmee menghela nafas panjang setelah ia menghitung uang pendapatan restorannya hari ini. Dengan pendapatan restorannya yang terus menyusut, Esmee harus memutar otaknya untuk membeli bahan baku makanan, menggaji karyawan dan juga memenuhi kebutuhan hidupnya.

Esmee mengucek-ngucek matanya yang terasa perih setelah menatap layar laptopnya. Setelah itu ia menatap fotonya bersama Sang Ibu yang berada di sebelah laptopnya. "Bagaimana ini, Ibu? Aku tidak bisa melepaskan restoran ini. Tapi aku juga tidak bisa seperti ini terus menerus."

Esmee berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke jendela kamarnya yang berada di lantai dua restoran miliknya. Ia menatap lampu jalan yang terletak tidak jauh dari restorannya. "Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menjual restoran ini?"

Dengan cepat Esmee menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak. Sampai kapanpun aku tidak akan menjual restoran ini. Ini adalah peninggalan keluargaku."

Esmee akhirnya beralih dari jendela kamarnya ke tempat tidur. Ia merebahkan dirinya sambil menghela nafas panjang. Setelah itu ia menarik selimutnya dan mengistirahatkan dirinya setelah menjalani harinya yang terasa sangat panjang.

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.

avataravatar
Next chapter