webnovel

You Deserve To Die

Jordan mengakui lawannya berhasil membuat darahnya menajak panas ke kepala. Rekaman CCTV itu sudah mempermainkannya dengan sangat baik. Jika rasa percaya dirinya sedikit lebih rendah dan mau mengakui ucapan Brayden, rasanya mungkin tidak seburuk ini, seperti permen karet bekas terinjak sepatu.

Di dalam ruang kerjanya yang dipenuhi dengan trofi dan penghargaan atas apa yang sudah dia kerjakan selama lima tahun menjadi Polisi bagian investigasi tindak kriminal, Jordan membenamkan kepala di antara kedua telapak tangan dengan jari-jari panjangnya yang pucat. Dalam sekali usapan kasar, rambut cokelatnya berantakan. Kepalanya terangkat, alisnya menukik tajam serta mata yang membara.

"Shit!" desisnya perlahan. "What the bastard want!"

Pintu kaca putih bergambar simbol Kepolisian mereka terbuka perlahan, cepat-cepat Jordan menyembunyikan kekesalannya dan bersikap wajar.

"Mr. Grayson, pengajuanmu untuk cuti diterima." Shelly Frank masuk ke dalam ruangan kerjanya dengan selembar kertas di tangan. Dia salah satu opsir andal di kantor mereka. wanita berkulit cokelat, dengan darah India kental itu sudah menikah dan memiliki seorang anak yang tampan, Jordan menyukainya.

"Terima kasih," ucap Jordan sembari menerima uluran Shally.

"Hendak ke mana? Kau tidak pernah menginginkan ini sebelumnya?" tanya Shelly dengan mata menyipit penuh curiga.

"My head need vocation," bohong Jordan. Dia tidak akan mengatakan dengan jelas jika calon Ayah Mertuanya menginginkan dia menyelamatkan kekasihnya tanpa melibatkan kepolisian, takut mati lantaran harga dirinya terinjak.

"Aku harap itu adalah kabar tentang statusmu," komentar Shelly. "Well, enjoy your day!" Shelly beranjak ke luar.

Jordan menghela napas, memasukkan surat cutinya ke dalam laci, tidak dibutuhkan lagi.

Setelah mengunci kantornya, dia berjalan ke lapangan parkir masuk ke dalam mobilnya dan menghubungi Brayden.

"Ada kabar terbaru?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.

"Tidak sama sekali, mereka hanya mengatakan anak gadisku baik-baik saja."

"Berikan nomor peneleponmu padaku!" pinta Jordan keras, suaranya sampai membuat orang-orang di luar mobil menaruh perhatian ke arahnya.

"Apa yang akan kau lakukan, Grayson! Jangan sampai aku mengatakan padamu lagi jangan melibatkan kepolisian."

"Aku sudah mengikuti petunjukmu, aku sekarang sendirian! Berikan padaku nomornya sekarang!" Jordan mengecilkan volume suaranya, tetapi menekankan setiap katanya hingga terdengar mengancam.

"Baik lah segera aku kirimkan."

Jordan mematikan ponselnya lalu membuang ponsel keluaran baru tersebut ke jok samping. Dia mulai menggigit jari telunjuk tangan kanannya, sedang mata menatap kosong ke depan. Dia akan menemukan Aurora dan membuat Brayden menyesali kata-kata hinaannya.

Perlakuan Brayden pada Jordan dengan segala aturannya membuat hidupnya jadi rumit. Di kantor, dia adalah sang elang, mengintai dari angkasa, mencari sudut pandang terbaik untuk menangkap mangsanya hingga tidak akan berhasil lolos, begitu semuanya sempurna dia akan melesat turun, mencengkeram mangsanya hingga tidak berkutik. Sekarang, Brayden membuatnya seperti siput bercangkang berat yang seolah ingin belajar terbang.

Jika di masa depan Aurora akan menjadi istrinya, mungkin tidak akan ada hubungan ideal antara dia dan Brayden, dia membenci pria itu, sangat-sangat membencinya, melebihi rasa bencinya pada apa pun juga. Lihat saja bagaimana cara berandalan tua itu bereaksi saat anaknya diculik, dia orang terpandang, dia bisa meminta bantuan para tentara jika perlu, semua orang pasti menyatakan kesediaan menjadi relawan, tetapi lihat pilihannya, merahasiakan semuanya meski ini menyangkut nyawa anak kesayangannya, putri tunggalnya. Reputasi dan kariernya di masyarakat jauh lebih penting baginya. Jika ada perlombaan untuk orang tua terburuk di dunia, Brayden Weston layak mendapatkan predikat pertama.

Jujur saja, kenyataan ini mengusik kepala Jordan. Dia dengan kesadaran penuh tahu, bagaimana perhatian Brayden pada Aurora sebelum kejadian ini terjadi, mereka bahkan pernah masuk salah satu majalah sebagai keluarga paling kompak. Mereka juga pernah berfoto menggunakan baju kaos merah muda dengan tulisan, 'i love my daugter' di tubuh Brayden dan 'i love my father' pada Aurora. Mereka jelas terlihat saling menayangi. Mungkinkah selama ini semua kedekatan mereka gimik belaka?

Notifikasi masuk ke ponsel Jordan, Brayden melakukan apa yang dia minta dengan sebuah pesan tercantum di bawahnya. Berbunyi, "segores saja luka pada kulit anakku, aku akan melenyapkan kau, Grayson!"

"Cih!" raung Jordan, "bastard!"

Jordan meraih laptop di jok belakang, lalu membuka aplikasi pelacak pribadinya. Jordan tidak selalu mengandalkan perlengkapan kantor saat dia bertugas.

"dermaga barang!" sorak Jordan penuh kemenangan setelah mendapatkan posisi nomor ponsel.

Jordan menyalakan mesin mobilnya siap berkendara dan memburu hiu sialan yang sudah mengambil kekasihnya. Hatinya tergelitik untuk memacu laju kendaraan dengan kecepatan tertinggi, akan tetapi mengingat hukum tidak akan melembek padanya, dia menahan semua keinginan dalam hati.

Kota mereka selalu saja padat kendaraan. Beruntung  kemacetan jam masuk kerja sejam lalu sudah tidak menghambat lajunya. Meski jalanan tidak sepenuhnya lenggang, paling tidak mobil merah Jordan melaju tanpa perlu mengerem karena lalulintas tersendat.

Aurora, Aurora, Aurora, Puteri Tidurnya yang menawan. Bagaimana keadaannya saat ini? jelas sekali dia ketakutan dan tidak berdaya dalam impitan para penjahat sialan itu. Jika para berandalan itu berani menyentuhnya, dia akan meremukkan mereka hingga menjadi seperti adonan sosis. Jordan tahu persis bagaimana sikap gadinya. Manja dan takut sendirian.

Tahun lalu, di ulang tahunnya, Jordan membuat kejutan untuk Aurora. Dia menyewa satu resot di pinggir pantai lalu mendekorasinya persis seperti kamar Aurora dalam dongeng Sleeping Beuty, dongeng favorit Aurora, mewarisi ibunya. Dia menuntun kekasihnya ke sana dengan menggunakan lembaran kertas merah muda berisi pesan-pesan petunjuk. Jordan meminta semua orang pergi dari sana. Saat itu, seharusnya Jordan yang menyambutnya di pantai, tetapi ada sebuah kasus mendesak yang harus dia tangani hari itu juga.

Aurora tidak mengendarai mobilnya waktu itu, dia menggunakan taxi. Meski dia tahu kekasihnya suak bepergian, berwisata, Aurora memiliki satu kelemahan yang akan merosotkan semua keinginannya ke ujung kaki, kesendirian. Bola purba tenggelam di senja nan cantik itu seharusnya menjadi kenangan manis malah berakhir tragis. Di tepi pantai berpasir putih, Aurora menangis merikuk ketakutan selama tiga jam.

Jordan baru tiba di sana pukul sepuluh malam, dan dia menemukannya terbaring di pasir tidak berdaya.  Sempat dia berpikir, hubungan mereka berakhir di sana, tetapi kekasihnya memiliki kebaikan tak tertandingi. Setelah marah dan berteriak selama setengah jam dan mendengarkan penjelasannya mengenai bagaimana semua rencana harus terjadi dan bagaimana halangan tiba-tiba meluluhlantakkan semuanya, dia memeluk Jordan erat dan berjanji tidak akan melupakan  kejadian itu sepanjang hidupnya.

Jordan sudah melewati perbatasan kota menuju dermaga. Udara serasa seperti api mengelilinginya. Jordan melepaskan jaket kulit cokelatnya. Dia menetap langit sekilas menyalahkannya dengan kondisi cuaca buruk di sini.

Jordan mengikuti titik merah petunjuk, dia turun dari mobil dan berjalan kaki melewati  kontainer merah dan biru. Arahnya mengarahkannya pada gundukan pasir, dengan salib dari papan tua bercat kelabu dengan namanya tercetak jelas di sana. Di bawah kaki salib, ponsel itu tergeletak dalam keadaan hitung mundur, siap untuk meledak.

"Shit!" teriak Jordan sembari berlari menjauh.