Melisa meremas ponselnya, dirinya benar-benar merasa diremehkan dengan pesan itu. Melisa menganggap Juan memperlakukannya seperti wanita murahan. Padahal semalam dia jelas mengatakan menemukan ide untuk menyelesaikan masalah perjodohan ini.
"Melisa, biar aku menemanimu untuk menemuinya." Pinta Felix dengan tatapan serius, rasanya ia tidak bisa membiarkan Melisa bertemu sendiri dengan pria itu. Apalagi jika tempat pertemuannya adalah kamar hotel.
"Tidak Felix." Tolak Melisa, Felix tercekat mendengar penolakan itu. Bagaimana bisa Melisa pergi kesana sendirian.
"Dia sudah meremehkan ku, aku tidak akan diam saja. Akan aku beri pelajaran kepada pria kurangajar sepertinya." Kali ini tatapan Melisa menyimpan kemarahan, dengan cepat ia menghabiskan makanannya.
"Terimakasih untuk makanannya Felix, sebagai gantinya aku akan membuatkanmu makanan yang sama lezatnya lain kali." Kata Melisa sebelum pergi.
"Mel." Panggil Felix, dirinya benar-benar tidak senang saat ini. Rasa cemburu membuat hati dan pikirannya sama panasnya. Melisa berbalik dan menatap Felix lekat. "Hubungi aku jika butuh bantuan." Pesan Felix kemudian, Melisa mengangguk pelan. Ia tersenyum sebelum pergi meninggalkan Felix.
"Ya Tuhan Mel, andai saja kau tahu perasaanku padamu." Gumam Felix sambil tertunduk lemas. Ia teringat saat 2 tahun lalu ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
**
2 tahun lalu di Italia.
Felix menghidangkan masakan yang dibuatnya dengan sepenuh hati, ia menghidangkan Tortellini. Salah satu makanan terkenal disana. Felix sudah hampir 2 tahun membantu ayahnya mengelola restaurant di Italia. Ayahnya bahkan berniat untuk membesarkan restaurant itu bersama-sama dengan putra pertamanya itu. Semua orang begitu lahap dan menyukai masakan Felix, meski kemampuannya masih dibawah dari ayahnya, tapi rasa masakannya sudah sangat berkelas.
"Felix bagaimana jika kau membuka restaurant mu sendiri disini?" Tanya Cergio Lanette ayah dari Felix. Felix tertunduk lesu, dirinya juga menginginkan hal yang sama. Tapi entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal dihatinya.
"Entahlah ayah, sepertinya aku akan tetap kembali ke Indonesia. Disana kampung halaman ibu." Jelas Felix menolak.
"Mmm, apa karena gadis itu?" tanya Cergio sembari menatap mata sang anak.
"Ahh, A—ayah, darimana ayah tahu mengenai hal itu?" tanya Felix tidak percaya sang ayah bisa tau mengenai Melisa.
"Ibumu selalu bercerita bahwa kau sangat menyukai gadis itu."
Felix tercenung, rupanya sebegitu nampaknya rasa sukanya pada Melisa.
"Aku ingin terus membuatkannya masakan yang lezat dengan tanganku sendiri ayah." Kata Felix yang mulai terbuka pada Cergio. "Dan lagi, dia sangat senang dengan masakanku, itu sebabnya dia selalu ingin menjadi koki sepertiku. Mungkin suatu saat aku bisa membantunya mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang koki." Imbuh Felix dengan suara pelan, tergambar ketulusan dalam setiap kalimat yang keluar dari mulut Felix.
"Baiklah jika itu keinginanmu, aku tidak bisa memaksanya. Kau boleh membuka restaurantmu sendiri disana." Itulah kalimat yang menjadi motivasi untuk Felix dalam membangun restaurant, ditambah keinginannya untuk bisa terus membuatkan makanan Melisa kini sudah bisa terwujud.
Berselang waktu, Felix akhirnya berhasil membuat restaurant miliknya sendiri, tentu saja Melisa juga turut membantunya dalam banyak hal. Mulai dari modal hingga menentukan lokasi yang strategis. Felix bersyukur karena Melisa selalu ada untuknya. Tapi perkataan sang ayah sebelum kembali ke sini selalu mengusiknya.
"Katakan saja padanya mengenai perasaanmu, diterima atau ditolak itu urusan belakang Felix." Pesan Cergio.
Felix selalu ingin mengatakan yang sebenarnya, tentang bagaimana dia sangat menyukai Melisa, tentang bagaimana dia ingin selalu menemani Melisa mengejar mimpinya untuk menjadi koki seperti dirinya. Dan tentang bagaimana Felix ingin selalu membuatkan makanan kesukaan Melisa setiap harinya. Tapi kemudian dia ingat, beberapa kemungkinan yang terjadi jika dia mengungkapkan perasaannya.
Jika perasaan Felix diterima, sudah tentu Felix akan sangat bahagia. Tapi kemudian jika suatu saat hubungan mereka kandas, maka Melisa sudah tentu akan menjauhi Felix untuk selamanya. Dan kemungkinan yang kedua, jika ditolak maka hubungan mereka akan menjadi canggung satu sama lain, atau bahkan Melisa akan merasa tidak nyaman lagi ada didekat Felix. Sebuah kemungkinan yang membuat Felix berkeras memendam semuanya. Sampai akhirnya, hari itu Melisa mengatakan bahwa ia akan dijodohkan. Keberanian Felix kembali muncul tapi beriringan dengan patah hati yang lebih dulu dirasakannya, karena mengetahui Melisa akan segera menjadi milik orang lain.
Ingatan itu begitu membekas dalam benak Felix, tentang bagaimana dia ada disini demi seorang Melisa. Namun kebodohan dan ketidakberaniannya untuk mengambil resiko membuatnya terbelenggu dalam hubungan persahabatan yang kian tidak berujung. Melisa bahkan semakin nyaman menyebut Felix sebagai sahabat sejatinya.
**
Melisa menghempaskan tubuhnya dikursi, ini baru pukul 11 siang, tapi rasanya semakin berat saja untuk melangkah dan menemui Juan ditempat yang telah disampaikan oleh sekretaris Juan. Melisa bahkan sampai tidak fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya.
"Nona, sebaiknya nona menghubungi tuan Juan, untuk meminta berganti tempat pertemuan." Kata Hilda memberikan sarannya.
"Aku sudah mencoba menghubungi mereka berdua, tapi nomor yang digunakannya semalam sudah tidak aktif. Dan nomor sekretarisnya itu pun selalu saja sibuk dan susah untuk dihubungi."
"Mungkin saja mereka sedang ada meeting nona, pekerjaan CEO diperusahaan sebesar Bible group pasti sangat berat dan menyibukan."
Melisa terdiam, dia tahu betul bahwa pekerjaan Juan tentu amat berat, menghubunginya dijam kantor seperti ini bukanlah ide yang bagus. Tapi disisi lain Melisa juga tidak ingin terlihat takut atau gentar dengan pemilihan tempat. Toh dia tidak akan berani berbuat macam-macam dengan Melisa, jika berani Melisa akan langsung menghajarnya.
"Sudahlah, aku tidak ingin dia menilai ku sebagai wanita dengan pikiran mesum, mungkin dia punya alasan mengapa sampai mengajakku bertemu di kamar hotel."
"Be—benar Nona, mungkin saja ini pembicaraan yang sensitif dan tertutup." Kata Hilda membenarkan ucapan Melisa.
Melisa terdiam, sekarang dia sangat penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Juan sampai mereka harus berbicara secara tertutup seperti itu.
"Sebenarnya apa rencananya?" gumam Melisa bertanya-tanya.
Di tempat yang berbeda Juan tengah disibukkan dengan beberapa meeting penting dengan para calon kolega yang akan mengajukan proposal investasi, Tirta sebagai sekretaris juga sangat sibuk saat ini. Beberapa panggilan diponselnya pun turut di abaikannya. Setelah menyelesaikan 3 pertemuan, Juan gegas menuju Kembali keruangannya.
"Apa itu yang terakhir?" tanya Juan sembari melonggarkan dasinya, pertemuan kali ini benar-benar menguras tenaga. Di awal tahun Bible Group memang dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang ingin mengajukan kontrak Kerjasama dengan Bible Group sebagai investornya.
"Sudah tuan."
"Baguslah. Lalu, bagaimana dengan tempat pertemuanku dengan Melisa? Apa kau juga sudah mengurusnya?" tanya Juan mengkonfirmasi.
"Sudah tuan, tempatnya di—"
Drrrrttt. Drrtttt.
Ponsel Juan berdering membuat Tirta menghentikan ucapannya, mata Juan seketika berbinar panggilan itu datang dari Karina.
"Halo Karinaa." Suara Juan terdengar bersemangat. Ia langsung bangkit berdiri dan meraih jasnya. "Iya aku akan segera kesana Na." ucapnya dengan suara yang begitu lemah lembut.
"Tuan tempatnya?" tanya Tirta. Juan terlihat tidak begitu meresponnya, tapi sebelum pergi Juan hanya berpesan.
"Kirimkan saja alamat tempat pertemuannya padaku via pesan." Bisiknya sembari menjauhkan ponsel dari telinga agar Karina tidak bisa mendengarnya. Akhirnya Tirta hanya terperangah dan mengangguk mengiyakan perintah Juan.
Juan kini sudah menghilang dari pandangannya. "Baiklah, biar ku kirimkan saja alamatnya melalui pesan." Kata Tirta pelan. Tirta meraih ponselnya, seketika ia terkejut melihat 5 panggilan tak terjawab dari Melisa.
"Ohh, nona Melisa yah?" Tirta segera menghubungi Melisa Kembali, tapi Melisa ganti tidak mengangkatnya.
"Hmm, sudahlah. Mungkin nona Melisa sedang sibuk saat ini." Kata Tirta Kembali menyimpan ponselnya di atas meja.