webnovel

Pendekar Dari Lembah Akhirat (6)

Sesampainya di pesanggrahan, Galuh melihat ada beberapa orang yang mengendap-endap mengintai pesanggrahan tempat Jaya beristirahat, karena merasa curiga terhadap mereka juga khawatir akan keselamatan Jaya, ia pun langsung melompat ke arah mereka sambil berteriak, "siapa kalian?!" Orang-orang bercadar hitam dan berpakaian serba hitam itu pun kaget, dengan gerakan yang amat gesit mereka langsung melarikan diri ke kegelapan malam.

"Siapa lagi mereka? Kenapa akhir-akhir ini banyak yang mengincar Jaya?" pikir Galuh.

Saat itu Jaya pun keluar. "Galuh ada apa? Siapa mereka?"

"Aku juga tak tahu, mereka hanya mengendap-endap mengintai pesanggrahan ini."

"Ya aku pun mendengar kehadiran mereka, sayang aku belum mempunyai cukup tenaga untuk menyambut mereka, tapi... Sedari tadi mereka hanya mengintai tempat ini tanpa berbuat apa-apa…" jelas Jaya.

"Ya sudah, kita masuk saja dan menyantap nasi timbel ini, perutku sudah keroncongan!" pungkas Galuh, mereka pun masuk dan menyantap nasi timbelnya.

"Maaf ya Jaya, uang kita hanya bisa membeli beberapa bungkus nasi timbel untuk bekal kita besok dengan ikan asin dan tempe sebagai lauknya." ucap Galuh.

"Tidak apa-apa Galuh, malah makan dengan ikan asin, tempe dan sambal terasi ini rasanya nikmat sekali! Aku jadi teringat sewaktu dulu di Padepokan Sirna Raga."

"Oya tentang orang-orang mencurigakan yang mengintai tempat ini, aku jadi teringat kalau tadi di kedai Desa Saguling ada tiga orang mata-mata Banten yang tertangkap oleh prajurit Mega Mendung, tapi kemudian mereka memilih untuk bunuh diri dengan meminum racun daripada tertangkap."

"Hmm... Rupanya Banten juga mengirimkan mata-matanya ke Mega Mendung selain ke Padjajaran, kemungkinan peperangan akan segera meletus,... Aku harus segera sampai ke Mega Mendung untuk melakukan titah guruku!"

"Titah Gurumu... Menghentikan Prabu Kertapati dan menghindarkan peperangan dengan segala cara?"

"Betul, aku harus dapat menghindarkan pertumpahan darah di Mega Mendung, jangan sampai terjadi pertumpahan darah di Mega Mendung!" tegas Jaya.

Saat itu tiba-tiba melesatlah satu anak panah yang menancap tepat di bawah kaki Jaya. Jaya dan Galuh saling pandang sejenak mendapati ada yang mengirimkan anak panah tersebut, penuh penasaran Jaya pun mencabut anak panah dari lantai dan membaca surat yang terselip di ujungnya, berikut isinya: "Jika Ki Dulur hendak berburu, maka kami para pemburu pun akan menyertai Ki Dulur untuk berburu." dahi Jaya berkerut membacanya, dia lalu menyerahkan surat itu pada Galuh "Berburu? Hmm... Apa artinya?" pikir Jaya.

***

Keesokan harinya saat hari masih pagi buta, Jaya terbangun ketika telinganya mendengar derap langkah kaki dari banyak orang, Galuh pun sama-sama terbangun karena mendengar derap langkah kaki itu, mereka langsung bangun dan bersiap-siap. Jaya serta Galuh memasang kupingnya baik-baik, menurut pendengarannya yang tajam, orang-orang itu menuju ke bagian belakang pesanggrahan yang terdapat banyak batu nisan, dengan penuh penasaran tapi dibarengi kesiagaan mereka berdua pun melangkah ke bagian belakang pesanggrahan.

Saat itu bau kemenyan bercampur dengan kembang 7 rupa santar tercium disekitar pesanggrahan kosong tersebut. Dengan langkah kaki yang tak terdengar, Jaya dan Galuh mengintip, ternyata banyak orang yang seperti sedang sembahyang di tempat puluhanan batu-batu nisan yang berjejer itu, Jaya tampak berpikir sejenak "Galuh apa hari ini adalah hari jumat?"

Galuh mengangguk, "Betul hari ini adalah hari jumat, kita pertama kali tiba disini pada hari senen."

Jaya mengangguk, "Ya hari yang baik untuk menyekar dan mendoakan orang yang sudah meninggal." ucapnya, lalu ia melangkah menghampiri para penyekar itu yang membuat mereka semua terkejut.

"Begitu... Sekarang aku tahu kalau tempat ini adalah tempat kalian membuang bayi kalian!" ucap Jaya.

"Bayi? Kenapa kau tahu kalau ini adalah tempat pembuangan bayi?" Tanya Galuh.

"Sebab selama kita menginap disini aku seperti mendengar tangisan bayi terutama pada malam hari, dan setelah kulihat dengan ilmu Membuka Mata Sukma, memang banyak arwah para bayi yang berkeliaran disini yang tak dapat kembali ke alam baqa!" jelas Jaya.

Galuh pun langsung memelototi semua orang yang nyekar di sana, "Bajingan! Orang seperti kalian pantas disebut sampah kehidupan!" ketus Galuh, gadis ini marah sekali sebab ia langsung teringat pada nasib dirinya dan saudara-saudaranya sesama Pengemis dari Bukit Tunggul.

Orang-orang itu saling berpandangan, lalu salah seorang dari mereka balas menyemprot Galuh dengan marah. "Kalian siapa?! Kalian pasti orang asing yang tidak tahu apa-apa tentang desa ini!" salah seorang yang lainnya segera menyambungi "Ya kalian pasti orang asing! Kalian tidak tahu apa-apa tentang Ki Demang Wiraguna!"

Jaya menatap mereka berdua "Apa yang terjadi dengan desa ini?"

Terlihat semua perempuan yang di sana menangis sesegukan, salah satu suami mereka pun menjawab Jaya, "Semenjak Ki Demang Wiraguna menikah dengan perempuan laknat yang bernama Nyai Kantili, hidup kami jadi menderita!" lalu yang lainnya menyambung "Selain pajak yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat Mega Mendung, kami juga dibebani pajak tambahan yang sangat mencekik kami, tetapi kami akan dibebaskan dari segala macam pajak kalau kami mau menyerahkan bayi kami dan membuangnya di pesanggrahan ini!"

"Mengganti pajak dengan menyerahkan bayi mereka? Hmm... sepertinya yang mereka incar memang bayi-bayi para penduduk, bukan pajaknya…" pikir Jaya.

"Jadi kalian mau saja menyerahkan bayi-bayi kalian?!" tanya Galuh dengan pedas.

"Kami tak punya pilihan! Kami tak punya pilihan lain!" jerit salah satu perempuan di sana, "Kami akan dihukum mati lalu mayat kami akan digantung di alun-alun desa kalau tidak menurut!" lanjut yang lainnya. "Siapa?! Siapa yang mau dan tega membuang darah dagingnya sendiri?!" jerit perempuan lainnya.

Galuh menundukan kepalanya sambil menggeram, sekujur tubuhnya bergetar, tangannya mengepal dengan keras menahan amarah didadanya. "Jadi begitu kejadiannya, tapi jangan berdalih seperti itu! Aku lahir di tengah-tengah perang dan kedua orang tuaku tewas didalam peperangan! Hidupku jadi menderita karena sejak kecil sudah kehilangan mereka! Tapi sekarang kalau dipikir lagi, aku bangga pada mereka, ayah dan ibuku berjuang mempertahankan keyakinannya! Sampai mereka tak dapat bergerak dan kehabisan nafas..." ujar Galuh dengan penuh emosi.

"Tetapi seperih-perihnya rasa kehilanganku, rasa kepedihan bayi kalian lebih hebat daripadaku! Betapa tersiksanya dibuang orang tua sendiri dan mati! Apa kalian tahu rasanya?! Apakah kalian bisa merasakannya?!" lanjut Galuh dengan berapi-api.

"Aku ingat pada salah seorang saudaraku pengemis di Bukit Tunggul sana, pertama kali aku melihatnya, dia adalah seorang anak kecil yang sedang kelaparan, dia membawa sebungkus nasi timbel pemberian ibunya yang tewas terbunuh tapi tak sanggup memakannya, aku tanya kenapa dia tidak mau memakannya, ia menjawab jika ia memakannya ia tak akan bisa mengingat wajah orang tuanya, tapi kalau ia tidak memakannya ia akan mati kelaparan! Bodoh! Sungguh bodoh bukan?! Tapi ia terus bertahan dari rasa laparnya sambil mengepal nasi timbel itu!" Jaya terdiam mendengar ucapan Galuh tersebut kali ini dapat melihat sisi lain dari gadis yang biasanya bersikap konyol, periang, dan aneh itu.

Galuh lalu menyapu mereka semua dengan tatapan tajam penuh kemarahan, "Orang-orang seperti kalian... Orang-orang egois yang hanya memikirkan diri sendiri! Jahanam kalian!!!" jeritnya dengan penuh emosi.

Jaya segera menahan Galuh, "Hentikan! Cukup Galuh!"

Galuh berbalik pada Jaya "Diam! Kau juga dibuang oleh orang tuamu bukan?! Apakah kau tidak marah pada orang tuamu yang membuangmu begitu saja?!"

Jaya agak tersulut emosinya mendengar ucapan pedas Galuh tersebut, ia pun menjawab dengan nada tinggi, "Tapi ayahku pasti punya alasan yang tidak aku tahu ketika ia menitipkanku ke Padepokan Sirna Raga! Aku juga mempunyai dua orang guru yang membesarkanku dan merawatku seperti anaknya sendiri! Itu sudah cukup! Aku tak minta lebih!"

Galuh menatap Jaya dengan tajam, dari sela-sela matanya mengalir dua butiran bening, Jaya tercekat melihatnya, ia benar-benar tak menyangka bahwa kali ini Galuh benar-benar sedang terlarut dalam emosi. Sekonyong-konyong Gadis itu berbalik dan berlari meninggalkan mereka semua! Jaya terdiam sesaat, moment saat Galuh sangat emosional sampai ia menangis terus tergambar di matanya, lalu tanpa sapatah katapun pada para penyekar itu, ia melesat ke arah Galuh pergi.

Galuh terus melangkah dengan penuh emosi, beberapa langkah dibelakangnya Jaya mengikuti setiap langkahnya. "Jangan ikuti aku! Bukankah kau malah senang kalau aku pergi dari hadapanmu?!" bentak Galuh.

"Aku tak mengikutimu, jalan menuju ke Desa Saguling, desa terakhir sebelum Kutaraja Rajamandala memang lewat sini." jawab Jaya dengan santai

Dengan kesal Galuh pun menoleh. "Kalau begitu kau yang jalan didepan seperti biasanya! Lalu sana cepat pergi tinggalkan aku!" Jaya tidak menjawab, dengan santainya ia melangkah melewati Galuh, Galuh hanya bisa mendengus kesal ketika Jaya terus berjalan meninggalkannya, ia jadi salah tingkah, tapi pada akhirnya ia melangkah juga mengikuti Jaya.

Pada saat itu tiba-tiba seorang pria paruh baya berkuda yang mengenakan pakaian seorang Demang, menghadang di hadapan mereka, Jaya tidak menatap orang itu, dia hanya menatap kosong lurus kedepan, sedangkan Galuh berani menatapnya dengan tatapan penuh selidik, lalu ia menghampiri Jaya. "Apakah dia seorang siluman seperti yang kemarin-kemarin" bisinya pada Jaya, Jaya diam tak menjawab. Ia hanya dapat mencium bau bisa ular yang menyengat dari pria ini.

"Apakah kalian pengembara?" Tanya pria paruh baya itu, "Aku Demang Wiraguna, saya ucapkan selamat datang di Desa Saguling, tolong izinkan saya untuk beramah-tamah mengundang Ki Dulur dan Nyai Dulur untuk istirahat serta bersantap di rumah saya."

"Maafkanlah kami kalau kami kurang Sopan Ki Demang, tapi kami bukan orang Banten yang hendak melihat situasi di desa ini, kami hanya orang biasa yang masih warga Mega Mendung, saya sendiri dari Gunung Tangkuban Perahu" jelas Jaya yang khawatir mereka dikira mata-mata dari Banten.

Mendapati jawaban dari Jaya, Ki Demang Wiraguna tertawa kecil "Hahaha... Rupanya anda sudah mahfum dengan maksud saya, maafkanlah saya Ki Dulur, tapi saya tetap bersikeras mengundang Ki Dulur dan Nyai Dulur untuk beristirahat dan bersantap di rumah saya yang sederhana sebagai ucapan permohonan maaf saya."

Ucapan Ki Demang tersebut mengundang kecurigaan dari Jaya, "Mengapa ia langsung percaya pada ucapanku padahal suasana di desa ini sedang genting, Hmm... Mencurigakan, tapi ini juga kesempatan baik untuk mencari tahu soal bayi-bayi yang hilang itu!" pikirnya.

"Bagaimana Ki Dulur? Kalian bisa berbagi kisah dengan saya, sudah lama saya tidak keluar dari wilayah desa ini, jadi tidak banyak tahu perkembangan di dunia luar sana hahaha…" lanjut Ki Demang.

Akhirnya Jaya pun mengangguk "Baiklah Ki Demang, kami sangat berterima kasih atas undangan Ki Demang."