Aku benar-benar dibuat muak oleh kak Laras dan geng nya yang semakin hari semakin menjadi, menggangguku tanpa ada alasan yang jelas, mulai dari pura-pura kesandung dan mendorongku sampai aku terhuyung hampir terjerembab ke tanah, menyindir-nyindir aku kalau mereka ada didekatku, buang sampah di laci mejaku, coret-coret mejaku dengan kata kasar yang aku gak sanggup bacanya sampai-sampai mengganggu hampir semua teman sekelasku.
Mereka selalu ngadu kalau kak Laras akan mulai nanya mereka sekelas denganku atau tidak, kalau iya dia akan mulai mengganggu mereka, kadang minta uang seperti malak, bukan kak Laras yang malak, tapi 2 temannya.
Oke, aku benar-benar gerah dibuatnya!! ditambah aku dapat kabar dari Rina kalau orang yang sudah merusak cerpenku tempo hari adalah kak Laras dan teman-temannya karena ada anak dari kelas lain yang kebetulan kebagian piket hari itu dan datang lebih awal, katanya dia lihat mereka mengotak-ngatik mading waktu pagi-pagi saat sekolah masih sangat sepi, tapi kata bu Mala itu juga tidak bisa jadi pegangan untuk mengkasuskan kak Laras dan teman-temannya ke guru kesiswaan karena tidak ada bukti yang mendukung.
Akh! aku capek, kok bisa aku mengalami bully di sekolah seperti ini, biasanya aku cuma nonton hal-hal kayak gini di TV, dan sekarang nyata terjadi padaku. sudah seperti pemeran utama di FTV rasanya. Tapi aku gak mau bermasalah juga di sekolah kalau aku menanggapi kak Laras, bisa-bisa dia akan ngajak aku berantem dan itu akan bikin aku berurusan dengan Pak Baroto, guru sadis yang berbadan besar dan berkumis tebal, bikin tambah seram penampilan beliau.
Hiiiyyh! ! gak mau! Aku masih mau hidup! Jadi sebisa mungkin akan ku tahan emosiku.
"Ray, udah bel istirahat, ke kantin, yuk? laper nih, atau mau makan gudeg mbah Rimbi?" ajak Dwi.
"Kantin aja, Wi, aku mau beli minum aja, sedang gak selera makan," jawabku.
"Kenapa? mikirin kerjaan kak Laras?"
"Iya, aku gak enak sama anak-anak sekelas, kesannya gara-gara aku mereka jadi ikutan di ganggu."
"Aduuh, enggak kali, Ray, anak-anak keselnya sama kak Laras dan gak nyalahin kamu, mereka tau kamu juga diganggu, bahkan lebih parah."
"Hhhh ... sumpah capek aku, Wi, gini ya rasanya dibully," keluhku.
"Udah gak usah dipikirin, kalo kamu pikirin mereka bakal seneng, atau coba lawan aja sih, Ray, kalau kamu mau ngelawan aku sama Sari bakal bantuin kok."
"Enggak lah, Wi, gak mau urusannya jadi sampai ke Pak Baroto nanti."
"Ya udah deh terserah kamu, Ray." Kami jalan menuju kantin untuk isi perut, Sari menyusul kami sambil lari-lari.
"Tungguiiinnn! !" teriak Sari.
Kantin hari ini penuh dan sesak sekali, kami sampai pusing nyari tempat untuk duduk, oke! aku menemukan satu tempat kosong di pojok sana, kuajak Sari dan Dwi kesana lebih dulu supaya gak ditempati oleh siswa lain, lalu aku kembali lagi ke area penjual untuk pesan bakso sebab aku yang kalah suit saat tadi menentukan siapa yang akan pergi mengantri makanan.
Ketika sedang sibuk mengantri di kerumunan siswa, semangkok bakso dan segelas es teh berhasil mendarat dengan sempurna di seragam ku, bikin seragamku sukses basah kuyup. Aku kaget, ditambah sedang jengah sehingga membuat aku merasa tambah marah gara-gara ini, ku dongakkan kepalaku untuk lihat siapa pelakunya.
Yup! kak Laras lagi! Kali ini dengan senyum mengejek kepadaku sambil bilang, "Ups!! gak sengaja, makanya kalo jalan pake mata, main nyelonong aja sih," ucapnya arogan.
Aku mendidih, rasanya amarahku sudah diubun-ubun, bikin kepalaku panas, semua anak di kantin berhenti dengan aktifitasnya dan mulai nontonin kami.
"Kakak yang jalan pake mata!" sahutku geram.
"Ooh! Udah berani ya sekarang, mentang-mentang dibiarin, jadi ngelunjak!" Katanya teriak padaku sambil mendekatkan wajahnya dengan mimik yang dibuat galak.
"Siapa yang bilang aku takut sama kalian? Aku gak takut, kalian itu yang kayak pengecut beraninya ganggu orang! Ngomong sama aku langsung kalo gak seneng, jangan malah ganggu temen-temen ku dan ngerusak madingku!" Balasku tak kalah keras. Aku sudah tidak bisa menahan emosiku, rasanya ingin ku tendang muka mereka yang bikin kesal!
"Heh! cewek sialan! Berani nyolot ya, coba ngomong sekali lagi!" Makinya.
"APA?! Udah ku bilang aku gak takut!"
PLAK!!
Satu tamparan keras mulus mendarat di pipi kiriku dan membuat wajahku seketika menghadap kekanan, rambutku yang tebal dan panjang jadi berantakan hampir menutupi wajahku, bikin aku tambah mendidih dan mati rasa sampai-sampai tamparan keras itu tidak terasa, yang aku tau aku ingin sekali membalas pukulannya, tapi aku masih waras untuk pakai otakku, kalau aku balas dan jadi berantem, sudah pasti Pak Baroto akan turun tangan.
Aku mengepalkan kedua tangan erat-erat menahan marah, sampai dadaku sesak dan air mataku yang tak bisa dibendung tumpah saking dongkolnya. Kau pasti paham rasanya.
Dia mengayunkan tangannya lagi untuk menamparku kedua kalinya tapi tiba-tiba ditahan oleh seseorang yang entah datang dari mana.
Itu adalah Bimo yang menahan tangan kak Laras, sambil menatap tajam pada kak Laras, satu kantin hening dan hanya nontonin kami, lalu terdengar suara beratnya yang bilang, "Sudah!" Dengan nada datar dan dingin sambil masih menahan tangan kak Laras.
"Tapi Bim, dia yang udah kurang ajar sama ak—"
"Ku bilang sudah!" katanya menekankan. Kak Laras terdiam, aku masih mengepalkan tanganku erat-erat dan masih sesak, ingin sekali ku cekik lehernya itu, mumpung sedang dipegang Bimo, tapi tak aku lakukan.
Bimo mengalihkan pandangannya padaku, dan menurunkan matanya mengarah ke tanganku yang sedari tadi mengepal menahan amarah.
"Ayo bersihkan seragammu," kata Bimo sambil menggaet pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari kantin menuju toilet sekolah. Aku menurut dan mengikuti Bimo yang memegang tanganku sambil menuntun aku jalan. Dari jauh ku bisa dengar suara Dwi dan Sari yang adu mulut dengan kak Laras dan teman-temannya.
"Masih marah?" Kata Bimo, seperti bisa baca pikiranku. Aku jawab cuma dengan anggukan.
"Mau aku ajak ke ring tinju biar bisa mukulin samsak smpe puas?" Katanya sambil nyengir.
"Iiikh!" Kataku sambil mukul dengan lumayan keras tangan kanannya yang sedang pegang pergelangan tangan kiriku, efek emosiku yang masih belum stabil.
"Awwh!! he he he. "Dia diam sebentar, "Udah agak legaan?" tanyanya kemudian dengan senyum dan berusaha melihat wajahku. Aku mengangguk ringan, walaupun tidak plong sepenuhnya, tapi setidaknya lumayan mengurangi sesak dadaku.
Sampai di toilet, aku masuk dan Bimo menunggu diluar. Aku mendongak menatap cermin besar toilet, terlihat wajah dan rambutku yang berantakan, basah dengan air mata, segera kuseka air ke wajahku, lalu pandanganku turun ke arah seragamku yang basah kuyup dan kotor sekali karena kuah bakso.
"hhhhuufffhhh ...." Aku membuang nafas dengan keras. Ku basuh seragamku sedikit demi sedikit dengan air keran untuk menghilangkan nodanya. Tiba-tiba Sari dan Dwi masuk dengan gerasak-gerusuk.
"Gak apa-apa Ray?" Kata mereka hampir berbarengan.
"Iya," jawabku sekenanya.
"Emang kampret tu orang, kenapa gak kamu bales tadi Ray? Jambak rambutnya sampai copot harusnya!" Kata Sari geram.
"Iya Ray, issh!! Aku udah siap-siap nerjang dia kalo dia nampar kamu sekali lagi tadi, kenapa di tahan sih, Ray, harusnya kamu lepasin aja marah kamu tadi," kata Dwi tak kalah sewot.
"Biarin aja, aku gak mau urusan sama Pak Baroto."
"Kan ada kita yang bakal bantu ngomong sama Pak Baroto nanti," kata Sari.
"Udah lah, Sar, kayak gak tau Pak Baroto aja, aku capek Sar, dadaku masih sesak."
"Hhhhh ... kamu tu kebiasaan kayak gini, Ray, bikin aku gemes. Sini kami bantu bersihin seragammu," ucap Sari lagi, mungkin tidak tega lihat aku yang sudah berantakan gak karuan.
"Ray, ini sih udah basah kuyup, kalo kamu tetep pake ... nanti baju dalem kamu jadi keliatan jelas," kata Dwi memperhatikan bajuku yang basah.
"Iya, tapi gimana dong aku gak bawa jaket hari ini," kujawab dengan lemas.
"Ya udah tunggu disini, aku tanya sama anak-anak sekelas barangkali ada yang bawa jaket," kata Sari berinisiatif. Aku dan Dwi cuma ngangguk setuju.
Tapi tidak lama kemudian Sari sudah masuk lagi membawa Hoodie warna putih tulang dengan tulisan "NIKE" besar di tengahnya.
"Kok cepet Sar? Hoodie siapa itu?" Tanyaku heran.
"Iya, ini punya Bimo pas aku keluar dia baru nyampe abis ambil Hoodienya dari kelas trus suruh aku kasih ke kamu, Ray, pake gih cepet ntar masuk angin lagi."
"Iya deh."
Lalu aku masuk ke dalam bilik toilet untuk melepas baju seragamku yang basah dan ganti dengan Hoodie yang ukurannya kebesaran untukku, sepertinya ini 2x ukuran asliku, lengannya kepanjangan sampai tanganku terlihat hampir tenggelam.
Dan, hoodienya wangi sekali ... khas wangi parfum Bimo.
Setelah selesai ganti aku keluar bilik lalu merapihkan rambutku menghadap kaca besar yang tadi.
"Hoodie ya kegedean ya, Ray?" tanya Dwi sembari memperhatikan dari ujung kepala hingga kaki ku.
"Iya, kegedean banget," balasku.
"Gak apa-apa, tetep bagus kok ... yuk ah keluar, udah selesai kan kamu? Bentar lagi bel masuk." Sari mengingatkan.
Kami lalu keluar dari toilet, tak lupa aku lipat dulu seragam ku yang basah untuk ku bawa pulang supaya bisa dicuci nanti di rumah.
Saat keluar, kulihat Bimo yang masih menunggu di depan toilet dengan bersandar pada dinding.
"Loh, masih disini?" tanyaku.
"Iya, udah gak pa-pa?" katanya.
"He'emh," jawabku sambil mengangguk dan menyingkap rambut disebelah kiri wajahku ke belakang dengan jari.
"Coba liat sini," katanya sambil memegang daguku lalu memalingkan wajahku pelan ke arah kanan untuk lihat pipi kiriku yang tadi kena tampar.
"Ke kelas duluan, aku cari es batu dulu, itu agak bengkak pipi kamu harus dikompres, nanti aku susul ke kelas kamu," katanya lalu mulai lari menjauh.
"Hah?!" Refleks ku pegang pipiku yang kena tampar tadi dan memang baru terasa nyeri.
"Astagaa ... Ray, agak memar loh pipi kamu, emang gila dasar tu orang, sekenceng apa dia nampar sampe kaya gini?!" Pekik sari geram.
"Ya ampun Ray, kamu gak kerasa pipi kamu sampe agak memar gitu?" kata Dwi khawatir.
Aku cuma menggeleng pelan, aku juga kaget karna pipiku bisa sampai memar begini, dan memang tadi tidak terasa apa-apa, mungkin saking marahnya sampe mati rasa aku, sekarang begitu sudah tenang, baru terasa nyerinya.
Kami segera ke kelas, dan selama jalan kesana, kusadari banyak pasang mata yang melihat dan ku tebak mereka ngomongin kejadian dikantin tadi.
Huh! ini beneran bikin malu.
Sampai di kelas aku langsung duduk di tempatku, lalu merebahkan kepala di atas kedua tangan yang ku lipat di atas meja dan menghadap ke arah dinding di sebelah kiri, aku memang duduk di bagian pinggir yang nempel ke dinding. Lelaaah ... pengen pulang dan tidur aja rasanya.
Bimo datang ke kelasku dengan sekantung es batu di tangannya lalu langsung duduk di bangku Sari yang berada tepat di depanku, dia menghadap padaku sambil memberikan es batu ke pipi kiriku yang mulai bengkak.
"Nih dikompres dulu, nanti tambah bengkak jadi jelek," katanya sengaja menggangguku.
"Iiiiihh ...," ku jawab dengan sebal lalu menempelkan kantung es batu ke pipiku.
"Ha ha ha." dia ketawa kemudian sama-sama diam.
"Kayak Mike Tyson," ujarnya sambil ketawa jahil, (Mike Tyson itu petinju).
"Mau hadiah dari Mike Tyson?" Kataku sambil menunjukkan kepalan tanganku.
"Weits! Ampun ... Ha ha ha ... Galak!" jawabnya sambil ketawa.
"Bodo," sahutku ketus.
"Ha ha ha." Dia ketawa lagi.
Aku bukannya tidak dengar ocehan teman-teman sekelas yang sedang ngomongin aku dan Bimo karena tiba-tiba terlihat akrab, tapi aku tidak mau ambil pusing, kuabaikan mereka karena moodku sedang tidak karuan. Ku biarkan Sari dan Dwi menanggapi pertanyaan kawan-kawan yang lain soal kami.
"Raya! gak pa-pa? Katanya berantem sama kak Laras? Kok bisa berantem? Ada masalah apa sama kak Laras Ray?" Arif datang tergopoh-gopoh sambil memberondong pertanyaan padaku lalu memegang pundak kananku dengan raut khawatirnya.
"Iya, Rif, udah gak usah dibahas, Rif, aku masih kesal," jawabku sekenanya.
"Ooh ... oke, kalo kenapa-napa kasih tau aku Ray," katanya sambil akan melangkah pergi ke bangkunya dan tidak lupa melirik dengan pandangan tidak suka ke Bimo, sedangkan Bimo tidak peduli.
Seakan bisa baca pikiran Arif, aku tau dia pasti mikir kalau aku begini gara-gara dekat dengan Bimo, persis seperti yang dikatakannya kemarin.
Bel masuk sudah berbunyi, dan aku baru ingat tadi kami tidak jadi makan gara-gara kak La—Hmmh! ! Kalau diingat-ingat lagi jadi kesaaal.
"Aku ke kelas ya," kata Bimo pamit.
" Oh ... iya makasih ya," balasku.
"Nanti pulang sama aku." dia bilang sambil senyum dan beranjak akan pergi.
"Hah? Emm ... Iyah," kataku sambil mengangguk tanda setuju. Dia senyum untuk kemudian pergi ke kelasnya. Dwi dan Sari langsung duduk di tempatnya masing-masing.
"Tau gak, Ray, tadi kami perhatiin Bimo keliatan jengkel banget waktu Arif pegang pundak kamu, dia liatin tangan si Arif lama banget, ha ha ha," lapor Sari sambil berbisik-bisik padaku.
"Masa sih?" tanyaku memastikan.
"Iyaaaa, Ray, kita jadi cekikikan. Soalnya baru kali ini liat muka Bimo gak nyantai gitu, ha ha ha," sambung Dwi.
"Ck, udah ih. Ngomongin orang teruuuss ... ha ha," balasku.
—000—
Bel pulang sekolah terdengar, sebagai murid yang baik kami segera berberes buku pelajaran dan cepat-cepat keluar kelas untuk pulang, tidak terkecuali aku dan tiga orang temanku yaitu Dwi, Sari, dan Galih.
Waktu aku keluar kelas, di depan pintu sudah ada Bimo yang lagi berdiri bersandar di pilar selasar menghadap ke arah pintu kelasku. Dia nunggu aku, tentu saja sama Bayu yang juga nungguin Dwi.
"Udah? Hayuk pulang," katanya padaku.
"Eeemm ... iya, yuk," jawabku canggung.
"Eciieeeeee ...," ceplos Sari dan Galih berbarengan.
"Minta di tampol?" Sahutku ke mereka, mereka cuma ngakak.
--×××--