webnovel

Wanita Club' Malam

Kasih sayang orang tua yang layaknya di dapatkan oleh anak-anak, bahkan hal ini tidak memiliki batasan namun, sayangnya ia dan sang adik tak seberuntung seperti anak-anak lainnya. Elina masih belum paham akan kehidupannya sekarang dengan sekejap mata hancur bahkan keharomonisan tak lagi ada dalam keluargannya. Ketika ketukan palu di bunyikan, detik itu juga hati seoarang anak hancur melihat orang tua yang selama ini menjadi dambaan dan panutan sudah tak bersama lagi. Apalagi perpisahan mereka hanya di karenakan orang ketiga dalam kehidupan masing-masing. Kebutuhan yang memuncak dan mengharuskan dirinya untuk membiayai adik bungsu yang berada di jenjang pendidikan hingga membuat Elina merasa buntu dan memilih untuk menjadi pelayan di club malam. Bukanlah sebuah pekerjaan yang menyenangkan baginya, namun keadaan yang mendesak dan hanya disana, ia mampu mendapatkan gaji tinggi. Di pertemukan dengan Bryan bukanlah suatu rencana hingga keduanya terikat dalam hubungan yang tak jelas. Kehadiran Bryan begitu penting dalam hidup Elina dimana, wanita itu mampu mendapatkan perhatian dan kasih sayang setelah kehilangan semuanya. Meskipun, terkadang Elina merasa sadar bila Bryan sudah memiliki calon yang lebih baik darinya. Perjodohan Bryan bukanlah suatu hambatan untuknyai berhenti bertemu dengan Elina, “Sampai kapan pun, aku tak akan melepaskamu Elina!” cetus Bryan dengan tatapan tajam. Ucapan singkat namun, selalu tengiang dalam telinga Elina.

Magic_Sun_Sun · Teen
Not enough ratings
26 Chs

Mengadu

Sikap Amora memang tak ada habisnya hingga membuat Bryan merasa kesal dan serasa ingin murka, namun di saat ketika ia akan meluapkan semua amarahnya, teringat bila Amora adalah hobby sekali mengadu pada papa dan mamanya, hingga akan berujung pada kebebasannya. Gadis itu memang tak memiliki hati yang baik, ketika masa kecil Bryan sering kali mendapatkan cemooh dari Amora namun tak hanya sampai disitu saja, semua itu terus berlanjut hingga dirinya mencapai di bangku smp.

Jika di minta untuk lupa pun tak akan mudah, karena hal itu berangsur cukup lama, hingga menimbulkan rasa benci dalam hati Bryan sampai detik ini ketika melihat wajah Amora berada di depan matanya.

Bagi Bryan hatinya sudah tak dapat di luluhkan oleh wanita mana pun dan cukup pada Elina ia berlabuh. Apapun yang sudah terjadi pada Elina tak pernah ia pandang sedikitpun, karena dia adalah wanita yang berhak mendapatkan sebuah kebahagian yang nyata.

"Argh!!! Sialan banget sih, kenapa juga si Bryan harus membahas yang lalu-lalu. Selama ini aku sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik tapi, apa yang aku dapatkan hanyalah sebuah penghinaan," dengusnya penuh kegeraman atas ucapan Bryan, siang ini.

"Kamu kenapa sayang, pulang-pulang kok mukannya masam begitu? Apa yang sudah terjadi sama kamu?" sambut dengan suara yang panik ketika melihat putrinya bermuka masam.

Taka da jawaban gadis itu tetap terdiam, dan memilih duduk di sofa dekat Mama Bryan duduk.

"Hei, kamu kenapa sayang? Bryan ada di rumah, kan?" tanya Ajeng, panik. Entah apa yang sudah dilakukan oleh anaknya hingga membuat Amora seperti ini.

"Hiks hiks hikss, tante Bryan jahat banget sih. Masa tadi aku di dorong, lihat nihh biru," sambil menunjukan luka atas perbuatan lelaki tersebut.

"Heii, anak mami kok jadi lebam begini. Apa yang sudah di lakukan oleh Bryan? Selama ini mama menjaga kamu dengan baik, tapi orang lain malah seenaknya menyakiti kamu," gerutu Vio, Mama Amora dengan wajah kesalnya, melihat anaknya babak belur seperti ini.

"Belum jadi suami saja Bryan sudah seenaknya, apalagi nanti kalau jadi suami. Mau jadi apa anak saya ini," dengus Vio, dengan wajah kesal dan nada serunya.

"Vio, maafkan atas perlakukan anak saya mungkin saja Bryan taj sengaja mendorong Amora hingga seperti ini," dengan nada lembut Ajeng berusaha membuat besannya ini tak naik darah atas apa yang di lakukan putrnya terhadap Amora.

"Maaf saja tidak cukup!! Lihat, apa dengan maaf kamu putri kesayanga saya sudah bisa sembuh, kalau begini lebih baik kita batalkan saja perjodohan ini," terang Vio.

"Hah? Mampus," dengan mata meloto, Amora langsung terpanah oleh ucapan maminya. "Mami jangan begitu dongg, jangan gegabah, ini semua nggak sepenuhnya salah Bryan, aku juga tadi teledor," sela Amora, sambil menenangkan maminya yang sedang emosi.

"Mampus, selama ini impian gua adalah menikah dengan Bryan. Kalau tau begini, nggak lagi deh gua cerita," ucap Amora dalam hati sambil menepuk jidatnya ketika melihat maminya yang sudah penuh dengan rasa emosi.

"Sudah, Amora jangan bela dia. Kalau tau begini nggak akan mama jodohkan kamu dengan dia. Tolong ya Jeng bilangin ke anak kamu, jika memang tak ingin di jodohkan dengan Amora tak masalah tapi, jangan sampai bermain kasar seperti ini,"

"Iya maafkan anak saya, dan jangan batalkan perjodohan ini,"

"Iya mami, aku sayang sama Bryan. Mami kenapa sih, jadi begini," keluhnya, dengan mata berkaca-kaca bingung harus berkata apa lagi.

"Amoraa masuk kamar, jangan ikut campur dengan percakapan mami!!!!" bentak Vio, sudah habis rasanya kesabaran yang ia miliki ketika melihat putri kesayangannya penuh dengan luka.

"Mbak Ajeng tolong pergi dari sini, saya ingin tenang. Dan jangan lupa bicara dengan Bryan, jika tak ingin dengan Amora maka perjodohan ini sampai disini saja,"

"Eee-ee, iya Vio. Maafkan anak saya yaa. Dan jika bisa perjodohan ini tetap berlanjut," ucap Ajeng dengan nada gugup.

Melihat perbuatan anaknya kali ini, Ajeng merasa sangat malu sekali. Entah mengapa Bryan yang selama ini ia ajarkan selalu berbuat baik dan lembut dengan wanita melakukan kekerasan pada Amora yang tak lain adalah calon istrinya.

Ia pula merasakan amarah Vio sangat memuncak ketika melihat putrinya dengan keadaan seperti itu.

"Huhh! Anak itu selalu saja mencari masalah," dengus Ajeng dengan rasa kesal, hingga ketika masuk ke dalam rumah tak ada lagi ketukan di pintu, ia langsung mendobrak begitu saja dan mencari dimana keberadaan anaknya, "Bryannn!! Bryan, kamu dimana? Mama mau bicara dengan kamu," teriak Ajeng, dengan nada tinggi.

"Bryann!! Keluar mama ingin bicara dengan kamuu!!" teriak Ajeng kembali namun, belum ada jawaban darii terikannya.

"Maaf buk, Den Bryan baru saja pergi," ujar seoarang art.

"Hah! Kemana dia perginya bik?"

"Saya nggak tau buk, soalnya ketika saya tanya Den Bryan hanya tersenyum saja lalu pergi dengan mobil,"

"Mobil? Kok tumben banget itu anak, biasanya sama motor?" heran Ajeng, tak biasanya Bryan menggunakan mobil, bila taka da urusan yang mendesak.

"Ya sudah kalau begitu, saya mau pergi ke dulu. Nanti kalau dia pulang langsung kabarin saya. Dan jangan biarkan dia pergi, kalau bisa sita semua kunci dan bilang saja semua itu atas perinta dari saya," jelas Ajeng.

Belakangan ini putranya sering sekali keluar, bahkan pulangnya hingga berhari-hari tak tau apa yang di lakukan oleh Bryan, dan semua itu mungkin saja ada sangkut pautnya dengan kekasih Bryan.

***

"Kamu kepala batu banget sih! Jadi cowo jangan kasar begitu deh, nanti nggak ada cewe yang mau sama kamu,"

"Buktinya kamu mau sama aku," timpal suara dengan nada bahagia, hingga menimbulkan lekutan senyum di wajah.

"Hishh, pede sekali anda nihh,"

"Hahah Isa-Isa," sambil mengusap kepala Isa dengan lembut. "Satu hari tak berjumpa denganmu, itu adalah hari terburuk dalam hidupku,"

"Lebaynya kumat, kamu mau gombalin aku ya? Maaf mas saya sudah tidak mempan, dengan gombalan anda," gumam Isa, sambil tersenyum, lalu beralih merapihkan tempat tidur yang masih berantarakan setelah pindah ke apartemen.

"Aku sangat merindukanmu Isa," sambil memeluk Elina dari belakang.

"Bryan, lepaskan. Apa kamu tidak melihat aku sedang apa?" dengusnya sambil melepaskan pelukan yang kuat.

"Aku tak peduli apa yang kamu lakukan, yang jelas saat ini aku merindukanmu," kekehnya, hingga semakin kuat, memberikan pelukan tersebut.

"Ini kenapa lagi sih, kita hampir setiap hari bertemu. Apa semua itu masih kurang?"

Melepaskan seprei begitu saja, dan berbalik menghadap Bryan yang memeluknya dengan amat kuat. "Tentu saja kurang, aku ingin berjumpa denganmu itu. Setiap detiknya, ungkapnya, dengan wajah penuh kebahagian saat melihat Elina ada di depan matanya.