webnovel

06

Setelah kejadian kemarin, Joa tidak mampu lagi untuk menatap mata Erich meski hanya sekedar menatap wajahnya. Sedangkan, pria itu nampak biasa saja. Ia selalu mencari perhatian Joa. Tiap harinya melekat pada Joa yang membuat fokus gadis itu semakin buyar jika bersama Erich.

"Rich, kamu seharusnya cari teman saja. Kalau ketemu sama orang harus senyum yah, nggak boleh keliatan sinis." Nasihat Joa pada Erich agar perlahan Erich membuka hatinya untuk orang lain selain dirinya. Padahal ia sendiri tidak mampu melakukannya.

Erich kembali mendekatkan wajahnya tepat pada wajah Joa hingga Joa kembali terbayang kejadian kemarin.

"Baiklah. Akan ku coba." lirih Erich yang melemparkan senyum untuk Joa.

Joa yang masih terbayang kejadian kemarin, tiba-tiba menggebrak meja dan berteriak. Wajahnya terlihat merah padam hingga Erich terkejut dan menjauhkan wajahnya.

"Haahhhh.. Haahhh.. Haahhh. Panas." gumam Joa yang masih di dengar oleh Erich.

"Panas? Kok bisa? Padahal ACnya nyala kok." ujar Erich dengan polos.

"A.. aku mau cari angin dulu." Joa berlari keluar kelas tanpa memperdulikan teriakan Erich.

Tiba-tiba Kai datang menghampiri Erich seraya menepuk pundak pria itu. "Kau harus lebih peka broo. Dia sangat malu padamu. Apa yang sudah kalian lakukan?"

Mendengar pertanyaan itu, Erich tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku hanya mencium bibirnya."

Kenny yang sedang minum pun tiba-tiba tersedak ketika tanpa sengaja ia mendengar ucapan Erich. Apalagi Erich mengatakan kata 'Hanya' yang membuat Kenny menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.

"Apa sebelumnya kau sudah pernah mencium seorang gadis Erich?" tanya Kenny tiba-tiba.

"Nggak. Joa yang pertama. Joa yang teman pertamaku di kalangan wanita. Tapi entah kenapa aku bisa melakukan hal itu dengannya. Aku cuma pernah melihat yang seperti itu." jawab Erich dengan polos sambil menautkan jarinya satu sama lain.

"Whaaaattt? Kemajuan itu broo." kekeh Kai sambil menepuk-nepuk pundak Erich.

"Kalian sudah pacaran?" tanya Kenny yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Erich pertanda tidak.

"Kemarin aku ngomong 'Jadilah pacarku, Joa' tapi dia hanya diam. Bahkan aku udah mengulanginya dua kali tapi tetap saja. Ia hanya diam dan aku menciumnya. Aku kira diamnya itu pertanda 'Iya' tapi aku tidak tau." jelas Erich yang membuat Kenny dan Kai mengangguk paham.

"Lagian kau Erich main menyeruput aja. Kau pikir Joa mau kau cium. Dasar kau ini." oceh Kenny.

"Aku kan cuma gemes padanya." lirih Erich.

"Yaudah, aku akan mencarinya." tambahnya dan bergegas keluar kelas.

"Cepetan yahh. Jam istirahat udah mau selesai." teriak Kai yang entah di dengar oleh pria itu atau tidak.

Erich mencarinya ke segala tempat, tetapi ia tidak menemukan gadis itu. Akhirnya ia memberanikan dirinya untuk bertanya pada salah satu siswa hingga ia memikirkan satu tempat yang sangat menenangkan untuk orang yang ingin sendiri yaitu diatap.

"Joa kamu dimana? Aku lelah mencari—" omelan Erich terpotong ketika melihat gadis itu yang sedang tertidur pulas dan tenang tanpa beban dengan posisinya yang bersandar pada dinding.

Pria itu duduk di sebelahnya dan mengusap pipi Joa yang tembem. Ia terlihat sangat polos dan seperti bayi saat tertidur yang berhasil membuat Erich tersenyum. Ia pun mengubah posisi Joa menjadi berbaring dengan berbantalkan pahanya.

"Tidurlah dengan tenang. Bermimpi indahlah dan lepaskan semua beban dan rasa lelahmu." lirih Erich sembari mengusap lembut kepala Joa yang membuat Joa semakin tenang.

Sudah setengah jam berlalu ia menatap gadis yang tertidur di pangkuannya itu. Gadis yang membuat jantungnya berdegup sangat kencang. Terkadang ia masih bertanya-tanya mengenai perasaannya, 'Apakah ia benar-benar menyukai Joa?'. Ia merasa Joa sangatlah istimewa untuknya. Seperti ada ikatan batin diantara mereka. Kadang ia bisa merasakan kata hati Joa. Itu sangat aneh, bukan? Itulah yang membuatnya semakin tertarik dengan gadis itu. Namun, terdengar sangat berlebihan untuk ukuran remaja seperti dirinya yang masih duduk di bangku SMA.

Keduanya yang terpapar sinar matahari membuat Joa membuka matanya. Ia terkejut dengan keberadaan Erich yang kini posisinya paha pria itu menjadi bantal untuk Joa. Ketika Joa ingin bangkit, sebuah tangan kekar menahannya agar tetap dengan posisi seperti sekarang itu.

"Erich, jangan menahanku seperti ini. Kita terlambat masuk kelas." omel Joa sembari menatap pria itu dari bawah.

"Sekali-kali bolos, tak apalah." ucapnya tanpa menatapku. Ia hanya bersandar dan menutup matanya, menikmati sejuknya angin yang bertiup menerpa wajahnya.

Gadis itu melihat rahang keras milik Erich yang menambah kesan tampan pada diri pria tersebut. Pipinya tiba-tiba menjadi terasa panas mengingat kejadian kemarin. Yahh, bagi Joa dengan melihat Erich, ia akan terbayang kejadian yang diluar dugaan itu. Namun dengan cepat ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jangan lakukan itu. Kamu membuatku geli, Joa." gumamnya yang masih mampu Joa dengar. Joa hanya terkekeh menanggapinya.

'Iya, Erich benar. Sekali-kali bolos kelas tak apa. Ini pertama kalinya aku bolos kelas. Itu pun hanya bersamanya.' — Batin Joa. Ia tersenyum dan menutup matanya sembari menikmati angin yang terasa sejuk membelai lembut wajahnya.

"Joa, cobalah untuk membuka matamu. Cobalah untuk menatap langit. Ia terlihat sangat indah." ucap Erich yang memecah keheningan.

Akhirnya perlahan Joa membuka matanya dan perkataan Erich sangat benar. Langitnya begitu indah. Joa tidak pernah menyadari bahwa langit yang saat ini ia tatap sangatlah Indah. Gumpalan-gumpalan asap pesawat menjadi jejak bahwa pesawat itu pernah melewati alur itu. Ia pun tersenyum.

"Selama ini kamu terlalu fokus dengan pelajaranmu hingga tidak bisa menikmati keindahan di sekitarmu. Selama ini kamu selalu menatap ke bawah yang ada hanyalah buku dengan coretan-coretan tanpa seni, kamu tak pernah sekali-kali menatap ke atas. Padahal di atas sana ada langit yang sangat indah." ucap Erich yang membuatku bangkit dari tidurku dan memberanikan diri untuk menatapnya.

"Makasih yaah Erich. Mungkin.." ucap Joa yang tiba-tiba ia gantung. Ia ragu untuk mengucapkan sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Mungkin?" ucap Erich yang ia gantung pula.

"Mu.. mungkin aku mulai menyukaimu, Erich." teriak Joa yang untuk mengatasi kegugupannya.

1 detik.. 2 detik.. 3 detik.. hingga mencapai satu menit, Erich hanya tersenyum menanggapinya. Ia terus menatap Joa yang begitu salah tingkah dan kikuk. Rasanya Joa ingin lari saja dari tempat itu.

'Ngomong dong. Kok dia cuma senyum-senyum sih, kan malu. Aduuhh tampan pula wajahnya itu sampai-sampai membuatku salah tingkah. Apa aku harus menarik ucapanku ini?' — Batin Joa yang menggerutu kesal.

"Jadi kamu mau kita pacaran?" tanya Erich yang kini menahan senyumnya melihat tingkah Joa.

'Gadis ini sungguh membuatku gemes.' — Batin Erich yang bersorak-sorak tak sabar ingin menarik pipi gadis itu.

"Heh? Aku cuma bercanda tadi." jawab Joa sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Padahal di dalam hati Joa, 'Eriiiiicchhh, aku mauu. Aku mauuuu.' — Teriak Batin Joa sambil menari-nari ala Cheli Ders.

"Aku juga tadi bercanda kok Joa, mana mungkin kamu mau menerimaku." ucap Erich yang berpura-pura tanpa Joa ketahui. Hal itu berhasil membuat Joa merengut kesal.

'Erich, sialan. Udah bikin jantungku keluar, ehh malah ditarik masuk lagi. Aduhhh, jantungku ini bukan katrol yang ada pada sumur Rich.' — Umpat Joa dalam hati.

Erich terkekeh melihat Joa, "Tapi tetap saja Joa, aku hanya mencintaimu. Tidak ada orang lain selain kamu, Ayane Joa." Erich tersenyum mengatakan hal itu dan berhasil membua Joa mati kutu.

Bluuuusshhh...

'Ohh Tuhan, jantungku. Senyumannya bikin orang diabetes dan sakit jantung.' — Teriak Joa dalam hati. Kini pipinya sudah merah merona ala kepiting rebus.

***