webnovel

Chapter 5

Jantungku sedikit melonjak di dalam dadaku saat mendengar suaranya. Kudongakkan kepalaku menatap sepasang mata birunya yang gelap, kedua alis matanya sedikit terangkat terkejut.

Aku belum pernah melihat seseorang setampan Nicholas Shaw.

Ia mengenakan setelan jas yang lebih formal dibanding dengan yang biasa Ia pakai untuk bekerja. Biasanya Ia hanya mengenakan kemeja dan jas, tapi kali ini Ia mengenakan tiga lapis. Kemeja, vest, dan jas. Cufflinknya sedikit berkilat terkena cahaya lampu lobby saat Ia mengangkat tangannya untuk menekan tombol lift, mencegah pintu lift menutup kembali. Jas dan vestnya berwarna hitam dengan dasi berwarna biru gelap, serasi dengan warna matanya.

Aku masih memandangnya saat Ia memanggilku untuk kedua kalinya.

"Oh." Kakiku melangkah keluar dari lift, lalu berdiri di depannya dengan sedikit canggung. Aku baru saja memikirkannya dan bam! tiba-tiba Ia ada di depanku.

"Hey." Aku melupakan sikap formalku seketika.

"Kau masih disini?" tanyanya sambil menarik kedua sudut mulutnya ke bawah.

"Aku sudah bilang aku harus menyelesaikan pekerjaanku..." gumamku sambil menurunkan pandanganku dari wajahnya ke kancing vest teratasnya. Parfum dan sedikit bau mint tercium darinya. Bukan parfum yang membuat mual seperti parfum Oliver, tapi bau parfum mahal.

Kugigit bagian dalam pipiku sebelum berbicara lagi, "Kau baru saja dari acara amal itu?" tanyaku walaupun aku sudah tau jawabannya. Ia hanya mengangguk kecil.

Tiba-tiba aku bisa merasakan nadi di pangkal leherku berdenyut lebih keras, tangan kananku bergerak untuk menyentuh leherku. Sedikit bagian kulitku terasa lebih panas dari biasanya, hanya bagian tertentu. Tepatnya bagian luka itu.

"Aku harus mengambil sesuatu dari kantorku, jadi aku kembali. Kukira kau akan bekerja dari hotelmu." Ia melihat jam tangannya sekilas sebelum kembali memandangku. "Aku akan mengantar—"

"Nick."

Denyutan di lukaku melonjak lebih cepat. Kedua mataku refleks beralih ke balik bahunya saat suara asing itu memanggil namanya.

Bukan, bukan suara yang asing, dimana aku pernah mendengarnya?

Pria di belakang Mr. Shaw berhenti beberapa langkah dari kami. Ia menatapku sekilas lalu kembali menatap Mr. Shaw. Ada kemiripan di antara mereka berdua. Tapi pria ini memiliki sikap yang lebih santai daripada Mr. Shaw. Rambut hitamnya dibiarkan sedikit berantakan, bakal janggut menghiasi rahangnya membuatnya terlihat terlihat serampangan. Dan kedua matanya berwarna sama dengan Mr. Shaw. Hanya saja tidak seperti mata Mr. Shaw yang dingin dan mengintimidasi, justru kebalikannya.

Lalu aku menyadari kebodohanku. Tentu saja mereka mirip. Ia adalah saudaranya, Gregory Shaw.

"Siapa dia?" tanyanya sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jeansnya, lalu tanpa menunggu jawaban Ia bertanya lagi, "Kau sudah mengambilnya? Aku harus berangkat besok pagi."

Tunggu dulu. Perlahan otakku mulai bekerja, memaksa pikiranku untuk mengingat dimana aku pernah mendengar suara ini.

Mr. Shaw mengambil sebuah kunci dari dalam saku jasnya lalu melemparnya ke saudaranya, yang langsung ditangkap dengan gerakan santai.

"Ambil sendiri, Greg. Aku akan mengantar Miss Heather kembali ke hotelnya." Balas Mr. Shaw. Ia menggenggam kunci itu lalu mengangguk, tapi senyum di wajahnya semakin lebar saat mendengar ucapan saudaranya.

"Ohhhhh... Miss Heather, huh?" godanya sambil berjalan masuk ke dalam lift, lalu kedua mata birunya perlahan berpindah dari Mr. Shaw ke arahku lagi. Kali ini Ia tidak hanya melihatku sekilas seperti sebelumnya, tapi benar-benar melihatku.

Jarak kami hanya terpisah tiga langkah jadi aku bisa melihatnya lebih jelas. Tiba-tiba senyuman lebar di wajahnya memudar, dan selama sepersekian detik sebuah ekspresi aneh melintasi wajahnya. Lalu pintu lift tertutup.

Apa aku mengenalnya? Kukedipkan mataku beberapa kali di depan pintu lift yang tertutup. Lalu aku menyadari, bukan hanya nadi leherku yang berdenyut dengan cepat, tapi jantungku juga.

"Eleanor?" suara Mr. Shaw memaksaku mengalihkan pandanganku kembali padanya. Ia menatap kedua mataku selama beberapa saat sebelum menunduk sedikit. Kuikuti arah pandangannya lalu menarik tanganku secepatnya, aku tidak menyadar salah satu tanganku mencengkeram lengan jasnya dengan erat sejak tadi. "Oh. Maaf, Mr. Shaw—"

"Kau mengenalnya?" tanyanya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Apa?"

"Kau mengenal Greg?"

Kukerutkan keningku sambil berusaha mengingat, "Kurasa aku pernah melihatnya di suatu tempat." Balasku setengah tidak yakin. "Ah, aku harus kembali ke hotelku—"

"Aku akan mengantarmu." Katanya sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.

"Tapi—"

"Sekarang sudah pukul 10 malam Miss Heather, aku tidak akan membiarkanmu pulang sendirian." Potongnya sambil melihat jam tangan Rolexnya.

"Hotelku—"

"Aku tahu dimana hotelmu." Kedua mata birunya menatapku lagi, menantangku untuk menolaknya.

"Hotelku hanya berjarak lima menit dengan berjalan, Mr. Shaw." Kataku sambil berusaha menahan diriku untuk tidak melemparkan sesuatu padanya karena kesal. Well, sebenarnya aku lebih ingin melemparkan diriku padanya.

"Kalau begitu kita akan berjalan." Balasnya sambil berjalan sedikit, lalu membalikkan badannya lagi saat aku tidak bergerak dari tempatku. "Miss Heather?"

Ugh. Aku berjalan mendekatinya, lalu Ia menarik salah satu sudut mulutnya ke atas dengan sedikit ekspresi puas.

"Anda benar-benar orang yang sangat persuasif, Mr. Shaw." Gumamku dengan sedikit nada formal bercampur sarkasme. Kami berjalan melewati lobby menuju jalanan Manhattan yang masih sedikit ramai.

"Aku terbiasa mendapatkan apa yang kuinginkan, Miss Heather." Balasnya dengan suara rendah, membuat perutku terasa gugup. Kuabaikan kalimat terakhirnya lalu mengalihkan pandanganku pada lampion yang sedang dipasang beberapa pekerja di salah satu sudut blok. Oliver mengatakan sesuatu tentang festival yang akan digelar di Manhattan.

"Apa ada acara yang akan digelar di tempat ini?" tanyaku sambil menunjuk lampion-lampion itu.

Ia menoleh ke arahku. "Halloween. Beberapa blok akan ditutup selama setengah hari."

"Oh." Aku mengangguk kecil sambil tetap memandang lampion-lampion yang sedang dipasang. Beberapa berbentuk seperti labu dan kelelawar. Aku tidak pernah melihat festival sebelumnya, kecuali festival sekolah tentu saja.

"Kau ingin melihatnya?"

Aku mengangkat kedua bahuku, "Aku harus kembali akhir pekan ini." Jawabku sambil membalas tatapannya. Kedua alisnya sedikit berkerut setelah mendengar jawabanku.

"Kau yakin hanya membutuhkan seminggu? Aku bisa meminta Mrs. Lynch untuk memperpanjang masa kerjamu."

Aku menggeleng sambil tersenyum padanya, "Sebenarnya audit ini tidak akan selesai dalam seminggu kecuali jika aku lembur setiap malam. Tapi aku ingin kembali secepatnya."

Ia memperlambat langkahnya, perhatiannya kali ini benar-benar terarah padaku. "Kau tidak menyukai Manhattan?"

"Oh tidak, Manhattan punya restauran bagel terbaik. Aku... hanya ingin pulang." Kualihkan tatapanku dari kedua matanya yang seakan-akan berusaha menembus ke dalam diriku. Aku tidak heran jika Ia bisa membuat jaksa di pengadilan menyerah hanya dengan tatapan matanya.

"Kau punya seseorang yang menunggumu di rumah?" kali ini suaranya terdengar sedikit aneh.

Aku kembali tersenyum, "Tidak. Tidak ada. Aku hanya... lebih merasa aman berada di rumah." Jawabanku keluar begitu saja tanpa kupikirkan lebih dulu. "Maksudku... Aku tidak begitu menyukai berada di tempat asing sendirian." Tambahku cepat-cepat.

Aku tidak ingin sendirian setelah kejadian malam itu, suara pria itu masih membayangi setiap mimpi burukku. Refleks kusentuh leherku, tempat luka itu, dengan ujung jariku. Kulit di sekitarnya terasa sedikit lebih panas. Aneh, biasanya luka ini baik-baik saja.

"Kau tidak sendirian, Eleanor." Gumamnya dengan suara rendah. Aku hanya membalasnya dengan tertawa gugup. Kami kembali terdiam selama sisa perjalanan menuju hotelku, bukan keheningan canggung seperti makan siang tadi, tapi keheningan yang nyaman. Saat kami sampai di lobby hotelku, hujan kembali turun. Mr. Shaw mengantarku hingga ke lift hotel, lalu setelah mengucapkan selamat malam Ia berjalan menjauh.

"Tunggu—"

Ia berbalik lagi.

"Aku punya beberapa payung di kamarku." Gumamku dengan sedikit canggung, "Di luar masih hujan dan... dan kau tidak membawa payung. Jadi..." sebelum aku mulai mengoceh tidak jelas kututup mulutku lagi.

Mr. Shaw tersenyum perlahan lalu berjalan masuk ke dalam lift bersamaku. Bau parfum mahalnya bercampur mint tercium jelas dari jarak sedekat ini. Jantungku berdebar sangat kencang di dalam rongga dadaku hingga aku bisa mendengarnya di telingaku.

Ugh. Ella, apa yang baru saja kau lakukan?

Pintu lift terbuka di lantai kamar hotelku, aku berjalan lebih dulu melewati lorong hotel lalu berhenti di depan kamarku. Kurogoh tasku untuk mengambil kunciku lalu membuka kamar hotelku. Aku berdiri di depan kamarku dengan ragu-ragu, apa aku harus mengajaknya masuk?

"Um, tunggu sebentar." Gumamku sambil mempersilahkannya masuk. Tepat saat kami masuk suara deringan terakhir berbunyi dari telepon hotelku, satu detik kemudian sebuah pesan suara berbunyi. Aku membiarkan pesannya berbunyi sementara mencari payung yang baru kubeli kemarin. Mr. Shaw menyandarkann punggungnya di sebelah lemari besar kamar hotelku, kedua tangannya terlipat di dadanya. Dan Ia sedang mengamatiku.

"... Ella? Aku berusaha menghubungi handphonemu sejak tadi. Kau lembur lagi? Jangan pulang sendirian, okay? Aku tidak ingin kau diserang lagi. Hubungi aku secepatnya. Omong-omong, bagaimana makan siang dengan Mr. aku-tidak-tahu-siapa-namamu-karena-kau-terlalu-tampan? Apa kau sudah tahu namanya sekarang? Telepon aku—"

Kujatuhkan payung yang sedang kupegang lalu melompat untuk menyambar gagang telepon kamarku sebelum kalimat Lana berakhir. Kutempelkan telepon itu ke telingaku.

"Ella?" suara Lana terdengar heran dari ujung sambungan, "Kau disitu?"

"Ya!" kurasakan wajahku yang memerah, aku tidak bisa menatap wajah Mr. Shaw sekarang, jadi aku berdiri memunggunginya. "Yeah, aku baru saja kembali."

"Kau lembur lagi? Aku berusaha menghubungi nomor barumu seharian ini. Omong-omong, Oliver meminta nomor handphone barumu untuk managermu, apa aku harus memberikannya?"

"Aku belum mengisi baterai handphoneku... Oliver? Aku sudah memberikan nomor baruku ke Mr. Newman. Untuk apa Ia meminta lagi?" gumamku sambil mengerutkan keningku.

"Aku tidak tahu... Well, bagaimana dengan makan siangmu?" tanya Lana dengan nada suara yang berubah 180 derajat lebih genit.

Aku melirik ke arah Mr. Shaw sekilas, "Aku akan menghubungimu nanti, Lana. Okay?"

"Apa? Aku penasaran setengah mati dengan penyelamatmu seharian ini."

"Aku tidak bisa bicara sekarang." Bisikku dengan nada mendesak.

"Memangnya kenapa—" Lana terdiam sejenak seakan-akan Ia sedang berpikir lalu dua detik kemudian Ia memekik sangat keras di telepon hingga aku harus memejamkan mataku, "Ia ada di sana? Ia ada di kamar hotelmu?" tanyanya setengah memekik.

"Bye, Lana. Aku akan menghubungimu nanti." Balasku tanpa menjawab pertanyaannya lalu menutup sambungan telepon. Kutarik nafasku dalam-dalam lalu berbalik ke arah Mr. Shaw, ekspresi di wajahnya belum berubah sejak tadi, kedua matanya masih mengamatiku. Aku berusaha menarik kedua sudut mulutku ke atas untuk tersenyum, lalu mengambil payung yang kujatuhkan.

"Temanku sedikit..." kuangkat tanganku untuk menunjuk telepon sebelum menjatuhkannya lagi ke samping tubuhku, "Ia agak sedikit... berlebihan."

"Terimakasih karena sudah mengantarku Mr. Shaw." Gumamku cepat-cepat sambil menyerahkan payungku padanya. Ia hanya mengangguk kecil, aku mengantarnya hingga ke depan kamarku lalu Ia berbalik lagi tiba-tiba hingga aku hampir menabraknya. Jantungku kembali melonjak karena jarak kami yang sangat dekat, tiba-tiba Ia menunduk hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Aku bisa melihat warna biru gelap kedua matanya yang mengintimidasi dengan jelas,

"Beritahu temanmu... Nama pria itu Nicholas Shaw." Bisiknya, nafasnya yang berbau mint bercampur Champagne berhembus di pipiku. Kurasakan wajahku kembali memerah. Lalu Ia menarik dirinya menjauh lagi.

"Selamat malam, Miss Heather." Gumamnya sambil tersenyum dan berjalan menjauh, meninggalkanku yang berdiri mematung di depan kamar hotelku.

Next chapter