webnovel

VOLDER

Volume I: Eleanor Heather menyukai hidupnya yang biasa-biasa saja. Ia menikmati pekerjaannya sebagai akuntan sambil menyelesaikan cicilan pinjaman uang kuliah dan hidup berbagi apartemen bersama sahabatnya, Lana. Hingga suatu malam, pertemuannya dengan seorang pria aneh yang tiba-tiba menyerang dan menggigit lehernya membuatnya trauma untuk keluar sendirian lagi. Tapi itu hanya titik awal perubahan hidupnya. Saat Ia bertemu Nicholas Shaw, pengacara sekaligus pemilik Law Firm yang kebetulan sedang diaudit olehnya, hidupnya berubah drastis. Banyak hal gelap dan mengerikan tentang Nicholas yang Ia sembunyikan dari dunia. Walaupun begitu Eleanor tidak bisa berhenti memikirkannya, dan Nicholas Shaw tidak ingin melepaskannya begitu saja. Volume II: Untuk yang kedua kalinya dalam hidupnya... wanita itu berhasil kabur darinya. Gregory Shaw tidak pernah berpikir Lana akan meninggalkannya lagi. Dan kali ini Ia akan memburu wanita itu, bahkan hingga ke ujung dunia sekalipun. Bahkan jika hidup atau mati taruhannya.

ceciliaccm · Fantasy
Not enough ratings
415 Chs

Chapter 20

Beberapa kali kulirik jam digital di dashboard taksi. Sudah pukul 8 malam.

Untungnya salah satu temanku tidak keberatan meminjamiku uang untuk taksi. Jantungku mulai berdetak lebih cepat diikuti dengan rasa gugup di perutku. Sesaat aku berpikir untuk membatalkan rencanaku.

Tidak, aku harus melakukan ini. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa membiarkan Gregory menculik Lana.

Taksiku berhenti di depan gedung perkantoran di pusat Manhattan. Bahkan gedungnya yang menjulang tinggi pun mulai terlihat mengintimidasi. Kutarik nafasku dalam-dalam sebelum berjalan masuk ke dalam lobby.

Aku tahu ini sudah lewat jam kerja, tapi mengingat kebiasaan Nicholas Shaw yang selalu pulang larut malam hanya rasanya aku bisa menemukannya disini. Lagipula aku tidak tahu alamat rumahnya.

Hanya ada seorang security yang berjaga di dekat meja resepsionis. Ia mendongak dari koran yang sedang dibacanya dan menatapku dengan terkejut. Mungkin Ia tidak biasa melihat wanita dengan pakaian seperti ini datang di jam seperti ini. Aku berjalan mendekat padanya lalu tersenyum gugup, "Um."

Ia meletakkan korannya lalu mengangguk kecil padaku, "Ada yang bisa dibantu, Miss?"

"Aku perlu— Aku harus bertemu dengan Mr. Shaw. Apa Ia ada di kantornya?"

Ia menatapku dengan sedikit curiga, "Mr. Gregory Shaw atau—"

"Nicholas." Potongku. Ia mengerutkan keningnya dengan wajah sedikit sebal. Pria ini mungkin berumur sekitar 30 tahunan. Dan Ia tidak terlihat senang karena aku mengganggunya pada jam seperti ini. "Maaf Miss, sebaiknya anda kembali lagi besok—"

"Aku harus bertemu dengannya sekarang." Ulangku dengan kesabaran yang mulai menipis. Aku tidak memiliki waktu untuk ini!

"Anda harus membuat janji lebih dulu." Cemberut di wajahnya semakin dalam.

Kali ini aku memandangnya dengan kesal, "Kalau begitu kau bisa menghubunginya?"

"Mr. Shaw tidak ingin diganggu di luar jam kerja. Silahkan kembali besok lagi dan membuat janji dengan sekretarisnya."

"Dengar, jika kau tidak ingin menghubunginya aku akan melakukannya sendiri." Jawabku sambil berjalan ke meja resepsionis. Tapi sebelum aku sempat menyentuh telepon di atas meja, Ia mendahuluiku.

"Okay, okay. Saya akan menghubunginya." Ia menatapku dengan kesal lalu menekan tombol teleponnya. Jantungku mulai berdetak lebih kencang lagi.

"Mr. Shaw, Sir, anda memiliki tamu. Apa saya harus membiarkannya masuk?" Ia terdiam selama beberapa detik sebelum melanjutkan, "Baik, Sir. Saya mengerti."

Aku tahu apa yang mereka bicarakan, Ia menolakku. Ia bahkan belum bertanya namaku. "Tunggu!" Dengan marah kuambil telepon dari tangannya lalu menempelkannya ke telingaku, aku tidak menunggu "Dengar, aku tahu kau sibuk tapi adikmu baru saja menculik sahabatku. Jadi aku membutuhkan bantuanmu untuk menghubunginya. Sekarang. Jika Gregory tidak mengembalikan Lana sekarang juga, aku bersumpah akan... akan memburunya sendiri."

Tidak ada jawaban yang terdengar hingga sangat lama, aku hampir mengira Ia sudah menutup teleponnya.

"Eleanor?" suaranya terdengar sedikit tercekat saat menyebut namaku.

"A—aku membutuhkan bantuanmu." Seluruh rasa marahku sebelumnya menghilang begitu saja setelah mendengar suaranya, berganti dengan rasa gugup yang kembali menyerangku.

"Kau ada di lobby?" suaranya yang rendah membuat kupu-kupu di perutku berterbangan lagi. Seperti dulu.

"Ya..."

"Diam di tempatmu. Jangan bergerak." Balasnya sebelum memutuskan sambungan telepon. Security di depanku tersenyum sedikit mengejek padaku saat melihat ekspresiku. Ia mungkin mengira Nicholas menolak untuk bertemu denganku. Tapi aku tidak mempedulikannya, kukembalikan telepon itu ketempatnya lalu menatap deretan lift di ujung ruangan.

Salah satu lift bergerak dari angka 19 menuju lobby. Aku tidak mengira Ia akan secepat ini. Jantungku berdebar semakin cepat seiring dengan angka yang berubah semakin mendekat. Hingga akhirnya berhenti di lobby dan terbuka.

Kutarik nafasku saat Ia melangkah keluar dari lift, saat kedua mata birunya menangkapku aku hampir melupakan caranya bernafas. Ia masih terlihat sama, hanya saja kali ini kami tidak berpura-pura tidak mengenal. Nicholas mengenakan jas berwarna biru tua dan dasi serasi yang sedikit lebih terang, kedua matanya tidak berkedip sama sekali saat Ia berjalan menghampiriku.

Ia berhenti di depanku lalu kami terdiam, saling menatap.

"Eleanor." Suaranya membuat kupu-kupu di perutku memberontak, Ia memandangku dari bawah ke atas perlahan, "Kau terlihat..."

Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Wajahku sedikit memerah saat Ia memandang wajahku lagi. "Kau juga." Gumamku. Ia tersenyum padaku tanpa mengalihkan tatapannya lagi. Lalu aku teringat tujuanku datang ke tempat ini, cukup dengan basa-basinya, Ella.

"Aku membutuhkan bantuanmu."

Ia menarik nafasnya seakan-akan tidak rela kami mengganti topiknya sekarang, "Ia mungkin berada di rumah saat ini. Aku akan mengantarmu." Ia menyentuh punggungku untuk mengajakku berjalan, jantungku hampir terlonjak di dalam dadaku saat jarinya menyentuh langsung kulit di punggungku. Rasa hangat menjalari kulit disekitar tempat tangannya menyentuhku.

Ia menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri yang tidak bisa kudengar, tapi tangannya tetap berada di punggungku hingga kami berada di parkiran basement.

Aku menceritakan semuanya, kecuali tentang pembicaraan kami yang menyangkut Nicholas, di mobilnya saat kami menuju ke rumahnya. Hujan sudah mulai turun walaupun belum begitu deras. Kualihkan perhatianku menuju jalanan yang basah setelah selesai bercerita.

Perlahan suara Tony Bennet yang menyanyikan I Left My Heart In San Francisco mengalun pelan dari stereo mobilnya. Lana selalu tersenyum saat mendengar lagu-lagu milik Tony Bennet, Ia bercerita seseorang pernah mengajaknya berdansa dengan lagu ini juga. Sekarang sepertinya aku bisa menebak siapa yang mengajaknya berdansa saat itu.

Nicholas masih terdiam sejak tadi, tapi aku sedang tidak ingin mengobrol juga. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing hingga akhirnya tiba di rumahnya.

Aku mengikuti Nicholas berjalan masuk ke rumahnya dan menuju lantai dua. Walaupun aku sudah pernah datang ke rumah ini tapi pengalaman buruk itu masih belum bisa membuat rasa kagumku berkurang. Ia pasti mengeluarkan uang yang sangat amat banyak untuk membangun rumah ini dan seisinya.

Kami melewati jendela tinggi yang bermotif seperti pecahan kaca warna-warni seperti yang biasa terlihat di gereja, mungkin jika sinar matahari melewatinya saat siang hari tempat ini akan terlihat indah. Tiba-tiba Nicholas berbelok di ujung koridor membuatku harus mempercepat langkahku agar tidak ketinggalan. Rumah ini lebih besar dari perkiraanku.

Tepat saat aku hampir berbelok suara gemuruh yang keras memecah langit di luar, lalu detik berikutnya kegelapan total menyelimuti seluruh rumah ini. Aku memekik terkejut lalu menghentikan langkahku di dalam kegelapan. Tidak ada sedikitpun cahaya dari luar yang masuk ke tempat ini. Tanganku berusaha meraba dinding terdekat sambil kembali berjalan perlahan tapi aku tidak bisa mendengar suara langkah Nicholas lagi, hanya ada suara rintik hujan samar-samar dari luar.

Rasa panik mulai menggerogotiku membuatku teringat tentang kejadian setahun lalu saat aku diserang oleh pria mengerikan itu.

Jantungku mulai berdebar sangat keras di dalam dadaku, "Mr. Shaw?" suaraku sedikit bergetar saat memanggilnya. Tapi tidak ada jawaban darinya.

"Mr. Shaw?" ulangku dengan panik. Kakiku melangkah tanpa arah di dalam kegelapan, beberapa kali membentur sesuatu.

"Nic—Nicholas?"

Sesuatu menyentuh bahuku dengan tiba-tiba membuatku berteriak sambil meloncat mundur, salah satu heel sepatuku membentur sesuatu membuatku hampir terjatuh. Tapi sepasang tangan menarik pinggangku dan menarikku ke pelukan yang sangat kukenal.

"Sshhh... Ini aku." Suaranya yang berusaha menenangkan terdengar di sebelah telingaku. Jantungku masih berdebar dengan keras di dalam dadaku, tanpa kusadari kedua tanganku membalas erat pelukannya.

"Kupikir kau adalah—"

"Sshhh." Ia memelukku semakin erat, bau parfumnya yang bercampur dengan bau khasnya membuatku sedikit lebih tenang. Ia ada disini, bukan pria itu.

"Maafkan aku." Gumamnya sambil mengelus punggungku untuk menenangkanku. Kami berdiri dalam posisi itu selama beberapa menit hingga akhirnya Ia melepaskanku. Aku sedikit bersyukur dengan keadaan yang gelap, paling tidak Ia tidak bisa melihat wajahku yang memerah.

"Apa kakimu tidak apa-apa?"

Pergelangan kaki kananku yang hampir terjatuh tadi memang terasa sakit, tapi aku masih bisa berjalan. "Aku tidak apa-apa." balasku.

"Aku akan mengecek listriknya di basement."

"A—aku ikut denganmu." Gumamku padanya. Dalam kegelapan aku tidak bisa melihat responnya tapi beberapa saat kemudian tangannya meraih lalu menggenggam salah satu tanganku. Aku berusaha untuk tidak menghiraukan rasa nyeri di kakiku, seluruh perhatianku terfokus pada tangannya yang sedang menggenggam tanganku.

Rasa panik yang sebelumnya berganti dengan rasa aman saat Ia berada sedekat ini.

"Jadi kau masih mengingatku." Gumamnya tiba-tiba.

Aku terdiam sangat lama sebelum menjawabnya, "Kau tidak menghapus ingatanku, tentu saja aku mengingatmu."

Ia memelankan langkahnya saat mendengar jawabanku. "Eleanor, aku sudah menghapus pikiranmu."

Aku tertawa kecil, tapi tidak dengan suara yang menyenangkan. "Well, kalau begitu trik sulapmu gagal."

"Greg memberitahuku Ia juga pernah menghapus ingatanmu setelah menyerangmu, tapi kau masih mengingatnya. Ia pikir kau memiliki kekebalan khusus." Tangannya menggenggam tanganku semakin erat. Aku tidak menyukai perasaan yang muncul di dalam dadaku saat Ia melakukannya, seharusnya saat ini aku marah padanya... setelah apa yang Ia lakukan padaku.

"Kau meninggalkanku." Gumamku dengan suara tercekat. Tiba-tiba Ia menghentikan langkahnya membuatku hampir menabrak punggungnya.

"Aku tidak akan meninggalkanmu jika aku bisa, Eleanor." Suaranya terdengar sedikit emosi.

"Tapi kau tetap meninggalkanku." Rasanya sedikit aneh berbicara padanya tanpa bisa melihat wajahnya. "Aku mengerti." Tambahku setelah kami terdiam selama beberapa saat. "Lagipula mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu, jadi apapun alasannya sudah tidak penting lagi sekarang."

Tiba-tiba tangannya yang sebelumnya menggenggam tanganku berpindah ke rahangku, kedua tangannya menangkup wajahku. Nicholas mendorongku hingga punggungku menyentuh dinding koridor.

Di dalam kegelapan aku tidak bisa melihat sekitarku, tapi aku bisa merasakan semuanya. Nafasnya yang hangat berhembus di pipiku lalu detik berikutnya bibirnya menyentuh bibirku. Nicholas tidak menciumku dengan lembut, bibirnya memaksa bibirku untuk membuka sedikit lalu menjelajahiku. Ia tidak berhenti walaupun aku sudah hampir kehabisan nafas. Aku harus mendorongnya sedikit agar Ia berhenti, tapi ciumannya tidak berhenti, hanya berpindah.

Bibirnya menyusuri rahang dan leherku perlahan hingga ke ujung kerah gaunku. Tiba-tiba tangannya menarik dengan paksa salah satu pundak gaunku hingga terbuka, Ia menciumnya perlahan menyusuri setiap inci kulitku dengan bibirnya yang terasa panas.

Aku tidak bisa berpikir dengan jernih lagi, satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini hanya merasakan. Nafasku yang tidak teratur terdengar jelas di telingaku sendiri, kedua tanganku menggenggam bagian depan kemejanya untuk menahanku agar tidak terjatuh.

Aku bisa merasakan segalanya, suhu tubuhnya yang hangat, nafasnya yang tidak teratur, tangannya yang kini berada di pinggangku, bibirnya yang kini menyusuri tulang belikatku, semuanya terasa lebih intens di dalam kegelapan. Ciumannya berhenti di pangkal leherku selama beberapa detik, lalu aku merasakan sesuatu yang tajam menggesek kulitku samar-samar.

Saat itulah otakku kembali bekerja lagi, kubuka kedua mataku yang masih disambut oleh kegelapan. Dengan sisa tenagaku kudorong dadanya menjauh.

"A—apa yang kau lakukan?" suaraku terdengar serak dan sedikit panik.

"Eleanor..." Ia tidak berusaha menyentuhku lagi.

"Kau akan menggigitku?"

"Aku hanya ingin menggantinya. Gigitan Greg... Maafkan aku, instingku bekerja tanpa kusadari." Ia terdengar sedikit menyesal, hanya sedikit. Kuatur nafasku yang memburu selama beberapa saat, gaunku masih terbuka di bagian pundakku dan aku yakin wajahku saat ini masih memerah. Kurapikan gaunku kembali dengan terburu-buru.

Apa yang baru saja kami lakukan? Rasa marah dan malu menyerangku seperti guyuran air dingin.

"Sebaiknya kita mengecek listriknya." Gumamku. Ia tidak menjawabku, hanya menawarkan tangannya padaku. Kami berjalan dalam diam hingga ke basement. Ia mengambil sesuatu dari dinding basement lalu cahaya tiba-tiba muncul dari tangannya. Nicholas mengarahkan senter di tangannya ke boks besi yang ditempel di dinding lalu membukanya, Ia mengamatinya selama beberapa saat lalu menutupnya lagi.

"Sirkuitnya terbakar. Kurasa baru bisa diperbaiki besok pagi." Ia mengarahkan senternya ke arahku hingga aku tidak bisa melihatnya. Kusipitkan mataku ke arahnya, "Kau tidak memiliki generator terpisah?" biasanya rumah sebesar dan sekaya ini memiliki generator cadangan.

Ia terdiam beberapa saat sebelum menjawabku, "Tidak. Tapi kurasa kami memiliki lampu yang menggunakan baterai di atas, dan beberapa lilin."

"Oh."

Kami berjalan lagi ke atas, kali ini Ia tidak menggenggam tanganku karena ada senter yang menerangi jalan kami. Sedikit perasaan kecewa menyusupiku. "Aku akan mengantarmu kembali ke hotel."

"Aku tidak bisa kembali ke hotel, Lana membawa kunci kamar kami." Jawabku. "Handphone dan dompetku juga." Tambahku.

Kami berhenti di dapurnya yang luas, Ia menyuruhku duduk lalu mengambil beberapa batang lilin dari laci salah satu counter. "Kau bisa menginap..." gumamnya sambil menyerahkan senter yang dibawanya padaku.

Menginap dengannya?

"Kau bisa menggunakan kamar yang kosong."

Oh. "Okay..." Kurasa tidak ada pilihan lain. "Aku tidak bermaksud mengganggumu malam ini." tambahku cepat-cepat.

"Kau tidak akan pernah menggangguku, Eleanor. Aku akan mencari lampunya, kau tunggu disini." ucapnya sebelum berjalan keluar dari dapur.

"Kau tidak membutuhkan senternya?" tanyaku sebelum Ia menghilang.

"Aku bisa melihat sama baiknya di dalam kegelapan." Suaranya menggema sekitarku lalu Ia menghilang di dalam kegelapan.

Ia bisa melihat di dalam kegelapan? Jadi... Ia bisa melihat wajahku saat kami berciuman di koridor tadi? Kuletakkan senter yang masih menyala di atas meja lalu kujatuhkan kepalaku di atas kedua lenganku, "Ia bisa melihatmu, bodoh." Gumamku pada diriku sendiri sambil menguburkan wajahku yang panas di antara lenganku.

Kupu-kupu sialan di dalam perutku tidak mau berhenti bergerak.

***

Nicholas menunjukkanku kamar yang akan kutempati, Ia menyalakan sebuah lilin lalu meletakkannya di meja dekat tempat tidur. Kamar ini dua kali lebih besar dari kamar apartemenku, interiornya minimalis dan maskulin tapi modern. Lebih tepatnya kamar ini terlihat seperti display di majalah desain interior. Satu-satunya yang masih menyala di ruangan ini hanya jam digital yang berada di sebelah lilin. Pukul 10.15 malam. "Terimakasih untuk—"

"Jika kau ingin mengganti gaunmu kau bisa mengambil yang kau butuhkan di lemari." Ia menunjuk lemari besar yang menyatu dengan salah satu sisi tembok, "Hanya saja mungkin agak sedikit kebesaran untukmu." Ia berdiri di depan pintu, pandangannya mengikuti sejak tadi.

"Oh, trimakasih."

Tapi tunggu dulu. Aku menatap sekelilingku sekali lagi, sebuah lemari buku dan sofa, meja tulis, lemari, lukisan, Tv dan sound systemnya. Kamar ini tidak terlihat seperti kamar tamu. "Ini kamarmu." Gumamku saat aku menyadarinya. Cahaya yang remang membuatku sulit mengamati ekspresinya saat ini.

"Aku akan tidur di kantorku, di sebelah. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."

Oh, Tentu saja. Aku datang padanya saat Ia masih bekerja di kantornya tadi. Perasaan bersalah membuatku sedikit canggung di depannya. Seharusnya aku kembali ke hotel, atau menginap dengan salah satu teman kantorku. Sekarang aku menyesal sudah menerima tawarannya. "Aku tidak bermaksud mengganggumu..."

"Aku tahu. Dan aku senang kau meminta bantuanku, Eleanor. Kau tidak menggangguku sama sekali." Kalimatnya terdengar lebih lembut seakan-akan Ia mengetahui perasaan bersalahku. "Jika kau membutuhkan sesuatu, aku ada di sebelah." Tambahnya sebelum keluar dari kamar ini. Aku mendengarkan suara langkahnya yang beberapa saat kemudian menghilang.

Setelah ciuman di koridor tadi atmosfir diantara kami berubah lebih canggung, aku masih bisa merasakan bibirnya di kulitku hingga saat ini, nafasnya yang hangat, tangannya yang melingkari pinggangku, aku masih bisa mengingat semuanya dengan jelas. Untuk pertama kalinya sesuatu di dalam diriku berubah.

Selama setahun belakang ini aku berusaha keras untuk menghapusnya dari pikiranku, tapi setelah bertemu dengannya lagi malam ini sekarang aku tidak bisa berbohong lagi pada diriku sendiri. Aku menginginkannya, aku menginginkan Nicholas Shaw.