webnovel

Bab 4. Keseeeel!

"Keluarlah," ujar Altair kemudian. "Aku ada rapat sebentar lagi."

"Kau harus janji padaku untuk memberitahu Papa," rengek Anjani. "Malam ini makan malam di rumah ya?"

Wajah manja Anjani membuat Altair mengeluh, kesal, jengkel, muak jadi satu. "Aku tidak bisa Anjani. Dan lagi, aku tidak bisa mengubah keputusanku."

"Tapi kenapa? Aku sudah memutuskan dia!" jeritnya kesal.

"Ini bukan masalah pacarmu saja," ujar Altair akhirnya. "Aku tidak menyukaimu."

Anjani terdiam mendengar kata-kata Altair yang sangat menohok batinnya. Bibir gadis itu komat kamit menggumam kata yang sepertinya tak mampu ia zahirkan, matanya melebar menatap wajah Altair yang angkuh dan dingin.

"Aku tidak ingin menjadi pasangan orang yang tidak kusukai, Anjani. Itu hanya akan membuat kita saling menyakiti," imbuhnya.

"Tapi aku menyukaimu, aku pasti bisa membuat kau juga suka padaku! Lihat saja nanti!"

Berkata begitu, Anjani bangkit dengan menghentak dan menderap keluar dari ruangan Altair. Kesal setengah mati. Sepatunya berdetak di sepanjang lorong yang sunyi, membuat beberapa kepala menoleh dan menahan senyum saat melihat wajahnya yang dipenuhi cuka apel itu, kecut dan cemberut.

Sopirnya berjengit ketika Anjani masuk dan membanting pintu. Duduk dengan kasar dan tangan terlipat di dada. Berteriak kesal sambil menghentak-hentakkan kaki bahkan melempar tas tangan mahalnya ke samping hingga membentur kaca.

"Apa siiih! Sebel tahu ngga!" kesalnya sambil menggebuk sandaran bangku di depannya. Sang sopir hanya melirik, membiarkan ia memuaskan diri dengan kekesalannya.

"Jalan!" teriaknya ketika sepuluh menit kemudian mereka masih stagnan di parkiran.

"Anu Non, memangnya kita mau kemana?"

"Terserah!"

Dengan bingung ia keluar dari parkir, sesekali melirik Anjani berharap gadis itu akan memberi instruksi tujuan mereka. Tapi hingga mereka melaju lima belas menit kemudian ia masih berdiam diri.

"Kenapa kesini?!" hardik Anjani ketika mereka melewati jalan yang tidak ia kenal.

"Ya bingung Non, mau kemana. Non ga bilang," jawab sang sopir pelan.

"Aaah! Kenapa sih kalian semua nyebelin!" teriaknya kesal. "Ya pulang lah, masa gitu aja dikasih tau!"

Menghela nafas, pria setengah baya itu mengangguk dan memutar arah. Bersyukur dalam hati, Tuhan menitipkan banyak kesabaran padanya untuk menghadapi Nona Besar yang hobi tantrum ini. 'Rasanya menghadapi Non Vipe ga begini banget,' ia membatin dalam hati.

Tapi di perjalanan, Anjani berubah pikiran. "Ke kantor Lev!" sergahnya.

Sekali lagi sang sopir memutar arah tanpa mengeluh, hanya tersenyum lelah karenanya. Mereka sampai di kantor Lev satu jam kemudian setelah kedua telinganya penat dengan banyak omelan karena jalanan macet. Gadis itu membanting pintu masuk sampai hampir menabrak petugas pengamanan kantor.

Pria itu hanya menggelengkan kepala karena sangat mengenal gadis cantik itu, kekasih bos. Tidak ada diantara mereka yang berani menahannya. Suara sepatunya bahkan dikenali semua orang dalam ruangan di lantai sepuluh itu. Mata-mata para karyawan menatapnya sekilas sebelum kembali menyurukkan kepala mereka dalam kubikel masing-masing.

"Kira-kira bakal kaya apa mukanya keluar dari ruangan Pak Lev nanti, kalau mau masuk aja udah begitu. Apalagi tau Pak Lev ga ada di sini?" seseorang mencolek temannya, keduanya menatap Anjani sekilas dan tertawa mengikik bersamaan.

"Maaf Mba Anjani, Pak Lev ngga ada," sekretaris Lev menahan langkah Anjani yang tengah membuka pintu. Gadis itu menoleh dengan wajah dan mata galak. Sangat galak.

"Kau pikir itu bisa menahanku?" ujarnya angkuh. Dengan kasar Anjani membuka pintu tapi ruangan apik itu kosong melompong. Ia menoleh pada sekretaris Lev yang hanya mengedikkan bahu.

"Kemana dia?"

Sejenak wanita berparas manis itu bingung harus menjawab apa, ia tahu Lev sedang menemani Vipera di rumah sakit. Tapi tak mungkin memberitahu Anjani tentang itu, karena bisa pecah perang dunia ketiga.

"Sedang keluar kota," jawabnya pelan.

"Dia tidak bilang padaku."

"Wah, maaf itu tidak termasuk dalam tugas saya," senyum si sekretaris, sedikit mengejek. Ia sudah diwanti-wanti Lev jika Anjani datang maka mereka harus bilang bahwa dia sedang keluar kota.

"Apa kau bilang?!" pekik Anjani, ia meradang dan menderap ke meja si sekretaris yang menatapnya dengan tenang.

"Mengetahui apakah beliau memberitahu Anda bahwa beliau keluar kota atau tidak bukan bagian dari pekerjaan saya. Maaf," ia menampilkan senyum elegannya dengan anggun.

Anjani mengertakkan gigi menatap senyum indah itu dan mengentak pergi. Ia belum punya pelampiasan kemarahan hari ini, karena itu dengan kekesalan yang sudah sangat memuncak Anjani memerintahkan sopirnya pergi ke rumah Vipera. Satu-satunya tempat yang bisa ia gunakan untuk melampiaskan kemarahan.

Tapi rumah itu terkunci rapat, rumah besar dua lantai itu terlihat sangat sunyi. "Apa dia mati?" herannya melihat kesunyian yang membuat bulu kuduknya merinding itu.

"Hei!" ia mencegat seorang ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya sembari mendorong sepeda roda tiga. "Kau, apa kau tahu penghuni rumah ini kemana?"

Wanita itu menggeleng, menatap Anjani dari ujung kaki sampai puncak kepala. Sedikit kesal dengan wajah angkuh gadis itu. "Tadi siang dia pindah, tidak tahu kemana," sahutnya.

Anjani menatapnya tak percaya. Vipera pindah? Itu sebuah keajaiban bagi Anjani. Ia tahu, rumah ini sangat berarti bagi Vipera sampai Anjani pernah berencana merebutnya dari tangan gadis itu. 'Mengapa dia pindah? Apakah dia yang membuat Va seperti itu dan melarikan diri agar tidak ditangkap Mama?' batinnya.

Tapi dia juga terluka, karena itu Anjani meragukan kemungkinan itu. Tapi ia tak memiliki kemungkinan lain, karena itu dengan senyum licik gadis cantik itu berlalu dari sana. Kesal sih karena tak punya kesempatan melampiaskan kemarahannya pada Vipera, tapi mengetahui gadis itu meninggalkan rumah kesayangannya itu sudah cukup bagi Anjani.

'Tapi aku jadi ga bisa marah-marah lagi sama dia. Kira-kira dia pindah kemana?' Anjani menatap rumah itu sebelum memerintahkan sopir meninggalkan tempat itu. Dalam hati ia bertekad mencaritahu keberadaan Vipera.

"Sebentar, Lev pergi keluar kota dan Si Ular pindah? Mereka tidak mungkin pergi bersama kan?" tiba-tiba ide itu terlintas di kepalanya. "Tidak bisa dibiarkan," kesalnya seraya mengeluarkan ponsel.

Tapi ponsel Lev tak bisa dihubungi, hingga ia menghubungi pria itu berulang kali tetap tak tersambung. "Sial, dia mematikan ponsel?" kesalnya.

Sementara itu, Altair memasuki ruang rapat. Menyapu semua yang hadir di ruangan itu dengan tatapnya. 'Tumben dia tidak ada?' pikirnya saat tidak menemukan orang yang ia harapkan hadir dalam rapat itu. Ia menatap pria yang mempresentasikan rencana mereka dengan perasaan hambar.

Semua mata menatapnya ketika presentasi berakhir, ia tak menyadari bahwa mereka mengharapkan tanggapannya. Dan serta Emily menyolek lengannya.

"Ah?" ia tersenyum canggung ketika menyadari presentasi sudah berakhir. "Susun ulang rencana kalian!" ujarnya seraya bangkit.

Seluruh tim perencanaan mengeluh diam-diam. Titah yang sama sekali tidak mereka harapkan tapi menatap wajah Altair yang datar mau tidak mau mereka hanya menjawab iya secara bersamaan. Dan serta Emily ikut bangkit mengiringi langkah Altair.

"Kemana gadis yang biasa menyampaikan presentasi?" tanya Altair saat mereka melewati lorong kembali ke ruangannya.

Dan melirik Emily sebentar, "Ah? Maksud Anda?"

"Bukankah tim perencanaan punya orang lain, biasanya dia yang presentasi," ulang Altair.

"Oh, maksud Bapak Nona Vipera?" tanya Emily, Dan akhirnya memahami maksudnya.

"Dia izin, semalam kecelakaan," jawab Dan datar, tapi jawaban itu membuat jantung Altair tersentak.

"Kecelakaan?" ia mencoba mengendalikan rasa khawatir yang tiba-tiba meruak dalam hatinya. "Seberapa parah?"

"Umm sepertinya tidak terlalu parah. Katanya hanya butuh istirahat untuk hari ini."

"Oh."

Altair kembali ke ruangannya. 'Namanya Vipera?' batinnya seraya duduk, melamun untuk beberapa waktu. 'Kenapa orang tuanya tega memberi nama itu pada putri mereka?' pikirnya.

'Dia kecelakaan, apa dia baik-baik saja? Aku bahkan tidak tahu nama apalagi nomor ponselnya, dasar ga berguna,' Altair memaki dirinya sendiri ketika menyadari ia tak tahu apa-apa tentang gadis yang sudah beberapa waktu ini menarik perhatiannya. 'Kalau aku mencaritahu melalui Dan, dia pasti akan menertawaiku. Cih,' berpikir begitu, Altair menelepon bagian HRD.

"Kirimkan data Vipera ke emailku," ujarnya datar. Dua menit kemudian data itu sudah masuk ke emailnya. Tersenyum ketika mendapatkan nomor ponsel dan alamat Vipera dari data itu.

"Tapi kalau telepon langsung pasti dia merasa aneh," gumamnya. "Apa aku datangi rumahnya saja ya?"

Dengan pemikiran itu Altair bangkit, bergegas keluar. Emily bangkit begitu melihat wajahnya "Dua jam lagi ada pertemuan dengan Logo Grup, Pak," ujarnya mengingatkan.

"Aku tidak akan lama," ujarnya pelan, seraya bergegas keluar.

"Dan, dia mau kemana?" tanya Emily, pria yang duduk di seberangnya itu hanya mengangkat bahu.

"Kau kan asistennya, harusnya tau dong dia kemana," omel Emily.

"Dia ngga bilang tuh, ngajak juga engga. Itu artinya dia mo bawa mobil sendiri," jawab Dan. Tapi dalam hati ia penasaran, Altair tak pernah keluar kantor di luar jadwal. Pria yang hobinya menyiksa bawahan dengan pekerjaan itu lebih mencintai kantor dari pada kamarnya sendiri.

"Yang penting semua bahan untuk pertemuan kita siapkan," ujar Dan disambut anggukan Emily.

Di tempat berbeda, Altair memacu kendaraannya menuju komplek perumahan tempat tinggal Vipera sesuai datanya. Tidak sulit baginya untuk menemukan tempat itu karena termasuk kompleks terkenal. Ia sampai di rumah itu satu jam kemudian, menatap rumah yang ada dalam alamat Vipera.

'Sepertinya kosong,' batin Altair saat menatap rumah berlantai dua itu. Terlihat sangat sunyi. 'Apa jangan-jangan dia memalsukan alamatnya dalam data?'

Altair memarkir kendaraannya di depan gerbang rumah Vipera, memutuskan untuk turun dan mencari tahu. Ibu-ibu yang tadi ditemui Anjani juga bertemu dengannya, kali ini sedang mengejar anaknya yang menendang bola sambil tertawa-tawa.

"Ah maaf Bu, penghuni rumah ini kemana ya?" tanyanya pelan.

Wanita itu menatapnya aneh, membuat Altair berpikir yang tidak-tidak. Ia sempat mengira rumah itu sudah lama kosong dan jadi rumah hantu. "Bu?"

"Sehari ini sudah dua orang yang bertanya tentang rumah ini," jawab si Ibu sedikit heran. Altair tak peduli siapa yang mencari penghuni rumah ini, yang penting baginya sekarang ia harus tahu kemana Vipera.

"Penghuni rumah itu sudah pindah Mas, baru tadi siang," ujar si Ibu kemudian. "Sepertinya sedang sakit, karena tadi dibawa pake kursi roda," imbuhnya.

"Kursi roda?" heran Altair, informasi yang ia terima dari Dan hanya luka ringan.

"Iya, tadi pas pindah pake kursi roda," jawabnya.

"Pindah kemana ya Bu?" tanya Altair. Wanita itu menggeleng.

"Waduh Mas, saya ga nanya. Saya juga cuma kebetulan liat, itupun sepertinya dia hanya bawa baju doang, karena keluar cuma bawa koper dan beberapa barang lainnya."

"Terima kasih," Altair memaksakan senyum dan kembali ke mobilnya sebelum sempat mendengar jawaban sang ibu atas ucapan terima kasihnya.

Ia memutuskan kembali ke kantor, untuk menghubungi Vipera secara langsung Altair masih merasa itu sesuatu yang berlebihan. Entah gadis itu merasa terganggu, terbebani atau malah merasa tersanjung, bagi Altair sama buruknya.

*Bersambung*