webnovel

BAB 5

"Nah, kan. Bener dugaan gue," gumam Afkar sembari mengamati seisi rumah.

Ruang tamu yang cukup luas, dengan sofa panjang berwarna cokelat tua, kemudian tersambung dengan ruang tengah yang sama luasnya. Beberapa foto terbungkus pigora tersusun rapi di dinding dan di atas nakas.

Viola sedang ke kamar, meninggalkan Afkar dengan segelas es lemon tea di ruang tamu.

Afkar berdiri, ia ingin mengamati setiap foto dengan jarak pandang yang lebih dekat. Langkahnya terhenti di depan sebuah foto berukuran 4R yang terletak di permukaan dinding dan tepat di belakang sofa.

Gadis berbalut kaus lengan pendek warna hijau lumut yang sejak kemarin memenuhi kepala Afkar itu sedang tersenyum. Senyum yang sungguh ingin Afkar lihat secara langsung. Senyum itu, seolah virus mematikan yang begitu cepat menular. Hingga siapapun yang melihatnya akan turut tersenyum.

Pandangan Afkar berpindah pada seorang lelaki yang umurnya sedikit di atas dirinya. Cowok itu seketika merasa seratus persen yakin bahwa yang berkecamuk di dalam pikirannya sejak dalam perjalanan tadi adalah benar.

"Beneran Bang Raka? Kirain gue halu," gumam Afkar.

"Lagi ngapain?"

Suara seorang gadis berpakaian kasual yang terdengar dari belakang membuat Afkar menoleh.

"Ini .... " Afkar menunjuk foto Raka. "Lo siapanya Bang Raka?"

"Adiknya."

Mulut Afkar spontan membentuk hutuf O. Interaksi antara Viola dan Raka di sekolah sama sekali tidak menunjukkan jika mereka adalah kakak-beradik.

Satu pertanyaan muncul begitu saja dalam benak Afkar; kemana gadis ini saat ia kemari satu tahun yang lalu? Ya. Ini bukanlah pertama kalinya Afkar menginjakkan kaki di kediaman keluarga Mahrito. Bedanya, dulu Afkar tidak datang sendiri. Ia bersama sang kakak.

"Woy!" Sentakan Viola membuat kesadaran Afkar kembali. "Kenapa bengong?"

Afkar menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak. Gue harus jemput adik gue sekarang. Gue balik, ya?"

"Oh, oke," balas Viola.

Afkar mulai melangkah terlebih dahulu. Kemudian, disusul Viola yang mengekor di belakangnya.

Saat sampai di depan pagar, Viola berkata, "Thank's, ya." Ia tersenyum tipis.

Afkar yang melihat hal itu pun membalasnya dengan senyuman lebar. Setidaknya, senyum Viola kali ini bisa Afkar nikmati secara langsung, meski hanya berlangsung sepersekian detik.

"Sama-sama."

Afkar menaiki motor dan bersiap untuk kembali membelah jalan raya.

"Nanti malam, gue telepon lo, boleh?" tanya Afkar.

"Uummm .... " Viola tampak berpikir. "Kenapa emangnya?"

"Nggak boleh, ya? Ya—"

"Boleh, kok." Gadis itu akhirnya tersenyum. Senyum manis persis foto di balik pigora yang tadi Afkar amati. Tanpa Viola sadari, senyumnya yang sudah beberapa hari tenggelam itu membuat jantung Afkar berdegup kencang.

"Okay. Gue balik, ya?"

Viola mengangguk. Dan motor Afkar pun melesat dengan kecepatan sedang setelahnya.

Begitu Viola memastikan Afkar telah hilang dari pandangan, gadis itu segera kembali masuk.

Di dalam kamar, Viola merenung. Sudah benarkah yang dia lakukan sekarang? Memberi kesempatan pada Afkar untuk menjelajah hari-harinya yang normal—lebih tepat disebut monoton?

Bagaimana dengan hatinya?

Entahlah. Viola bingung. Ia bahkan tidak tahu, adakah yang bertahta di hatinya kini? Jika ada, siapa? Afkar? Atau...?

...•••...

Jam dinding berbentuk persegi di kamar Afkar menunjukkan pukul 9 malam. Cowok itu baru selesai mengganti pakaian setelah seharian nongkrong bersama dua sahabatnya di rumah Alfa.

Senyumnya merekah. Teringat akan kejadian di depan pagar rumah Viola beberapa jam yang lalu.

Sebelum itu, Afkar memutuskan untuk melihat deretan story dari kontak yang ia simpan. Binar matanya semakin cemerlang kala mendapati nama Viola di antara rentetan story itu.

"Oh, dia punya online shop," gumam Afkar usai melihat apa yang Viola upload di akun WhatsApp-nya.

Afkar mulai mendial nomor Viola. Nada sambung sontak menguar di dalam kamarnya yang hening. Beberapa saat kemudian, suara dari ponselnya berubah menjadi nada dering yang terputus. Viola tidak mengangkat teleponnya.

Afkar meneliti last seen yang tertera di bawah nama kontak Viola. Gadis itu terakhir online 16 menit yang lalu.

Tidak ingin menyerah, Afkar kembali menelepon Viola. Namun, tetap saja, hasilnya nihil. Hal yang sama terus dilakukan Afkar hingga mencapai kali kesepuluh.

Lelaki berkaus oblong warna biru dongker itu pun beralih pada ruang chat bersama kedua sahabatnya.

KUMPULAN JOMLO TERHORMAT.

Alfa Rizyko sent a photo.

Alfa Rizyko:

Gila, Man! Keren banget gua!

Alfa Rizyko:

Wkwkwkwkwk.

^^^Me:^^^

^^^Anjir lu, ngapa niru gaya gue?^^^

Alfa Rizyko:

Niru apanye?

^^^Me:^^^

^^^Pose depan kaca. Itu, kan, gaya gue, bego!^^^

Alfa Rizyko:

Lah, songong. Siapa aja boleh kali pose gitu.

Reza Alfaro:

Woy!

Reza Alfaro:

Saran PDKT yang baik dan benar, dong, Bro.

Alfa Rizyko:

Najis.

Reza Alfaro:

Serius gua.

^^^Me:^^^

^^^Emang lu mau PDKT-in siapa? Cewek bukan?^^^

Reza Alfaro:

Iyalah, bambank! Gue masih straight kali.

Afkar terkekeh melihat balasan pesan Reza. Namun, detik berikutnya, cowok itu teringat akan kejadian di koridor sekolah dekat toilet—saat ia melihat interaksi antara Reza dan Viola. Mungkinkah yang dimaksud Reza adalah Viola?

Afkar mengibaskan tangan ke depan wajahnya dengan gerakan cepat. Berusaha menghalau pikiran-pikiran negatif yang berdatangan.

Tunggu. Mengapa Afkar harus keberatan jika Reza mendekati Viola? Bukankah itu sah-sah saja? Ada apa dengan Afkar? Ah! Sudahlah.

Ia kembali membuka ruang chat-nya dengan Viola. Lengkungan membentuk bulan sabit kontan merekah menghiasi bibir Afkar. Akhirnya, Viola online. Tanpa pikir panjang, Afkar menekan simbol telepon.

Pada nada sambung ketiga, Afkar terhubung dengan seorang gadis di seberang sana.

"Halo?" ucap Afkar.

1 detik.

2 detik.

3 detik.

Tidak ada suara yang terdengar dari seberang sana. Afkar kembali bersuara.

"Halo? Vio?"

"Y-ya?" Dahi Afkar mengernyit saat mendapati suara Viola yang berbeda. Suara gadis itu bergetar.

Dia nangiskah? batin Afkar.

"Vio?"

"Hm?"

Afkar yang semula duduk bersandar, kini menegakkan tubuh. "Lo kenapa?"

...•••...

Entah sudah berapa lama gadis berpakaian kaus bermotif bintang lengan panjang, lengkap dengan legging panjang warna hitam polos itu berdiri termangu di balkon kamarnya.

"Halo, Kak. Sementara aku off dulu, ya? Lagi butuh istirahat. Belum tahu, nanti aku kabarin lagi. Iya. Makasih."

'Tut!'

Gadis itu memejamkan mata. Menikmati semilir angin yang menggelitik wajahnya. Dan ketika kelopak matanya terbuka, setetes cairan bening meluncur bebas bak air terjun di pegunungan.

Wajahnya datar. Gadis itu menyimpan semua ekspresi di balik bola matanya. Telapak tangannya kembali meremas sesuatu yang sedari tadi ia genggam.

Viola menghela nafas. Entah mengapa, malam ini terasa membawa dukanya kembali. Duka yang selalu berusaha ia terka agar tidak mencuat ke permukaan.

Cukup. Sudah cukup Viola meratapi nasib malam ini. Meski tidak tahu apakah kali ini adalah yang terakhir, setidaknya cukup untuk malam ini. Viola pasrah. Ia menyerahkan sepenuhnya pada Sang Pengatur Skenario Kehidupan.

Viola melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Ia menggeletakkan benda yang semula di genggaman ke permukaan kasur.

Baru saja Viola menutup pintu kamar mandi. Suara bariton dari luar terdengar.

"Vio!!!"

"Vio!!! Kamu di kamar mandi?"

"Iya!" teriak Viola sesaat setelah mengatur napas untuk menyembunyikan suaranya yang serak.

"Ini handphone kamu dari tadi getar. Kakak taruh di atas kasur, ya?"

"Iya!" Viola kembali merespon singkat. Ia baru mengingat bahwa tadi meninggalkan ponselnya di atas meja makan.

Sementara itu, Raka yang baru selangkah menuju pintu untuk keluar dari kamar Viola, mendadak menghentikan langkah.

Rahangnya mengatup keras. Giginya gemertak. Urat lehernya kini tampak jelas saat ia melihat apa yang tergeletak di permukaan kasur Viola.

Foto itu, tidak seharusnya berada di sana. Tidak seharusnya Viola masih menyimpan kenangan yang membuatnya sakit. Seharusnya, Viola fokus pada masa penyembuhan luka yang tak kasat mata di dalam hatinya. Ini yang tidak Raka suka dari adiknya, sulit melupakan sesuatu yang menurutnya berkesan. Tidak peduli itu kenangan baik atau buruk.

Bocah berumur tujuh tahun itu sedang asyik bermain ayunan dengan sang kakak.

"Lebih kenceng, dong, Kak! 'Masa segini doang!" gerutu Viola seraya menoleh ke belakang.

"Posisi kamu salah. Coba gini," Raka meraih kedua pergelangan tangan Viola, lalu merentangkannya. Viola yang diperlakukan demikian hanya bisa menurut. "Sekarang, merem."

"Ngapain?" tanya Viola.

"Kakak bakal bikin kamu terbang."

"Oke!" sahut Viola semangat.

Dengan tangan direntangkan dan mata terpejam, Raka menarik ayunan tempat Viola duduk, lalu mengayunkannya.

"WAHHHH!!! VIO TERBANG!!! YEAYYY!!!" Gadis itu tertawa. Tawa yang menunjukkan bahwa ia belum merasakan kejamnya dunia. Matanya menyipit, gigi-gigi susunya yang masih utuh pun tampak lucu. Raka tertawa, saat adiknya tertawa.

Setelah puas, Viola merengkuh tubuh sang kakak setelah melompat turun dari ayunan "Makasih, Kak," katanya.

Raka pun membelai puncak kepala Viola dengan lembut. "Sama-sama."

Viola melerai pelukannya. Ia meminta Raka untuk mendekatkan telinga ke bibir Viola. Gadis itu ingin membisikkan sesuatu katanya. Namun, saat Raka melakukan yang Viola minta, Raka malah mendapat gigitan lembut yang menggelikan.

"Hahahaha! Kena, deh!" Viola terus tergelak seraya berlari untuk menghindar dari terkaman balas dendam Raka.

Entah sudah berapa lama Raka tidak melihat keceriaan itu lagi dalam diri Viola. Untuk tersenyum saja, Raka tahu yang Viola tunjukkan hanyalah sebuah kepalsuan. Seharusnya, semesta tidak sekejam itu. Seharusnya, Raka saja yang merasakan sakit dalam diri Viola.

Raka pernah berharap, agar adiknya terus menjadi sosok yang penuh akan keceriaan. Namun, sekarang berbeda. Sekarang, Raka ingin semesta mengembalikan keceriaan dalam diri Viola yang sungguh ia rindukan.

Mata Raka melirik ke sumber suara langkah kaki dari arah kamar mandi.

"Ini apa?"

...•••••...

...Coba tebak, apa yang Raka temukan di atas kasur Viola?...

...Gimana? Suka?...