Aku dengar dan melihat sendiri dengan mata kepalaku, kalau sebenarnya kedua orangtua ku hanya menginginkan anak perempuan saja. Aku gak tau apa yang mereka pikirkan sampai mereka seperti itu.
Tapi nyatanya Tuhan telah menciptakan kami berdua hingga terlahirlah kami saudara kembar identik--berbeda gender.
Terlihat jelas perbedaan kasih sayang yang mereka berikan antara Aku dan saudariku itu, apalagi aku anak laki-laki pastinya selalu terkena imbas kalau ada masalah kecil yang menyangkut saudari ku itu.
Aku sangat ingat, dulu aku selalu dikucilkan oleh orangtuaku, adikku selalu dibelikan mainan boneka barbie-barbian sementara aku hanya ingin dibelikan robot dan mobil-mobilan yang masih trend pada jaman itu, samasekali tidak dibelikan oleh mereka.
Tentu saja aku sempat marah karena wajar saja waktu itu aku masih anak kecil yang ingin seperti adikku bisa memiliki mainan. Tapi apa boleh buat, tentu saja aku harus mengalah.
Lagipula kalau aku ngotot pun pasti kena' marah sama orangtuaku. Boro-boro ngotot? ngomong salah dikit aja aku langsung di gampar.
Miris!
__
Kami dulu masih tinggal satu atap bersama dengan kakek dan nenek, di daerah pedesaan. Karena orangtua kami belum memiliki rumah sendiri. Sementara kedua orangtuaku sesama anak tunggal. Jadi gak ada om maupun tante.
Kakek dan nenek sangat sayang kepadaku dan Viona, mereka tidak membedakan kasih sayang pada kami seperti orangtua kami.
Mereka lah tumpuan ku untuk berlindung saat aku sedang dimarahi oleh Ayah maupun ibuku. Tetapi rasa kasih sayang dari mereka terasa sangat singkat bagiku, karena tepat di umurku 7 tahun mereka berdua meninggal dunia disebabkan oleh penyakit yang mereka derita. Keluarga kami tidak sanggup membiyayai pengobatan selama mereka sakit sehingga membiarkan penyakit itu menggerogoti tubuh nenek dan kakekku.
Aku sangat sedih karena tidak ada lagi tempatku mengadu setiap kali orangtuaku sedang memarahiku. Tetapi apalah daya kini aku harus menerima kenyataan kalau aku bukanlah anak yang mereka inginkan melainkan hanya saudariku saja.
Meski begitu dulunya tak tahu menahu karena yang ku tau hanyalah bermain, istilah di pukul aku nangis kalau enggak di pukul ya enggak.
Yah ... begitulah masa kecil yang sangat bahagia tanpa memiliki beban.
__
Suatu ketika, di siang hari hujan turun sangat deras, udah menjadi kebiasaanku suka main hujan-hujanan. Saat aku mau keluar pintu rumah, tiba-tiba Viona memanggilku.
"Kakak aku ikut ..." Pinta dia dengan manjanya.
Aku menolehnya kemudian berkata, "Jangan dik, nanti kamu bisa sakit,"
lantaran aku tahu daya tahan tubuh adikku tidak sekuat aku. Lagipula tidak akan diberikan izin oleh orangtuaku bila tau Viona bermain denganku.
"Pokoknya aku ikut kakak!" Adikku terus merengek, tak mau mendengar kata-kataku, bahkan dia juga menangis.
Aku tidak langsung menjawabnya, malahan dia langsung mendekat padaku, lalu mencengkram lenganku.
"Aku ikut kakak, pokoknya ikut kakak main!"
"Lepasin tanganku dik, nanti kamu sakit. Sudah kamu masuk lagi ke dalam sana, nanti bajumu basah kena hujan!" Jawabku sembari melepaskan tangan adikku, lalu aku sedikit mendorongnya supaya dia masuk ke dalam.
Tapi, tak sengaja aku kebablasan mendorongnya sampai adikku jatuh ke lantai.
Braak!
"Kakak ... Hiks, hiks, hiks," Adikku semakin menangis histeris, bukan karena dia jatuh, tapi karena dia masih ngotot ingin ikut denganku.
Tangisan dia terlalu kencang sampai terdengar telinga orangtuaku dari dalam. Akhirnya ayahku datang langsung meraih tangan adikku supaya dia tidak ikut pergi denganku.
"Hei kau! Kalau mau pergi ya pergi saja jangan kau mengajak adikmu. Kau tau dia gampang sakit, dan kau tau biaya pengobatan itu tidak murah apa!" Ayahku menggertak ku, mata dia melotot sangat mengerikan!
Aku terdiam seribu bahasa hanya bisa menunduk tak mampu melihat mata ayahku lebih lama, bahkan aku ingin menjelaskan kalau Viona-lah yang ingin ikut denganku, bukanlah aku yang mengajaknya. Tapi tidak dapat aku ucapkan.
Jujur aku sedih sekali, setiap kali aku dekat dengan adikku orangtuaku malah seakan-akan jijik jika adikku sendiri bersama denganku.
Sangat miris bukan? tapi beginilah adanya.
Ada aja celah yang membuatku selalu di bentak oleh mereka walaupun itu hanyalah masalah sebesar biji Angkhak.
__
Tak lama kemudian Aku melangkah pergi seorang diri, aku menoleh sejenak ke arah adikku, dia sedang menangis. Aku tahu aku pahami itu, sesungguhnya adikku sama seperti yang aku rasakan, saling mengasihi tapi di larang oleh orangtua kami.
Kini, aku sudah tiba disebuah tanah lapang tak jauh dari rumah kami. Disana banyak anak-anak yang sudah lebih besar dariku, mereka sedang asik bermain bola.
Sedangkan aku bermain air di parit sendirian. Ketika hujan lebat datang seperti ini debit air dari parit pasti meluap dan aku sangat senang bermain-main air disana.
Aku membuat sebuah kapal-kapalan yang kubuat dari pelapah pohon pisang, semua itu sangat menyenangkan. Bahkan membuatku melupakan sejenak rasa sakit dihatiku akibat dimarahi oleh ayah tadi.
Tak lama kemudian hujan semakin mereda, namun masih sedikit deras, aku masih saja bermain di parit itu dengan sangat gembira. Lokasi parit tempat ku bermain itu dekat dari jalan raya. Tetapi jalan raya di kampung kami tidak begitu ramai seperti di jalan raya utama desa kami. Tatapi kendaraan yang melintas udah cukup banyak sih, para pengangkut hasil panen.
Keasikan ku bermaian menjadi terhenti ketika terdengar suara teriakan seorang anak perempuan semakin mendekatiku.
"Kakak ..."
Perlahan aku menoleh ke arah sumber itu membuatku sedikit senyum melihat suara anak perempuan itu adalah adikku sendiri.
Tapi, senyumanku secepat kilat berlalu dari bibirku saat aku melihat adikku akan berjalan menyebrang jalan mendekat kepadaku tanpa melihat kanan dan kiri dulu.
"Viona tunggu! Jangan menyebrang dulu!" Teriakku saat aku lihat ada sebuah mobil Pick up melaju kencang dari arah kejauhan.
Viona tidak mendengarkanku, dia malah sudah berlari aja
Dan .... Nahas pun akhirnya terjadi,
Brrak!
Adikku tertabrak dan terlindas oleh mobil itu hingga tubuhnya hancur berantakan.
"Vionaa!" Aku teriak sekencang-kencangnya membuat perhatian anak-anak bermain bola melihat semua ke arahku.
Mobil yang melindas adikku langsung kabur, tak lama kemudian banyak warga yang berkumpul untuk menyaksikan kejadian itu.
Tubuhku mematung, air mataku sudah mengalir deras di pipiku, perlahan aku mendekatnya.
Sebelum aku mendekat ke adikku, kedua orangtua ku datang, karena rumah kami hanya berada disebrang jalan dari lokasi parit tempatku bermain ini tak heran kalau mereka juga langsung menyaksikan.
Setelah ku melangkah semakin dekat aku lihat Ibuku langsung menangis histeris seperti orang gila.
"Tidaaakkk! ini tidak mungkin! Putrikuuu! Ini tidak mungkin! Putrikuu!!!"