webnovel

Villainess's Giving Up

Aku Mencintainya, sosok yang menurutku sempurna, Suan Dikintama. Segala cara telah kulakukan untuk mendapatkannya tapi aku tidak pernah berhasil dan dia juga tidak pernah sedikitpun memberikan hatinya untukku. Suatu hari, tanpa sengaja aku melukai laki-laki lain, dia adalah Arkas yang sangat miskin dan dipenuhi dengan lilitan hutang, karena aku tidak peduli akan kesalahanku, tiba-tiba saja suatu hal terjadi kepadaku, Misterius dan sangat menyakitkan. Perasaan itu memaksaku untuk menyerah mendapatkan Suan, perasaan itu memaksaku untuk selalu menolong Arkas ketika dia dalam kesulitan. Perasaan itu memberitahukan tentang masa depanku dan kesialan Arkas yang akan terjadi. Sampai kapan perasaan itu menghantuiku?

Axe_Ashcielly · Urban
Not enough ratings
19 Chs

Bab VII

Bab 5 Batin yang tersiksa

Dua wajah, itulah yang dimilikinya.

Satu wajah lembut yang digunakan untuk menarik perhatian orang lain dan satu lagi adalah wajah Asli yang terkadang tidak banyak orang akan menerimanya.

Menggunakan wajah manapun yang ia miliki, itu sama sekali tidak berguna baginya untuk berbicara kepada laki-laki yang kini telah berdiri dan menatapnya penuh dengan kebencian.

Mau bagaimana lagi, Aria juga mengingat bahwa perilakunya beberapa hari yang lalu telah menyebabkan Arkas semakin dijauhi oleh wanita yang ia cintai.

"Kenapa kau datang lagi?" Pertanyaannya terdengar menolak kehadiran. Arkas yang telah mengenakan pakaian rapi untuk memenuhi panggilan kerja bahkan terlihat begitu risih memandang wajah Aria terlalu lama.

Wajahnya yang cantik meskipun tidak memakai riasan karena terburu-buru untuk datang ke tempat laki-laki berwajah lonjong dengan poni rambut yang sedikit naik ke atas serta rambut yang mungkin telah ia potong rapi untuk memenuhi panggilan kerja, terlihat datar dan dingin karena wanita itu tidak menyukai lontaran pertanyaan yang baru saja di ucapkan oleh laki-laki tinggi namun bertubuh kurus di depannya.

"Taaraa, Aku sudah datang, Arkas." Aria mengabaikan pertanyaan laki-laki tersebut, wanita cantik dengan rambut lurus alami serta helaian rambut berwarna hitam dan terkadang bercampur dengan warna pirang telah mengubah mimik wajah dinginnya menjadi mimik wajah penuh keceriaan.

Segera ia datang semakin mendekat, lalu tanpa sengaja memandang ke area perkarangan rumah yang tidak lagi di penuhi oleh barang-barang rongsokan, "Pergilah!" tetapi sayang, ia diusir lagi.

"Kau sudah menjual semuanya?" tidak mempedulikan pengusiran, Aria malah bertanya untuk menghindari rasa malu dan harga dirinya yang telah dipandang remeh oleh laki-laki tidak tahu diri, menurutnya itu.

Pagi yang harusnya cerah, hari itu malah membuat suasana hati Arkas kesal dan emosi, "Pergi!" Arkas terus mengusir, suaranya bahkan sedikit diperkeras saat itu.

"Kau ingin pergi kemana?, bagaimana kalau aku saja yang mengantarkanmu?, Hm, sekalian saja, aku akan mentraktirmu sarapan jika kau masih belum makan pagi ini." Seolah-olah tidak terjadi sesuatu, dengan berwajah tebal, Aria terus berpura-pura menjadi orang yang baik untuk mencegah Arkas berada dalam bahaya.

"Kau tidak dengar aku ya?"

Arkas yang tadinya telah berjalan dan diikuti oleh Aria, membalikan badan lalu mengepalkan tangan menahan diri untuk tidak bertindak ceroboh terhadap Aria yang menurutnya sangat menjengkelkan.

"Tidak mau, aku tidak mau pergi. Aku, ehm." Aria tertegun, ia terlihat mengalihkan pandangan untuk tidak melihat wajah Arkas yang sebenarnya tidak ia suka. "Aku masih ingin bersamamu." Lanjut Aria memberikan senyum lembut dengan terpaksa meskipun matanya masih tidak ingin membalas tatapan Arkas.

"Kau," Arkas berbalik lalu melangkah dengan cepat, "benar-benar..." Dia tidak lagi memiliki banyak waktu untuk melayani segala perilaku Aria saat itu.

"Aku Aria, kau harus mengingat namaku mulai dari sekarang karena aku akan selalu hadir disaat kau butuh." Aria berlari mengejar, meskipun sebenarnya ia tidak biasa berlari menggunakan sepatu hak tinggi.

Gang rumah itu tidak terlalu ramai, bahkan ada banyak rumah-rumah yang masih kosong karena belum ada pembeli, dan lagi, perumahan tempat tinggal Arkas tersebut berada di pinggiran kota yang sedikit lebih jauh dari pusatnya lalu untuk masuk ke dalam tempat tersebut dari jalanan raya juga memakan waktu yang cukup lama maka dari itu, sangat jarang penduduk kota tersebut mau membeli rumah di sana.

"Aku tidak butuh kau." Jawab ketus Arkas masih berjalan keluar gang diikuti oleh Aria yang terlihat berlarian kecil, berusaha mengiringinya.

"Aku tidak peduli jika kau tidak membutuhkanku, aku hanya perlu ada bersamamu saja dan itu sudah cukup bagiku."

"Benar-benar tidak tahu malu." Arkas menghina kembali dan Aria telah mempersiapkan diri untuk menerimanya. Meskipun ia sempat merasa sakit hati dan menghentikan langkah, tetapi karena tidak ingin merasakan perasaan mengerikan itu lagi, ia mengulangi langkah lari kecilnya untuk terus beriringan dengan Arkas kembali, mencegah laki-laki tersebut untuk menaiki bus kota.

Terus melangkah kaki hingga tumit Aria terasa sakit karena begitu jauh untuk sampai ke jalanan raya menurutnya berada, Aria sedikit merasa lega karena Arkas tidak lagi mengusirnya pergi.

Mereka berjalan melewati rerumputan tinggi dan tebal di pinggiran jalan yang sepi, tak berumah. Hanya terkadang kendaraan motor saja yang lewat berlalu lalang, terkadang juga terlihat mobil lewat di jalanan yang tidak lebar tersebut, namun hanya bisa dihitung dengan jari saja kendaraan tersebut melewati mereka.

Langkah Arkas benar-benar cepat, hingga Aria terkadang terpaksa berhenti, menahan lelah dan kembali berlari untuk mengejarnya.

Aria memang tidak terbiasa berjalan terlalu lama meskipun ia sering berolahraga di taman samping rumah setiap beberapa hari sekali.

Criitt bummm..

Sebuah motor menghalangi langkah Arkas, "Arkas, dia siapa?, mungkinkah kekasihmu?" seorang pengendara motor yang berjenis kelamin laki-laki mulai bertanya saking penasarannya ia terhadap apa yang dia lihat sedari tadi.

Sepertinya laki-laki tersebut merupakan tetangga di perumahan Arkas.

"Bukan." Arkas menjawab, suaranya terdengar ketus lalu laki-laki tersebut segera bergerak kembali menghindari motor yang melintangi jalannya, dan melangkah kaki lagi dengan cepat.

"Kau kekasihnya?" kali ini pengendara motor tersebut bertanya kepada Aria yang tadinya akan segera berjalan mengikuti Arkas.

"Benar." Jawab Aria santai, lalu mulai melangkah kembali.

"Kau," Arkas geram, ia merasa dipermainkan.

Aria yang tidak mau menanggung rasa malu karena akan dikira sebagai wanita penguntit, mau tidak mau, mengucapkan kebohongan tersebut.

"Aku ke..ka ..sih..mu." Aria mengulang kembali perkataannya agar pengendara motor semakin yakin bahwa mereka adalah pasangan kekasih lalu mengira saat itu mereka berdua sedang bertengkar.

"Astaga, kekasihmu cantik sekali," Pengendara motor memuji, ia terlihat begitu menganggumi wajah cantik serta tubuh tinggi yang terbalut kemeja berlengan panjang dan celana hitam polos. Pakaian itu sengaja Aria gunakan karena ia mengetahui bahwa pasti, ia akan berada di tempat bercuaca panas bersama Arkas. "kalian sedang bertengkar ya?"Pengendara motor melanjutkan ucapannya, kali ini ia bertanya sesuai dengan perkiraan Aria.

Aria menghela nafas sejenak, lalu memandang mata pengendara motor tersebut."hmm, benar sekali. " Kemudian menjawab pertanyaan yang membuat pengendara motor sontak membuang wajah karena merasa sangat malu dipandang oleh wanita cantik seperti Aria.

"Ah, benar, aku ada urusan, jadi harus pergi." Memahami situasi yang sedang terjadi antara Arkas dan Aria yang menurutnya adalah sepasang kekasih, laki-laki pengendara motor mulai menyalakan kendaraannya kembali untuk berlalu pergi dan tidak ingin mengganggu kedua orang itu. "Arkas, jangan marah-marah lagi." Teriaknya menasihati arkas dari kejauhan, lalu pergi berseberangan arah dengan mereka.

Melihat Arkas telah berjalan sangat jauh, Aria melepaskan sepatu hak lalu mengejar Arkas dengan segera.

"Bisakah kau tidak menggangguku?" Aria yang telah berhasil mengejarkan, dihadapkan dengan permintaan Arkas yang mungkin telah menyadari kedatangannya.

"Kalau begitu, terimalah aku menjadi kekasihmu atau temanmu saja juga tidak masalah." Aria malah balik melontarkan permintaan.

"Lucu sekali," Arkas menghentikan langkah, perlahan-lahan ia berbalik, menghadap ke arah Aria di belakangnya. "Bukankah kau sudah memiliki tunangan?, bahkan tunanganmu saja begitu perhatian padamu. Ataukah kau memang tidak tahu malu, atau mungkin, kau adalah wanita murahan yang suka berganti-ganti pasangan?"

"Tunanganku tidak pernah mencintaiku, kelihatannya saja perhatian tetapi tidak begitu yang sebenarnya. Aku hanya ingin dekat denganmu, itu saja cukup dan tidak butuh apapun darimu." Jelas Aria, berusaha menenangkan kemarahan Arkas.

Keringatnya bercucuran, kini wanita itu dan Arkas telah sampai di dekat jalan raya.

Rasa sakit di kaki karena hak tinggi yang telah ia lepas menambahkan rasa lelah.

Kemarahan Arkas kepadanya juga semakin memperparah.

"Aku tidak mau tahu urusanmu, tolong, aku hanya tidak ingin diganggu dan tidak ingin wanita yang kucintai salah paham lagi." Arkas memperpelan suaranya, lalu memanggil kendaraan angkutan umum yang akan melewati mereka tadinya. Kendaraan tersebut bukanlah bus kota, maka dari itu hati Aria kini telah lega dan wanita itu membiarkan Arkas pergi begitu saja.

Perasaan aneh itu telah berhenti dan tidak menyakiti lagi. Saat itu Aria masih belum bisa memahami bagaimana perasaan itu akan terjadi dan juga berlangsung?, dia masih sangat bingung serta berpikir keras mengingat berulang kali, awal perasaan menyakitkan itu muncul.

Aria menghela nafas lega, ia mengenakan sepatu haknya kembali untuk mencari taksi dan memerintahkan supir pribadinya untuk mengambil mobil yang masih tertinggal di dekat rumah Arkas.

Tempat ia berada kini telah ramai tidak seperti sebelumnya, di sana terlihat banyak sekali orang-orang yang berjalan maupun berkendara.

Tukkk..

Satu langkah ia gerakan.

Deg.. degup..

Haaa...

Tapi tiba-tiba kepalanya sedikit pusing meskipun perasaan aneh tidak menyakiti hatinya lagi.

Degg deguuppp..

Haaa... hiks..

Aliran air mata mengalir deras, membasahi wajah.

Haaa...

Wanita itu jatuh melipat kedua kaki ke belakang sembari menutup wajah menangis sesenggukan.

"Permisi,"

"Kak,"

"Hai, kau kenapa?"

Beberapa orang datang mendekati Aria yang masih duduk menangis tersedu-sedu tetapi Aria tetap diam dan tidak menjawabnya.

"Hallo, nona cantik."

Aria berdiri tanpa menjawab sapaan dan kekhawatiran orang-orang di sana.

Gerakan cepat wanita itu berhasil mengejutkan orang-orang di sekitarnya tersebut.

"Akhh hiks, hiks, " dan bahkan sebagian dari mereka merasa iba ketika Aria berlari lalu terjatuh karena hak sepatunya patah hingga kedua lutut wanita tersebut mengeluarkan darah.

"Kau baik-baik saja?" seorang wanita mencoba membantu tetapi Aria mengabaikannya.

Segera Aria berdiri lalu melangkah dengan kaki pincang mencari taksi yang tidak kunjung terlihat.

"Butuh tumpangan?" seorang laki-laki mencoba menawarkan diri namun Aria tidak mendengarkannya.

Hari itu, Aria telah melihat masa depan akan nasib dirinya sendiri yang tiba-tiba berubah dan ia memutuskan untuk segera menghentikannya meskipun harus menaiki bus kota yang ia sendiri bahkan tidak pernah menumpangi kendaraan tersebut sebelumnya.

************

Taakkk taaakkk taakkk...

Suara hentakan kaki terdengar, kaki yang menghentak itu tidak memakai satupun alas, baik itu sepatu ataupun sandal.

Tangisan terus menyesakkan hatinya yang teramat perih hingga membuat para karyawan yang bekerja di perusahaan itu, segera pergi menghindari karena mereka memang sangat mengenal Aria.

"Haa.. hikss.. haaa haaa..hikss." Dia terus berjalan sembari menangis sesenggukkan. Dia juga tidak peduli dengan darah yang mengalir di lutut kakinya.

Tidak ada tas yang ia bawa, karena tasnya ia tinggal di dalam mobil dan bahkan ketika menaiki bus kota, ada seseorang yang membantu membayarkannya.

"Haa.. hiks.. hikks.." Tangisannya bercampur dengan emosi yang membabi buta, "Hiks hiks," ia terus menangis hingga sampai ke depan sebuah pintu ruangan yang berdindingkan kaca.

Pandangannya menatap sesosok laki-laki dari dalam dinding kaca, laki-laki itu bahkan begitu bahagia melihat tangisan Aria yang telah mengetahui masa depan dari dirinya sendiri.

Baaaaaakkkk..

Tidak ada seorangpun karyawan yang berani menghentikan Aria membuka pintu pemimpin perusahaan mereka.

Pintu yang berada di bagian sudut ruangan terbuka hingga menabrak sebuah gorden mewah yang berfungsi untuk menutupi jendela kaca dan melindungi ruangan tersebut dari panas sinar matahari.

Aria masuk tanpa mempedulikan rasa sakit yang dia derita.

"Wah hebat sekali." Puji laki-laki yang tak lain adalah Suan. Laki-laki tersebut terlihat bersandar di meja kerja lalu melipat tangan ke dada. "Bahkan aku baru ingin memulainya tapi dengan begitu cepat kau telah tiba. Berapa banyak jumlah mata-mata yang kau miliki untuk mencari tahu semua hal tentangku?" dengan santainya Suan berbicara dan dengan matanya pun ia bahkan memberikan isyarat kepada Aria untuk melihat dua orang lain yang sedang duduk, memohon sesuatu kepada Suan di ruangan tersebut.

"Kau membelinya?"Aria geram, tangisannya semakin pecah, " Kenapa kau membelinya?, kau kira kau bisa bahagia seperti cerita-cerita romansa?, Kau kira dengan membeli gadis dari hutang orang tuanya, kau bisa lepas dariku?" wanita itu berteriak mengeraskan suara saking menyakitkannya keadaan yang ia rasakan saat itu.

"Aku membelinya tentu saja karena aku menyukainya, aku menyukai wanita seperti ini, dan bukan wanita sepertimu." Dengan segera Suan meraih tangan gadis yang mungkin baru saja tamat sekolah menengah atas tersebut, hingga gadis itu berdiri dan jatuh kepelukan laki-laki itu.

"Akhh," gadis itu mengerang kesakitan karena genggaman erat tangan Suan di pergelangan tangannya. Saat itu, dia terlihat sangat ketakutan," ayah, tolong jangan jual aku!" lalu memohon kepada laki-laki tua yang terduduk menundukan kepala.

"Maaf,"

"Pergi!" Suan mengusir laki-laki tua itu. Dengan cepat laki-laki tua tersebut berlalu dari sana.

"Kenapa kau menjual anakmu?" bentak Aria menahan tetapi karena ia telah lemah, laki-laki tua dengan cepat menghempaskan tangannya lalu tanpa menjawab pertanyaan, ia berlari keluar dari ruangan tersebut."Hiks haa.. hikss... lepas kubilang!" perlahan-lahan langkah gontai Aria mendekati Suan.

"Hikss hikss." Gadis yang terjual itu juga ikut menambah suasana menyedihkan di ruangan tersebut.

"Kenapa aku harus melepaskannya?" bukan melepaskan, Suan malah semakin mempererat pelukannya.

"Lepaskan kubilang!" kali ini Aria berhasil mendekati dan mencoba melepaskan gadis itu dari tangan Suan.

"Mana mungkin aku melepaskan gadis yang telah susah payah kubeli ini begitu saja. Harganya juga cukup mahal, dia juga masih perawan, aku juga sangat menyukai bentuk wajahnya, jadi berhentilah berpikir bahwa aku akan melepaskannya begitu saja." Suan melepaskan tangan Aria yang lemah karena tubuhnya dipaksa menahan rasa sakit fisik dan juga batin.

"Hm," Hingga ia lelah lalu terduduk jatuh di atas lantai. "Hm hahahahaha," dan tertawa lebar begitu menggema, "kau berani kepadaku, Suan?, hahaha, Ah benar, sepertinya kau melupakan siapa aku?" Aria mengembangkan senyuman kecut diantara kepahitan hatinya, ia bahkan sempat melayangkan ancaman.

"Hm, lakukan saja apapun yang ingin kau lakukan, wanita ini juga sudah siap mati di tanganmu." Suan menarik gadis itu maju ke depannya, lalu menekan kedua pipi gadis tersebut dari belakang, memperlihatkan dengan jelas bagaimana bentuk wajah gadis yang baru saja ia beli tersebut kepada Aria.