Malam yang sunyi, dimana kalian bisa mendengar suara jangkrik yang bersahutan ataupun angin yang berbunyi layaknya siulan bulan. Giovani menatap ayunan tempat Gloria biasa menghabiskan waktunya disana dengan tatapan yang sulit diartikan. Ayunan itu layaknya ayunan biasa yang ditiup oleh angin yang berhembus cukup kencang, setidaknya itu yang orang biasa lihat. Berbeda dengan yang Giovani lihat, sejak beberapa menit yang lalu ia sudah memperhatikan sosok yang duduk disana. Seorang anak kecil perempuan dengan tatapan kosong sembari memeluk sebuah boneka usang miliknya. Lucius sudah mencoba untuk mengusirnya tapi dihentikan oleh Giovani. Giovani tidak masalah selagi dia tidak membahayakan, mungkin besok anak kecil itu sudah pergi.
Giovani beranjak dari tempatnya dan mulai menuju sofa untuk mendudukkan diri. Ia tidak berniat tidur sama sekali sekarang meskipun besok dia harus berangkat ke sekolah. Tidak lama terdengar suara langkah kaki dibelakangnya yang merupakan milik Nielle. Setelah menemani Gloria tidur, Nielle langsung menuju ke tempat dimana Giovani berada. Sangat sulit membuat Gloria tidur dengan rasa syok dan takut yang menghantuinya.
Nielle mendudukkan diri disamping Giovani, dua orang laki-laki itu saling diam tak membuka suara. Bukan karena mereka tak akur, hanya saja memang tidak ada hal yang perlu mereka bicarakan pikir Giovani.
"Tadi siang Gloria mendapat sebuah surat cinta," ucap Nielle membuka percakapan.
"Apa kau pikir pengirimnya merupakan orang yang sama dengan pengirim kotak tadi?" tambah Nielle.
"Aku tidak yakin, tidak ada petunjuk yang benar-benar jelas sekarang. Kita tidak bisa mengasumsikan kalau pengirim kotak itu orang yang menyukai Gloria," ucap Giovani menjelaskan.
"Kau memang benar, apa dia memiliki musuh?" tanya Nielle.
"Setahuku tidak ada, tapi itu bukan berarti dia tidak memilikinya," ucap Giovani.
"Kau sudah menduga seseorang?" tanya Nielle yang kesekian kali.
"Tidak, aku belum menarik kesimpulan," ucap Giovani meskipun ia menaruh kecurigaan pada Augine tapi itu tidak bisa membuktikan apa-apa.
"Kau terlihat sangat menyayangi Glowie," ucap Nielle penuh arti.
"Bukankah wajar?" tanya Giovani dengan sebelah alis terangkat.
"Tentu saja tapi kau harus memperhatikan dia lagi, terlalu banyak bermain game di malam hari dapat mengganggu otaknya," ucap Nielle yang tak direspon langsung oleh Giovani.
"Aku lebih tahu apa yang dia lakukan dibanding kau," balas Giovani kemudian.
"Baiklah, dan ya satu lagi matikan lampu kamarnya ketika tidur. Kalian hanya masuk untuk melihat keadaan Gloria, tapi lupa mematikan lampunya," tambah Nielle.
Giovani mengernyit, dia melirik Nielle yang memijat pelipisnya pelan. Setiap malam memang Giovani dan orang tuanya selalu mengecek kamar Gloria hanya untuk memastikan Gloria tidur dengan baik, tapi bagaimana Nielle bisa mengetahuinya?
"Nampaknya kau tahu dengan baik tentang kami," balas Giovani sarkas.
Nielle terdiam menatap lurus kearah televisi yang tidak menyala, namun tak lama dia terkekeh pelan akibat mendengar penuturan Giovani.
"Bukankah semua orang melakukan itu pada anak gadisnya? Ibuku juga biasanya melakukan itu padaku yang anak laki-lakinya," balas Nielle.
Giovani diam, dia tak berniat membalas ucapan Nielle. Matanya tertuju pada Lucius dan Lucy yang mendekatinya dan Nielle, tentunya hanya Giovani yang dapat melihat mereka. Lucius dan Lucy mendudukan diri mereka di sofa, mereka berdua menelisik Nielle dengan seksama. Lucy menatap tajam ke arah Nielle kemudian menatap Giovani heran. Nampaknya hantu perempuan yang sudah lama berteman dengan Giovani itu memiliki pemikirannya sendiri.
"Bagaimana kau bisa membiarkan dia berada di dekat Gloria? Dia nampak mencurigakan," ucap Lucy.
"Dia memang terlihat patut dicurigai," tambah Lucius.
Giovani tak menggubris perkataan keduanya, akan terlihat aneh bagi Nielle jika dia berbicara sendiri. Walaupun jika dipikirkan memang benar, laki-laki berdarah Italia ini terlihat aneh terkadang. Tiba-tiba muncul dan mulai berada disekeliling ia dan adiknya dengan mudah. Salahkan Gloria yang menyukai laki-laki tampan, seharusnya Gloria memikirkan dulu sebelum jatuh cinta pada orang yang baru ia temui.
Giovani mengambil ponselnya, tangannya dengan lincah mengetik sebuah pesan untuk seseorang diseberang sana. Sejenak ia menatap Nielle yang sedang membaca sebuah buku yang ada di atas meja dihadapan mereka. Pikiran Giovani tertuju pada kata-kata Lucius tentang seseorang dengan tahi lalat di pergelangan kaki kirinya. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki untuk menemukan sosok misterius yang meneror Gloria.
Jika diingat-ingat, Augine tidak pernah lagi mengganggu Giovani sejak kejadian tempo hari dimana dia hampir menyakiti Augine yang berusaha melukai Gloria. Giovani juga jarang menemukan Augine di sekolah. Apa Augine dendam karena Giovani sudah memperlakukannya seperti itu lalu dia berusaha membalas Gloria?
Suara kekehan Nielle membuyarkan pemikiran Giovani. Sedari tadi Nielle memperhatikan Giovani yang nampak tegang dengan pikirannya sendiri.
"Kau terlihat tegang, apa yang kau pikirkan?" tanya Nielle.
"Tidak ada, ku pikir ini wajar mengingat apa yang sedang kita hadapi," balas Giovani.
"Jangan takut, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Gloria," balas Nielle percaya diri.
"Kau terdengar seperti lelaki yang bertanggung jawab, bagaimana kalau yang kau hadapi sebenarnya pembunuh berantai yang sedang meneror kota ini," ucap Giovani mengaitkan dengan hal yang sedang ramai di kota. Sebenarnya itu memang kemungkinan terburuk yang dipikirkan oleh Giovani.
Nielle mengerjapkan matanya beberapa kali, "Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu? Lebih baik menculik Gloria secara langsung dibanding mengirimkan teror seperti ini."
"Kau berharap dia diculik?!" tanya Giovani tak percaya.
"Tidak, hanya saja teror seperti ini sangat tidak cocok dengan kesan pembunuhan yang ramai di kota ini," balas Nielle.
"Itu hanya sebuah kemungkinan."
"Pembunuh berantai itu tidak akan mengincar Gloria," balas Nielle.
"Huh siapa yang tahu, kecuali jika kau pembunuh berantai itu," sahut Giovani tanpa sadar.
"Ya siapa yang tahu," balas Nielle dengan nada rendah.
Lucy dan Lucius saling berpandangan, sepertinya mereka memang harus lebih memperhatikan Nielle. Ketukan di pintu kaca mengalihkan atensi hantu kembar itu. Sosok anak kecil di ayunan terlihat menatap kearah mereka berdua seolah-olah meminta izin untuk masuk kedalam rumah. Mereka berdua menatap Giovani, seakan mengerti Giovani mengangguk tanda mengiyakan. Anak kecil itu masuk dan mendekati Lucy dan Lucius.
"Kenapa?" tanya Lucius.
"Jangan dekati dia," ucapnya sembari menunjuk kearah Nielle.
"Kau tahu sesuatu?" tanya Lucy yang diangguki anak itu.
Giovani mendengarkan dengan seksama, seorang hantu berkata mengenal Nielle dan itu cukup menarik untuk Giovani agar ia mendengarkan.
"Aku pernah melihatnya menatap kekamar adikmu cukup lama," ucap anak kecil itu.
"Maksudmu?" tanya Lucius memastikan.
"Iya, saat kalian semua tidur. Dia memperhatikan kamar adikmu dari luar," jelas anak kecil tersebut.
Giovani kaget, begitu pula Lucy dan Lucius. Mereka tidak menyadari apapun, terutama Lucy dan Lucius.
"Apa yang dia lakukan saat itu?" tanya Lucy.
"Dia diam dengan benda tajam yang penuh darah ditangannya," balas anak kecil itu.
"Kau yakin itu dia?" tanya Lucius.
"Sosok itu mirip dia," balas anak tersebut.
"Hanya mirip?"
"Iya, warna aura mereka berdua sama."
Hanya mirip, itu tidak membuktikan kalau memang Nielle yang berdiri saat itu. Giovani tersentak kaget saat Nielle menepuk bahunya.
"Kau melamun," ucap Nielle.
"Oh maaf," balas Giovani.
"Sepertinya kau mulai menyadari sesuatu ya?" ucap Nielle dengan senyuman aneh dimata Giovani.