webnovel

Makan Malam

Rasanya sangat canggung.

Ia belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.

Xena kini duduk di samping Naura, memerhatikan bocah itu mengoceh sambil ibunya, Lika mengambilkannya makanan. Sembari merutuki diri sendiri kenapa malah ada di sini bukannya berbalik pergi tadi.

Seharusnya ia tak datang. Tapi entah mengapa hati kecilnya seakan mendorongnya, kata-kata di kertas itu tergiang-ngiang. Jadi sebelum ia tak bisa tidur. Ia pun datang jua.

Di hadapannya, ada cukup macam masakan yang dibuat. Jika Xena hanya bisa membuat telur ceplok, dadar atau mie instan, di sana ada banyak olahan rumahan yang dimasak sendiri.

Beberapa ia tahu namanya karena sering beli di luar, beberapa lagi ia rasanya baru melihatnya.

Mungkin pernah lihat tapi ia lupa.

"Ini, semoga suka ya, kalau mau, bisa bilang nanti mbak ambilkan," katanya ramah.

Mereka berdoa sejenak sebelum makan dan Xena hanya ikut-ikutan saja. Untuk sejenak ia hanya diam menatap makanan yang sudah berada di piringnya. Penuh.

Ini sih ia tak yakin bisa menghabiskan semuanya boro-boro mau tambah. Porsi itu hampir mirip dengan konten mukbang.

"Ayo di makan nanti dihabisin sama Naura loh," kata Bagas bercanda, untuk mencairkan suasana.

Sedikit merengut sambil makan paha ayamnya Naura berseloroh kalau ia tak serakus itu.

Sementara Xena menatap keduanya, ia mulai menyantap makanannya.

Gadis itu sudah sejak lama membeli makan di luar, namun baru kali ini ia mencoba sesuatu yang enak seperti ini. Rasanya ada bumbu yang tak dipakai oleh kedai yang dibelinya.

"Bagaimana? masakan mama enak kan?" kata Naura. Xena pun menggangguk.

"Kata mama masakannya dibuat dengan cinta, makannya lebih enak dari yang dijual oleh restoran mana pun," sambungnya lagi tak menyadari adanya perubahan dalam ekspresi Xena. Bumbu cinta, apa itu pikirnya.

Meja itu kemudian di penuhi celotehan Naura, ia bukan tipe bocah yang bisa diam. Sementara Mamanya Lika hanya tersenyum sambil mengingatkan Naura agar makan pelan-pelan.

Waktu di lift, Xena tidak terlalu memerhatikan, ia memang jarang memerhatikan orang dengan seksama, takut ada yang terganggu, dan ia tak ingin ikut campur, tapi begitu dalam jarak dekat ini ia baru sadar.

Sebelah mata Lika nampaknya berbeda.

Namun tak ia pandangi lama-lama karena takut Lika risih.

Pada mulanya, Xena mengira kalau Lika baru berusia sekitar 25 tahunan, dan berpikir sepertinya menikah muda mengingat Naura yang sudah besar, namun cukup terkejut karena Lika bilang ia sudah berusia 33 tahun ini.

Wajahnya ternyata awet muda.

Sementara suaminya sendiri satu tahun di atasnya. Rambutnya ikal berwarna hitam, sepertinya hanya mengenakan make up tipis, tapi aura cantiknya sudah terlihat.

Sambil mengobrol santai itulah akhirnya mereka tahu kalau namanya adalah Xena. Cukup unik.

Selanjutnya hanya di habiskan dengan makan. Sebab tak enak kalau kebanyakan bicara saat makan.

Mungkin karena sudah terbiasa di rumahnya sendiri, meski Lika bilang tidak perlu, gadis itu tetap memilih untuk mencuci piring. Sementara Ruang keluarga yang memang berada di dekat sana membuat Naura yang tengah belajar dan Bagas yang mengerjakan sesuatu di laptopnya bisa mendengar percakapan keduanya.

Jadi Lika pun memilih untuk membantu menyusunnya.

Jarang sekali Xena bisa makan sebanyak ini, rasanya perutnya agak kekenyangan.

"Oh iya, Mbak lihat kayaknya Xena tinggal sendiri ya?" tanya Lika, sembari mengelap tangannya. Kemudian beralih ke tempat penyimpanan makanan tadi, ia ingin membungkuskan untuk Xena beberapa lauk yang tak akan basi dengan cepat.

"Iya, benar," sahut Xena singkat. Tidak seperti orang-orang ia tak bertanya balik.

"Lalu orang tua Xena ke mana? sibuk bekerja ya?"

Sedari awal, pertanyaan seputar seperti itu seakan sudah biasa ia dengar, jadi Xena tidak lagi merasa biasa saja.

"Sudah meninggal."

"Apa?"

Wajah Lika seketika menegang. Agak terkejut dengan apa yang gadis itu lontarkan. Apa yang sebenarnya terjadi, ia tak menduganya sama sekali, ia pikir orang tua dari Xena terlalu sibuk dalam bekerja makannya mereka menebusnya dengan memberikan kehidupan yang layak seperti tinggal di apartemen itu.

Xena pikir saat Lika bilang apa tadi merupakan pertanyaan, dan ia pun tanpa ragu menjelaskannya. Walau ini pertama kalinya ia akan bicara soal itu pada orang lain.

"Mereka meninggal saat kecelakaan mobil, jadi saya tinggal sendiri."

Ia memandang Xena dengan tatapan sendu. Malang selain nasib gadis ini.

"Kenapa tidak tinggal bersama kerabat?"

Untuk kali ini Xena langsung terdiam, bertepatan dengan ia melepaskan sarung cuci tangan.

"Saya tidak punya kerabat," ujarnya datar.

Pada akhirnya karena situasi yang tiba-tiba jadi hening, terdengar suara deheman yang berasal dari Bagas, ia bahkan sampai berbisik pada putrinya agar mengajak Xena main.

Gadis kecil itu pun menurut, dan meminta Xena untuk main dengannya.

"Maaf, tapi sepertinya saya harus kembali sekarang," katanya mulai merasa kecanggungan menekan dadanya. Lagipula tidak ada alasan ia bertahan di sana, takut mengganguk istirahat orang lain.

"Oh, benar juga, mungkin kamu punya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan," kata Lika sembari menyodorkan lauk yang sudah dikemasnya dalam wadah kecil. Ia berpesan agar dipanaskan saja menggunakan microwave jika ingin makan itu. Ia awalnya ingin menolak, tapi tidak bisa karena Lika begitu bersikukuh. Jadi mau tak mau ia harus menerimanya.

Xena pun mengucapkan terima kasih, untuk hal ini ia memang memiliki tata krama yang bagus.

Saat gadis itu baru saja keluar lah Lika berujar.

"Mama membuat kesalahan besar, Pa," lirihnya. Ia sadar telah menanyakan hal yang sensitif, ia berharap gadis itu tidak akan menangis, mereka masih tak percaya kalau Xena hidup sebatang kara. Jadi sekarang terjawab sudah kenapa ia nampak begitu hampa.

Ia tumbuh besar tanpa kasih sayang keluarga, lalu ia sendiri malah menanyakan hal yang begitu sensitif.

"Dia pasti sangat kesepian," ungkapnya sedih.

"Dia gadis yang kuat, lain kali ajak dia makan lagi," ujar Bagas yang langsung dibalas anggukan oleh Lika. Tanpa diberitahu pun ia sudah memiliki rencana untuk ke depannya.