20 16: Undangan untuk Hesa

"Hesaaaaa, main yuk ..."

Ting tong ting tong.

"HEEEEESSSSSSSS ..."

Perempatan imajiner muncul di pelipis Hesa yang sedang berdiri di bawah kucuran air shower mendengar seruan melengking suara tak diharapkan di pagi-pagi begindang. Hesa sudah mau pura-pura tuli awalnya, dia sedang cukup capek selepas begadang beberapa hari berturut-turut dan tak ingin merepotkan diri dengan Andre.

Seriusan dah. Temennya itu kalau dia diemin beberapa saat aja, kembalinya ke dia kagak elit sekali. Minta maaf kagak, makin ribut iya.

Hesa mau pura-pura nggak ada di rumah saja. Dia yakin temannya itu masih punya kewarasan untuk tutup mulut agar tak mengganggu tetangga dan segera pergi. Pemilik rambut ikal itu sedang super capek. Pengen menikmati weekend dengan rileks.

Namun Hesa lupa. Andre sedikit tak waras.

"BEEEB CYYNNNTTTT. AKU TAHU KAMU DI RUMAAAH. MOTORMU ADA DI PARKIRAAAN. AYO KITA EHEK EHEK MUWAH MUW—"

HAH! BANGSAT!

Tak tahan lagi karena makin lama bibir macam toa Andre tak ada akhlaknya, Hesa buru-buru ambil sabun, melilitkan handuk di pinggang dan menendang pintu kamar mandi. Denah apartemen Hesa, habis pintu depan adalah dapur yang langsung berhadapan dengan kamar mandi, jadi yap. Tak butuh waktu lama untuk si empunya rumah—BRAAAK!—membuka pintu depan.

"DASAR BOCAH NGGAK ADA AKHLAK!" seru Hesa kesal sambil menyumpalkan sabun batang ke mulut Andre dengan tangan kanan dan meninju dada kiri si kekar itu kuat-kuat gunakan tangan lainnya. Sedetik berikutnya Andre mengerang kesakitan, tapi karena ada sabun di mulut, jadi suaranya tertahan. Dia meringkuk di depan pintu kamar Hesa, sedang si empunya, bersedekap dan memandangnya penuh emosi sebelum mengangkat kaki dan menekan kepala Andre hingga mencium lantai.

"Kalau mau masuk rumahku ikuti aturanku," Hesa menggeram, matanya berkilat tajam. Dia melihat Andre mendongak dari posisinya, berusaha membalas pandangnya sebelum mengangguk pasrah. "Jangan teriak-teriak, berisik. Jangan jatuhin rempahan jajan di atas karpet. Kalau ngotorin lantai, langsung di lap. Ngerti?!" tegas, si pemilik rambut ikal mengeluarkan syarat untuk masuk ke dalam. Setelah melihat Andre setuju, dia menurunkan kakinya. Melangkah mundur, Hesa mengedikkan kepala yang mana berarti, meminta pemuda di depannya untuk masuk ke dalam.

Sayang, begitu pintu ditutup, Andre justru malah makin parah.

"Heeeesss~" Andre dengan santainya si cepak melepehkan* sabun mandi ke tangan dan memeluk Hesa dari belakang. "Kangen, Hes~ Pean* lak wes nggak nesu, to? (kamu sudah tidak marah, kan?)" katanya sambil menelusupkan tangannya ke balik handuk, mengusapkan jemarinya di paha Hesa yang yang setengah basah sebelum menyapa Mr. P dengan sentilan. Bersamaan dengan itu, ia menggerayangi dada Hesa yang telanjang, menggesek-gesekkan sabun yang ia bawa di tangan kiri ke tonjolan coklat di sana.

Triple perempatan imajiner muncul lagi di pelipis si ikal. Cepat, tanpa babibu, WACHA! bogem mentah kembali mendarat di muka Andre. Berikutnya Hesa meraih baju bagian depan Andre, setelah itu, kuat dia menyeret si makhluk minus akhlak itu dan membuangnya ke dalam kamar. "Diam di sana, cabul!" hardiknya sebelum membanting pintu yang memisahkan dapur dengan kamar dan mengunci pembatas ruangan itu; mengisolasi sosok yang datang tak diundang di dalamnya.

Dan begitulah awal pagi Hesa kali ini. Berisik dan tidak berakhlak.

Ah, sepertinya keinginan dia istirahat di weekend ini tak akan terlaksana. Kejamnya dunia.

***

Ruangan kamar Hesa cukup besar untuk kategori kamar di apartemen berkamar tidur satu. Besar ruangan ini sampai bisa dimasuki 1 spring bed ukuran 90x200 cm dan sofa bed sepanjang 160 cm. Ya, jadi kalau masuk dari pintu pembatas ruang depan—yang berisi dapur dan kamar mandi—kamar Hesa terbagi menjadi tiga ruang. Untuk kerja di bagian kiri dan mepet dinding, di sampingnya ada kasur yang langsung bersandingan dengan sofa bed, kemudian di depan sofa bed ada tv 43".

Menjadi rahasia umum untuk mereka yang pernah bertandang ke apartemen Hesa, si ikal ini paling anti kalau ruang kerjanya diusik, dia juga tak mau kalau kasur yang sudah dirapikan sampai berantakan semili meter, saja. Karena itulah, tempat bermain Andre ada di area sofa bed dan karpet lonjong diantara benda itu dengan tv. Ya, benar, saat ini si cepak sedang duduk bersila di atas sofa bed dan sudah memegang stick ps. Fokusnya kini tertambat di tv, pada game dewasa yang sedang dimainkan. Soundtrack dari game itu terdengar nyaring, "aaahn~ iya da~ tasukete~"

Ah, ya, benar. Game yang dimainkan adalah game horny. Lebih ke ... game otome 21+ yang super horny.

Tampak di TV 43" ada seorang remaja tengah tersangkut di tali-tali buatan lalu di anusnya terdapat botol alkohol. Andre mengamati detail bagaimana raut remaja itu sampai lelehan cairan yang keluar dari bool dengan seksama. Hawt sekali CG yang ditampilkan, Andre sampai merasa panas.

"Hnnngh," sambil main dia bahkan merabai selangkangannya, mengelus benda keras di balik celana secara perlahan. Andre merasa sensitifitasnya melonjak. Hanya dengan belaian, dia menggelinjang. Napas pemuda itu pun naik turun tak beraturan. Pelan, sambil melihat grafik game di layar kaca berubah otomatis, Andre memuaskan diri. Dia bahkan sudah mengeluarkan miliknya dan mulai membelai. "Haaa~ ngggh~"

Setidaknya sampai tiba-tiba ada suara dingin menginterupsi fantasi, "Cok, isuk-isuk wes nggae doso (C*k, pagi-pagi sudah buat dosa)," dia masih mengocok dirinya sendiri.

Sumpah, suara Hesa membuat Andre terkejut setengah mati. Dia langsung menoleh ke sumber suara, mendapati Hesa yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan iyuuuh.

Yang di-iyuuuuh-in hanya bisa nyengir kuda. Oh my. OOHH MYYY! KOK TIBA-TIBA HESA MUNCUUUL?! wajahnya panik setengah mampus. Buru-buru dia memasukkan batang ngaceng kembali ke tempatnya dan berdiri. "Muwehehe. Aku ke kamar mandi dulu, kakak~" katanya sebelum ngacir ke balik pintu.

Hesa hanya menaikkan dua alisnya melihat tingkah Andre yang begini. Tanpa berkomentar banyak, dia bergerak ke sofa bed, mengambil konsol dan mematikan game yang tengah tertayang. Tak sedikit pun Hesa mengeluarkan komentar untuk hubungan LGBT yang ia lihat di sana. Dia tampak tak mempermasalahkan hal itu.

Mimik muka Hesa baru berubah ketika dia mengambil ponselnya di atas meja kerja. Satu pesan dari orang yang tak dia inginkan terpampang di pemberitahuan.

[[ Wijaya: Hesa. Gua tunggu lu di Universitas M ]]

Hesa mendengus membaca ini, kalau bisa dia tak ingin membuka pesan si setengah bule. Kayak lelaki panggilan aja, orang itu seenak jidat mengundang pakai nada perintah begini. Mana Hesa sekarang capek buanget. Pol. Kuadrat! Ciyus dia ingin istirohat!

Hanya saja … satu pesan lagi masuk dari peranakan dajjal itu; berupa gambar. Tak bisa membendung rasa ingin tahu, Hesa membuka gambar itu.

Gambar yang membuat Hesa tepok jidat. Sial. Harusnya tak dibuka saja, karena yah … gambar itu berupa poster acara pentas seni di Universitas M nanti malam. Hesa melihat tema di sana 'persatuan Indonesia'. Entah kenapa feelingnya tak enak. Cepat-cepat Hesa mengetikkan balasan penolakan, dia mau beralasan sibuk atau sesuatunya.

Namun sebelum terkirim, ada pesan masuk lagi.

[[ Wijaya: Makan malam gratis, ada doorprize juga uang tunai dua juta. Gua bisa bikin lu dapetin doorprizenya. ]]

Seketika Hesa menghapus kalimat yang ia ketikkan dan membuat kata baru.

[[ Hesa: K. ]]

Terdiam sejenak, Hesa memikirkan bagaimana cara memanfaatkan situasi dan kondisi. Dia bukannya tak mau pergi main dengan cuma-cuma, tapi dia ingin segera menyelesaikan projectnya dengan klien yang sekarang dia layani sebelum menggarap punya Wijaya. Rencana hari ini sih dia goleran sampai siang sebelum ngebabu demi cuan. Tapi mmm …

[[ Hesa: btw siapin ruangan pribadi buat aku ya. Aku capek bet. ]]

Senyum simpul terbentuk di bibir Hesa membayangkan jika dia bisa menekan orang mengesalkan itu kali ini. Acaranya diselenggarakan di Universitas M, kan? Pasti dia tak punya banyak pow—

[[ Wijaya : Anjeeer. Lu capek ngapain? 4646? ]]

"Oalah. Bangsat. Emang aku otak selangkangan apa?" gerutu Hesa melihat pesan Wijaya. Buru-buru dia membalas.

[[ Hesa : Eyangku kemarin sakit, cok! ]]

[[ Wijaya : Ah. Sorry2. Gua kira lu skidiskidi terus kecapekan. ]]

Hesa memutar matanya. Dah lah. Males banget kalau harus berkomunikasi dengan manusia rambut oren ini. Ngomongin apa, mikirya apa …

Ponsel berlayar retak—terbantingnya dia tempo hari membuat layar mulus hp Hesa terperawani— itu sudah mau diletakkan Hesa dan si empunya sudah mau siap-siap untuk tidur, tapi belum juga dia diletakkan, getaran kembali terbentuk. Nama Wijaya terpampang sekali lagi.

[[ Wijaya : Bisa gua atur lu dapet ruang khusus bersofa empuk tar. Janji lu dateng ya. Kalau enggak, lu gua jemput. ]]

Kerjapan mata Hesa buat. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal setelah membaca pesan yang Wijaya kirim. Hesa tahu Universitas M kagak jauh-jauh amat, dia ngesot ke sana juga sampai. Iya, sedekat itu.

Namun kalau ada yang jemput … dia juga tidak keberatan sih. Hemat bensin, hemat tenaga.

Karenanya, berpikir semua akan menguntungkannya, dia membalas pesan Wijaya itu.

[[ Hesa : K. Aku tunggu.]]

[]

——————

Pojok informasi:

Melepeh (jawa): Memuntahkan apa yang ada di dalam mulut

Pean (sampeyan; jawa): Kamu, tapi lebih halus. (strata kehalusan: koe/koen >> sampean >> panjenengan)

avataravatar
Next chapter