6 03: Hesa's Ordinary Life (c)

'Hes, belum tidur?'

'Hes. Besok jadi, kan?'

'Halo? Moshi-moshi Anata …'

Hesa yang sedang sibuk dengan tumpukan layar dan keyboard di hadapannya hanya melirik sekilas ponsel pintar yang dari tadi bergetar tak karuan. Dari fitur intip, dia bisa tahu siapa yang menghubungi dan iya, pesan beruntun tak jelas terakhir tadi dari satu orang. Dengusan napas dilepas si ikal keras ketika sekali lagi, ada getaran masuk dan pengirimnya masih sama. Kali ini orang itu bicara hal lain. 'Kok nggak bales, Hes? Ada masalah, kah? Aku ke rumahmu ya …' 

Hesa memutar mata jengah melihat kekhawatiran menjijikkan yang diberikan lawan bocaranya. Ia ambil benda mungil itu sebelum bwet! ia lempar ke sembarang arah sampai suara klotak keras terdengar. Namun tak sekalipun pemuda berambut ikal ini melihat kemana hp itu mendarat. Dia hanya memfokuskan perhatiannya pada jajaran layar di depannya dan kembali melarikan tangan di tombol mekanik keyboard. Sesekali dia melirik pada tampilan progress bar yang ditunjukkan laptop barunya, tapi ya cuma itu. Selebihnya si hitam ini bekerja. 

Bekerja? Bukankah Hesa masih semester 5? Dia sudah mencari uang? Sambil kuliah? Bagaimana bisa?!

Heh. Dunia ini tak selalu manis pada semua manusia. Di kasus Hesa, sesuatu terjadi saat dia SMP dan event itu menuntutnya bekerja keras bagai quda sejak SMA atau mati. Semua pekerjaan sudah Hesa jajal sebelum dia ada di posisinya saat ini, sebagai programmer. Halang rintang ia lalui hanya demi sesuap nasi.

Makanya dia tak setuju pemikiran Wijaya yang mengatakan 'uang tak bisa membeli segalanya'. Ha ha. Nggak ada uang nggak bisa makan. Butuh uang untuk memiliki kamar. Bahkan sandang normal pun harus dibeli dengan cuan. Dan 'mereka' adalah kebutuhan primer manusia. Yang primer saja butuh cuan apalagi yang sekunder tersier dll, kan?

Kadang logika orang berada tidak bisa diterapkan pada mereka yang pernah merasakan tak memiliki apa-apa.

Sedang asyik-asyiknya bekerja, bel rumah Hesa berbunyi nyaring. Ting tong ting tong. Hesa pura-pura tak dengar awalnya, matanya masih mengamati baris-baris gabungan huruf, angka dan simbol yang membentuk suatu bahasa pemrograman. Namun sepertinya yang ada di seberang sudah tak sabar. 

Semenit kemudian suara nyaring, "Hesaaaa! Aku reti koen nang njero. Bukak heh! Aku nggowo bakmi! (Hesaaaa! Aku tahu kamu di dalam. Buka oi! Aku bawa bakmi!)" menggelegar dari intercom yang dipasang Hesa tepat di sisi saklar lampu kamarnya. Sekonyong-konyong Hesa menggebrak meja, ia berdiri dengan muka merengut, matanya penuh kilatan emosi ke arah pintu almini buram yang memisahkan kamarnya dengan ruang depan.

"Heesaaaa~ pengen bakmi rak? Bukak pintune pok'o (Hesaaa~ ingin bakmi nggak? Tolong buka pintunya dooong)!"

Mendengar polusi udara di malam hari begini, membuat Hesa meledak. Dia buru-buru berjalan dengan langkah dihentakkan ke ruang depan. Hatinya sudah komat-kamit misuhi Andre. Iya. Yang teriak-teriak tak jelas itu teman sejurusan yang udah plek kayak perangko tapi akhlaknya mines.

"Hesaaaa! Nek gak ndang mbok bukak-bukak tak laporno sat— (Hesaaaa! Kalau nggak segera kamu buka, aku lapor sat—) BRAK!" 

Sebelum Andre membacot lebih banyak dan bikin kemaluan Hesa mengganda, Hesa buka kunci pintu depannya, ia tendang kuat-kuat dia hingga menjeblak keluar dengan keras. Dan yak! Muka Andre auto dicium elpisdoor.

Berkacak pinggang, Hesa berdiri di depan Andre yang mengaduh sambil memegangi hidungnya yang memerah. Geraman meluncur dari bibir Hesa, sambil mendelik ia menghardik Andre, "heh. Edan ta koen bengak-bengok wengi-wengi? Apartemen e mbahmu tah piye iki, cek wenak e mbengok koyok wong gendeng?! (Gila apa gimana kamu kok teriak malem-malem begini? Apartemen eyangmu kah ini kok enak banget jejeritan kek orang gila?!)"

Andre meringis mendengar Hesa mendesis-desis begitu. Tentu itu membuat Hesa jadi kesal sendiri. Dia menggeram sekali lagi sebelum menarik keras telinga Andre, menjewer. "Kok malah seneng, koen heb (kok kamu malah seneng)? Aku lho nesu iki, nesu, cok (aku marah ini, marah)," katanya dengan suara  rendah sembari memutar daun telinga Andre, membuat si empunya mecicit, "atatatah, sakit Hes, sakit."

Namun Hesa menjadi Hesa, dia pandai mengontrol emosi. Tak lama dia menjewer Andre, cukup 15 detik dan sudah. Dia melepaskan lelaki menyedihkan itu dan bersedekap. Dari cara dia melipat tangan dan sedikit mendongakkan kepala, Andre tahu Hesa menunggu dia menjelaskan situasi. Maksudnya, membeberkan alasan mengapa dia kemari.

Gercep, Andre berdiri tegak. Kemudian tanpa dipersilakan, dia neloyor masik ke dalam apartemen Hesa. Dia tak peduli dengan ekspresi WTF lelaki yang dua tahun lebih tua darinya itu, yang jelas Andre mempersilakan dirinya masuk dan menunggu Hesa di dalam.

Untungnya, pemilik rambut ikal itu tidak rewel dan mengikuti alur yang ada. Dia pun menutup pintu dan menguncinya sebelum bertanya, "terus?" sinis sekali nada itu, ditambah mata coklat di sana tajam menusuk. Andre hanya bisa tertawa garing dan mengalihkan pandang dari tatapan yang mengatakan 'ganggu ae koen iki. Ndang ngomong lapo koen mrene terus muleh o (gangguin orang saja kamu ini. Cepat katakan tujuanmu kemari lalu pulanglah)!' sembari menjulurkan tangannya yang menjinjing tas kresek hitam. "Bakmi," kata si rambut cepak itu seraya melirik Hesa sesekali dari ujung matanya.

Yang diberi bakmi hanya menaikkan dua alisnya. Ia menyambar kresek itu kemudian berjalan ke rak piring di dekat sink. Bentukan apartemen yang Hesa tempati memang habis pintu langsung masuk ke dapur. Hm, lebih tepatnya di sisi kanan dapur dan mesin cuci sedang di sisi kiri kamar mandi. Ruangan ini berbatasan langsung dengan kamar, tetapi ada pintu almini berkaca buram yang memisahkan mereka. Kamarnya lumayan besar, setidaknya Hesa bisa membuat ruang kerja di depan lemari tanam dan area bersantai nonton tv yang langsung lurus dengan pintu.

"Koen piye Ndre (kamu bagaimana Ndre)?" Hesa bertanya pada temannya yang dari tadi berdiri sambil garuk-garuk tengkuk dan memandang ke arah lain itu. Maksud pertanyaannya simpel, dia ingin memastikan temannya ini sudah makan atau dia harus berbagi makanan.

"Sans. Aku wes kok. Karo arek-arek (Aku sudah kok. Sama yang lainnya)." Di sini Andre mulai bisa memandang Hesa. Kekesalan yang tampak di manik cerah pria berambut ikal yang sekarang dikuncir hingga menyerupai ekor tikus itu sudah tak kentara.

Hesa tertawa kecil mendengar penuturan Andre. Dengan bungkus bakmi di atas piring dan sambil mengemut sendok—yang sudah ia pakai untuk mecicip—Hesa menyambar gelas dan membuka kulkas. Ia tuangkan air infusan lemon, sebelum santai dia melenggang menuju pintu almini. 

"Ah! Aku bukakan!" Andre yang melihat tangan Hesa penuh, buru-buru menghampiri lelaki itu dan membukakan pintu perbatasan di sana. Dia tersenyum manis saat melakukan ini. Agaknya dia bahagia sekali bisa berguna sedikit saja.

Yang dibantu tak berkomentar. Dia hanya memandang si cepak sebentar sebelum masuk ke kamar dan lurus ke meja kerjanya. Baru setelah dia meletakkan piring pun gelas di meja, ia memberi tahu Andre yang berdiri di ambang pintu, "Snack di tempat biasa, ambilen nek mau (ambil aja kalau mau)."

Andre tersenyum lebar. Dia auto balik ke dapur dan membuka pintu kitchen set bagian kanan yang bersisian dengan cooker hood (penghisap asap) di atas kompor. Seperti rumahnya sendiri, ia mengambil toples berisi makaroni. Tak hanya itu, dia membuka kitchen set lain, mengambil toples kosong dan beberapa bumbu sebelum menyuntak sebagian makaroni ke sana, menambahkan bumbu lalu kocok kocok kocok.

"Heeees, mau rasa apa?" tanyanya sambil berteriak. 

"Barbeque!" jawab suara dari kamar yang kentara sekali sambil mengunyah.

Andre tersenyum dan mengambil botol lain, melakukan hal serupa. Dia melirik ke dalam, ke arah punggung yang kini menghadap deretan layar dan tampak serius itu. Hatinya berdebar, dia merasa bersyukur bisa datang ke sini meski awalnya kacau balau dan Hesa uring-uringan.

Sejak sore Hesa sedikit aneh. Dia tampak memikirkan sesuatu. 

Mengerti tipikal Hesa, Andre tahu dia tak akan cerita padanya. Dan paham kebiasaan Hesa, dia juga tahu lelaki itu akan tenggelam pada kerjaan untuk menghilangkan overthinking. 

Karenanya, Andre ingin membantu.

Sedikit saja tak apa. Tapi dia ingin memastikan Hesa-nya baik-baik saja.

[]

avataravatar
Next chapter