webnovel

unSpoken

Hanny_One · Teen
Not enough ratings
42 Chs

BAB 17 : 'Dia Dokter?'

Senin pagi. Didepan cermin liana berhias. Ia merias wajahnya sedikit berbeda dari biasanya. Dia memakai kan lipstick berwarna cerah hari ini. Dengan rambut yang diurai dan di rol pada bagian ujungnya. Liana Yang biasanya dengan malas memoles bedak hari ini begitu semangat. Kemeja berwarna nude hari ini. Sungguh menawan. Nampak serasi dengan warna kulitnya yang cerah.

Sepertinya tidak bisa dipungkiri bahwa dia berharap akan bertemu marcel hari ini. Dia bersiap dengan kemungkinan itu,dan tidak inggin terlihat biasa saja dihadapannya. Sepertinya dia mulai menggoda,atau mungkin dia mulai merasa suka pada bos nya itu. entahlah! Hatinya hanya inggin terlihat cantik dihadapan marcel.

. . .

Lift terbuka,liana melangkah masuk. Diluar terlihat marcel berjalan kearah lift bersama pak handoko. Liana menunggu. Dan berusaha mengatur ekspresinya yang girang. Jantung nya berdegup kencang saat marcel melangkah masuk. Ia berdiri disamping liana.senyum tipis tergambar pada wajahnya.

"kapan kau akan memencet tombol lift nya?" Marcello bertanya pada liana

"hah?" liana tersadar dari lamunannya. "oooh..maaf,hehehe" liana Nampak canggung

Marcel memandang liana. Wajahnya yang dipoles make up membuatnya berbeda,menarik perhatian marcel untuk memperhatikannya. Wajahnya yang tanpa make up pun sudah cantik,bibirnya yang tanpa lipstick pun sudah merah. Dipoles seperti itu membuatnya Nampak lebih cantik. Marcel mengeluarkan saput tanggan. Menyodorkan nya pada liana. Liana binggung dan ragu mengambilnya.

'untuk apa saput tanggan' batinnya

Belum sempat liana bertanya. Marcel mengangkat dagu liana. Menatap matanya,lalu bibirnya. Memajukan wajahnya mendekat pada bibirnya. Liana sontak memejamkan mata. Lalu terasa sentuhan lembut pada bibirnya. Liana membuka matanya. Marcel sedang menghapus lipstiknya. Pak handoko menutup mulutnya menahan tertawa geli,melihat tuannya.

Lift terbuka.

"ini,lanjutkan. Bersihkan sendiri. Jangan memakai lipstick merah lagi." Marcel berlalu pergi

Dengan bersunggut-sunggut liana berjalan keluar dari lift. Sambil menatap punggung marcel pergi. Ia melap sisa lipstick pada bibirnya.

'terserah aku mau pakai lipstick warna apa. Ini bibir ku. Milik ku. Dasar tukang suruh' liana membentak marcel dengan hatinya.

Sedangkan marcel didalam ruangannya mengendorkan dasinya yang terasa mencekik. Ia bertumpu pada meja dengan satu tanggan,dan tanggan yang lain menutup wajahnya.

'hah…liana,kau benar-benar membuatku gila. Bagaimana bisa melihat bibir nya membuat ku panass dingin.sepertinya ada yang salah dengan otak ku akhir-akhir ini.'

Marcel mengeluarkan ponselnya. Menelpon seseorang.

"halo pak marcel. ada yang bisa saya bantu"

"aku akan kesana siang ini. Buatkan janji dengannya."

"tapi dokter williamnya sedang . . .

Tut… marcel menutup ponselnya sebelum wanita diujung sana sempat menyelesaikan kata-katanya. Dia sungguh tidak suka kata 'tapi'.

Tok…tok…tok…

"masuk" jawab marcel

Reza masuk dengan.

"kau dapat infonya?" marcel bertanya serius

"ia," jawab reza sama seriusnya

"katakana dengan cepat,aku 15 menit lagi ada rapat." Jawab marcel sambil melihat jam tanggannya.

"dia ternyata juga bekerja disini. Dibagian yang sama dengan liana. Namanya Rian Setiawan. Hubunggan mereka dekat sebelum kejadian itu. tapi setelah kejadian malam itu sepertinya liana menghindarinya. Aku belum tahu sebabnya dia menghindar,tapi kemungkinan besar liana sadar ada sesuatu yang salah pada minumannya malam itu. dan kemungkinan dia curiga dengan rian. Apa yang akan kau lakukan?"

"aku inggin marah padanya. Tapi jika bukan karena dia aku tidak akan bertemu liana. Jadi aku memaaf kannya. Aku juga senang karna liana tidak berhubungan lagi dengannya. Tapi untuk menghindari hal kejadian yang sama aku tetap akan memindahkannya kecabang perusahaan kita yang lain. Aku takut dia mencoba untuk menjebak liana lagi."

"baiklah,itu terserah kamu. Tapi marcel…" wajah reza berubah lebih serius dari sebelumnya "aku menemukan hal lain yang cukup mengejutkan dari sosok liana"

"ceritakan!" marcel membenarkan duduknya

"kau sudah tahu bukan ayah liana sudah meninggal,tapi ibunya sebenarnya belum meninggal. Tapi berganti nama dan menganti identitasnya. Saat ini dia sedang berada di amerika. Tinggal disana dengan suami barunya. Tapi sepertinya dia akan pulang minggu depan."

"lalu?"

"liana bukan seorang disabilatas,dia bisa berbicara normal. Dia hanya tidak mau berbicara" reza memperhatikan ekspresi marcel yang tidak berubah, "ternyata kau sudah tahu?" lanjutnya

"Mmm" marcel meangguk ringan

"baiklah itu saja yang aku sampaikan,aku pergi sekarang" reza berbalik badan akan keluar

"za,bisakah kau cari lebih banyak kisah masa kecil liana. Mungkin aku akan tahu alasannya tidak inggin bicara selama ini."

"aku rasa itu tidak sulit jika kau memang inggin. Tinggal cari lelaki yang namanya Alvin itu saja,dia kan kenal liana dari kecil"

"lelaki itu? tidak aku berharap tidak akan bertemu dia lagi. Jika sampai ketemu bisa-bisa aku akan melayangkan tangan ku padanya" marcel menaikan nada suaranya. Dia teringgat saat liana berada dalam pelukan laki-laki itu.

"hahaha…aku kan hanya memberi saran"

. . .

marcel keluar dari mobil. Berjalan masuk. Dia melewati lorong-lorong itu dengan santai. Sepertinya dia sudah hafal jalan rumah sakit itu. Dia tidak memperdulikan mata para suster dan dokter wanita yang memandanginya. Ada beberapa dari mereka yang memberanikan diri menyapa,tapi sungguh marcel tidak perduli. Dia terus berjalan. Dan bagi para pengunjung dan pasien disana melihat marcel saat ini adalah obat mata yang mujarab. Wajah nya sungguh memikat. Tubuhnya nya tinggi besar sungguh seksi. Otot-otot yang tersembunyi dibalik kemeja dan jasnya itu Nampak membentuk tubuh itu makin indah. Bisa terbayang dari bidangnya dada,dan besarnya lengannya. Uuuuhhh….sexsi.

"HAH? Itu pak Marcello. Bagaimana ini?" dua orang suster Nampak terkejut marcel datang

"sepertinya dia tidak membaca pesan yang ku kirim"

"cepat bilang sana"

"baiklah"

"selamat datang pak Marcello" ia menyapa marcel saat marcel sampai didepan ruangan yang dia tuju

"mmm…" marcel dengan anggukan kepala

"dokter micael nya sedang …" tidak sempat dia menghabiskan kata-katanya marcel sudah membuka pintu dan masuk kedalam.

Suster itu memandang temannya. Tampak menyesal tidak sempat memberi tahu marcel. temannya menepuk pundaknya.

"sudahlah biarkan saja"

"tapi bagaimana jika dia marah nanti? Habis lah aku" suster itu Nampak ketakutan

"kau kan sudah mencoba memberi tahunya berkali-kali tapi dia nya saja yang tidak mau mendengarkan. Jadi kau punya alasan saat dia nanti keluar dan memarahi mu" suster lain mencoba menghibur

. . .

Sedang marcel yang sudah berada didalam ruangan itu nampak terkejut melihat orang yang duduk dikursi dokter. Seorang dokter muda duduk disana. Dia kenal wajah itu,wajah yang membuatnya geram kemaren minggu. Sedangkan dokter muda itu tersenyum melihat marcel.

"aku mengantikan dokter Micael hari ini" jelasnya "ayo duduk" dengan ramah dia mempersilahkan marcel duduk

Dengan berat hati marcel duduk. Dia sudah terlanjut masuk kesini. Dia tidak inggin malu dengan keluar begitu saja tanpa basa basi.

'sial' umpatnya pada diri sendiri. Karena orang yang paling tidak inggin ditemuinya saat ini duduk didepannya sebagai seorang dokter.

'padahal aku sudah berjanji pada reza akan memukul wajah orang ini ketika kami bertemu lagi,tapi jika posisinya seperti ini tidak akan bisa'

Alvin! Dokter penganti itu Alvin. Dia seorang psikiater. Dia bekerja dirumah sakit ini sekarang setelah selesai melanjutkan sekolah nya sebagai seorang spesialis.