webnovel

Ketenangan Yang Terusik

Kedua mata Acacia masih terus mengerjap kebingungan sambil sesekali melirik ke arah sekitar, mengawasi apakah ada yang melihat ke arahnya. Kali ini ada tujuan apa Gavin menemuinya? Acacia sangat heran sampai rasanya sedikit muak.

Masalahnya, manusia satu ini yang mencekal pergelangan tangannya adalah Ketua BEM, bahkan fans-nya dikalangan mahasiswi sangat banyak. Acacia bingung, mengapa orang seperti Gavin mendadak jadi berurusan dengannya? Padahal sebelumnya, mereka tidak ada alasan untuk saling bertegur sapa.

Memikirkan semua praduga yang memungkinan terjadi, kepala Acacia rasanya sangat berat dan pening sekali.

Acacia sedikit menautkan alis, menatap Gavin agak lama, kemudian kembali melihat ke sekeliling. "Kaka ngapain lagi, sih? Gimana kalo ada yang lihat? Habis nanti aku diterkam fans Kaka yang brutal itu!"

"Saya perlu bicara sama kamu, Aca."

Acacia menggeleng sambil mengatur deru napasnya yang memburu. Sungguh, ia sangat ingin ke kamar mandi terlebih dahulu saat ini. Rasanya sudah sangat di ujung, ia tak sanggup bila menahan untuk buang air kecil lebih lama lagi.

"Enggak bisa, Kak. Aku haru---" Ucapan Acacia terpotong karena Gavin menyelanya.

"Kenapa, sih? Kamu selalu hindarin saya bahkan sejak awal semester? Saya salah apa sama kamu? Sekarang saya mau bicarakan hal yang penting, tetep enggak bisa? Kamu tetep mau nolak?!"

Sekejap Acacia tertegun, ia tidak menyangka Gavin akan berbicara sepanjang itu padanya. Namun, keterkejutan Acacia tak bertahan lama kala ia melihat beberapa mahasiswa maupun mahasiswi sedang berbisik-bisik sebab Gavin tadi berbicara dengan nada suara yang lumayan tinggi.

Acacia menghembuskan napas berat sambil menggeleng lesu. "Tamat riwayatku," gumamnya putus asa.

Gavin mengernyitkan dahi karena kebingungan sendiri akan ucapan Acacia, ia tidak paham pembicaraan Acacia ini ke arah mana.

"Maksud kamu apa, Aca?"

Acacia menghempas kasar tangan Gavin yang mencekalnya, ia lalu membasahi bibir bawahnya dan berkata, "Oke, kita bicara nanti setelah aku ke kamar mandi. Tapi please ... jangan tanya yang macam-macam dulu, aku udah enggak kuat mau buang air kecil ini!" teriak Acacia frustasi.

Gavin mengusap-usap kepala belakangnya tak tentu arah karena salah tingkah sebab sudah salah paham pada Acacia, ia kira tadi Acacia hendak menghindarinya. Namun, nyatanya Acacia ada alasan lain. Gavin lalu mengangguk pelan sambil memalingkan wajah ke arah lain karena malu.

"Ka," panggil Acacia membuat Gavin kembali menatapnya. "Aku rasa kalo emang penting banget kita bahas nanti aja kalau matkul Pak Jamal udah selesai, soalnya sebentar lagi aja kelasnya mulai. Enggak papa, 'kan?"

Gavin mengangguk sambil tersenyum. "No problem, Aca. Kalau gitu nanti Kaka hubungi kamu lagi."

"Iya, Ka."

Tepat setelah mendengar jawaban Acacia, Gavin segera pergi meninggalkan Acacia sendirian. Namun, ketika melihat punggung Gavin yang semakin menjauh dari pandangan, Acacia seketika diterpa oleh kebingungan.

"Tunggu ... Ka Gavin bilang mau hubungi aku? Emang dia punya nomor aku?" tanya Acacia heran pada dirinya sendiri. "Ah, masa bodoh! Mending aku cepet ke kamar mandi sekarang!" teriaknya lalu segera masuk ke toilet perempuan.

***

Suasana pagi, hari ini cukup ramai. Beberapa orang tampak sibuk membawa tumpukan buku atau bahkan sekedar mengobrol ringan bersama teman-temannya. Puas mengamati sekitar, Kenzo lalu memutuskan untuk masuk ke dalam kelas.

Namun, seketika Kenzo terdiam membisu kala mendengar bisik-bisik dari arah koridor sebelah kanan. Tak ingin bertindak gegabah, Kenzo memilih agar mereka segera menyelesaikan pembicaraannya, baru ia nanti masuk ke dalam ruangan.

"Lo serius? Lo liat Acacia sama Ka Gavin di depan toilet perempuan?!"

"Iya! Mereka kayanya lagi bahas hal yang penting gitu, cuma ngomong tentang apanya gue enggak tahu. Soalnya gue lumayan jauh posisinya dari mereka tadi."

"Ngomongin apa, ya, mereka kira-kira? Apa jangan-jangan Acacia ada hubungan sama Ka Gavin?"

"Enggak mungkin, lah! Acacia itu kan pacarnya Kenzo!"

Kenzo terhenyak oleh perkataan kedua mahasiswi yang baru saja melewatinya. Emosinya mendadak muncul, rasa cemburu membakar tubuhnya sampai-sampai Kenzo benar-benar merasakan panas.

Namun, Kenzo berusaha tenang. Kali ini dia akan membuat perhitungan yang matang untuk membuat Acacia mengerti posisinya, bahkan membuat Gavin untuk paham dan tidak ikut campur pada urusannya.

"Argh ... bangke! Gue kesel banget sama Gavin! Sampai kapan, sih, dia mau ngurusin kehidupan gue terus?!" gumam Kenzo penuh penekanan. Sebab, ada suatu hal yang membuatnya dengan Gavin memiliki benang merah penghubung.

Saat kakinya sudah melangkah masuk, pandangan Kenzo langsung tertuju pada Acacia yang sedang tertawa bersama kedua sahabatnya. Harapan Kenzo harus pupus, yaitu ingin duduk di sebelah Acacia. Sialnya, kursi tersebut sudah diisi oleh Karina.

"Liat aja nanti, aku akan buat perhitungan sama kamu, Aca."

Setelah menggumamkan kalimat tersebut, Kenzo memilih duduk di kursi belakang Acacia yang kebetulan masih kosong.

Menyadari keberadaan Kenzo, bahu Acacia kian terasa berat sebab nyalinya mendadak ciut sendiri. Ia tidak suka perasaan resah ini, seolah ada semacam kekhawatiran yang menyelinap di dalam hati.

Acacia melirik ke arah Karina sambil memegang ujung baju sahabatnya itu dengan perasaan cemas. "Kar ...."

"Jangan takut, Ca. Inget ... aku sama Bisma ada di sini." Karina berusaha menenangkan sambil mengelus bahu Acacia.

Bisma yang duduk di sebelah meja Acacia mengangguk. "Karina bener, enggak ada yang perlu kamu takuti sekarang."

Mendengar percakapan itu, tawa Kenzo pecah. Ia bahkan memejamkan mata sambil memegang perutnya sendiri karena gelak tawanya yang tidak bisa terkontrol. Entahlah, ia merasa lucu saja bahwa Bisma dan Karina berusaha menenangkan Acacia.

"Ah ... jadi kalian berdua udah tau, ya?" ucap Kenzo sambil terkekeh dan mengangkat salah satu alisnya ke atas. "Emang kamu enggak malu, Ca? Menceritakan aib sendiri pada kedua sahabat kamu? Uhh ... aku jadi kamu, sih, malu."

"Jaga omongan lo, Kenzo! Seharusnya lo yang malu di sini karena maksa Acacia padahal dia enggak mau!" lirih Bisma penuh penekanan. Ia sengaja tidak berkata keras agar aman.

Kenzo menendang-nendang kursi belakang Acacia sambil menyeringai dingin. "Gue? Malu? Sayangnya enggak, tuh," jawab Kenzo cuek.

BRAK!

Suara jatuhnya meja membuat semua mahasiswa maupun mahasiswi yang ada di kelas mengarahkan atensi mereka kepada Bisma dan juga Kenzo. Mereka berbisik-bisik karena merasa aneh sebab Bisma dan Kenzo sedang terlihat berselisih, pasalnya Acacia kini diam saja sambil menunduk bahkan tidak melerai.

"Gue kasih peringatan sama lo, jangan melampaui batas atau lo bakal gue kasih pelajaran!"

Kenzo menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil bersedekap dada menatap Bisma angkuh. "Waduh ... gue takut banget, nih!" seru Kenzo dengan wajah memelas yang dibuat-buat.

Air mata Acacia kini meluruh, ia semakin takut Kenzo mengatakan pada semua orang apa yang sebenarnya terjadi. Acacia tak sanggup, ia benar-benar khawatir pada keadaannya ke depan nanti bagaimana.

"Lo ...!" Bisma menunjuk Kenzo sambil menatapnya tajam. "Bener-bener sampah yang enggak punya perasaan! Lo itu hina, Ken!"

Tidak terima dengan perkataan Bisma, Kenzo menggebrak meja dan segera berdiri. Ia mencengkram kerah baju Bisma sambil mengeraskan rahangnya. "Lo bisa diem, enggak? Jangan banyak bacot jadi cowo!"

"Ngaca! Lo itu yang banyak bacot!" seru Bisma tak mau kalah.

Kesabaran Kenzo kini sedang ada di ambang batas, ia lalu bersiap-siap hendak melayangkan pukulan pada wajah Bisma. Akan tetapi, teriakan Acacia terdengar hingga membuat Kenzo menggagalkan niatnya.

"DIAM KALIAN BERDUA! TERUTAMA LO, KENZO!"