webnovel

Chapter 39

"Aku ada di mana …"

Tiecia bertanya-tanya di mana dirinya sekarang. Seperti dia sedang melihat sebuah pemandangan alam yang tidak biasa. Langit cerah berwarna biru laut, silih bergantian ke warna gelap. Anehnya, tidak ada hewan seperti burung melintas di sana kecuali partikel merah mengelilinginya. Tiecia mengaku terkesan dengan tempat itu. Gadis berambut pirang berjalan menapaki tanah yang melayang. Hembusan angin kencang ke arah dirinya. Tiupan tidak ada hentinya, membuat suasana hati dia menjadi tenang. Pohon-pohon berdiri kokoh walau tertiup angin. Tiecia menoleh sekitarnya. Bertanya-tanya mengenai partikel warna merah tersebut. Di mata dia, terlihat tidak asing. Area sekitarnya juga terkena dampaknya. Sebuah jalan terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Di bawah awan, terdapat ribuan penyu berenang bersama.

"Tempat apa sebenarnya ini?"

Tiecia menoleh sekitarnya. Tongkat sihirnya tidak dia pegang. Telapak tangannya dia cek satu persatu. Tetapi tidak ketemu. Entah bagaimana, tongkat sihir miliknya menghilang entah ke mana.

"Halo!" teriak Tiecia.

Namun, tidak ada yang merespon. Ribuan penyu masuk ke dalam area. Tepat dari bawah awan menukik ke atas. Tiecia dikelilingi ribuan ekor penyu terbang. Aneh karena tidak ada lautan di sekelilingnya. Mulut gadis berambut pirang terbuka. Lalu, ribuan penyu itu menghilang saat berada di tengah langit. Tiecia syok melihat pemandangan tersebut.

"Ke mana perginya mereka?" gumam Tiecia.

Gadis itu sendirian di dalam sana. Tidak ada hewan manapun kecuali pohon berdiri tegap tanpa roboh. Tumbuh sebuah apel berwarna merah mengkilap. Perlahan tapi pasti, buah apel mulai berjumlah puluhan secara kilat. Bening tanpa adanya cacat sedikit pun. Tiecia mencoba untuk memakannya. Rasanya enak dan gurih digigit. Berulang kali dilakukan hingga tidak menyisakan sedikit pun. Dia berjalan ke arah berlawanan. Getaran yang cukup membekas, terpampang sebuah peradaban yang tidak biasa. Banyak sekali lentera terpasang tiap sudut. Saat melangkah di sana, pohon itu menghilang tanpa jejak. Tetapi, Tiecia tidak mempedulikan hal itu. Selangkah demi selangkah, jalan setapak sudah berbeda. Tidak ada lagi rerumputan atau bebatuan. Hanya sebuah medan gravitasi mengapung di antara awan. Karena penasaran, Tiecia melangkah. Mencoba untuk melangkah dengan hati-hati. Gadis berambut pirang menatap penuh pemandangan yang dipenuhi lentera. Selama dirinya berjalan, jembatan melengkung dengan ikan koi atau ikan besar berenang, menanti kehadiran seseorang.

Suara violin dimainkan begitu merdu dan derasnya ombak lautan di tengah awan. Tiecia menyeberangi jembatan. Berusaha masuk ke dalam sebuah kota. Saat hendak masuk ke sana, tidak ada seorang pun yang mencegah Tiecia. Hanya diam mematung tanpa bersuara. Gadis berambut pirang tidak bisa menyembunyikan rasa syok yang dialaminya. Tiecia masuk ke dalam dengan mengucapkan permisi. Suara merdu violin kembali diiringi berupa alat instrumen lainnya.

"Tempat apa ini?" ucap Tiecia berulang kali.

Di saat langit memunculkan sebuah partikel saraf berwarna merah di atas, tidak ada seorang pun yang terganggu dengan hal itu. Orang-orang berlalu lalang untuk melakukan transaksi jual-beli. Entah dalam bentuk pakaian, makanan, bahan pokok hingga menjual senjata sekali pun. Di antara mereka, ada seorang anak kecil dengan riang melewati hiruk pikuk orang. Asik bermain sesamanya. Tiecia berjalan melewati orang-orang. Meneriakkan barang yang dijualnya. Tidak tahu berapa harganya lantaran bahasa yang digunakan berbeda dengan bahasa sehari-hari. Saat Tiecia ingin menyentuh pundak seseorang, telapak tangan kiri menembus tubuhnya. Kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka lebar.

"Selamat datang, selamat datang! Beli buah-buahan! Masih segar dan enak untuk dikonsumsi jangka lama!"

"Hei! Ayo beli kuda laut! Harganya terjangkau lho!"

"Lentera kalian sudah habis? Mampir kemari ya! Barang ini masih tersegel oleh seorang ahli sihir terhebat! Apalagi, ada tulisan Yang Mulia Nesseus lho!"

Satu persatu penjual menawarkan dengan kualitas atau harga murah. Tiecia mengaku terkesan dengan barang-barang yang dijual. Hingga ada penjual mengatakan kuda laut. Dia menghampiri ke tenda kecil menjual makhluk itu. Gadis berambut pirang mengelus-elus kepalanya. Anehnya, dia dapat menyentuh kepalanya. Kasar, berwarna coklat muda dipadu dengan bintik-bintik warna emas maupun merah. Di punggungnya, puluhan ribu kulit menegang saat disentuh. Tiecia tersenyum tipis. Tatapan sayu dari seekor kuda laut kepada gadis berambut pirang. Tiecia menoleh ke sekitarnya. Penjual hewan kuda laut tidak menyadari dirinya. Meringkik sembari bersin di depan Tiecia.

"Apaan sih? Geli tahu!" katanya tersenyum lebar.

Ekspresi dari Tiecia tertuju pada seorang laki-laki pembawa tongkat sihir. Mengenakan topi runcing abu-abu. Jubahnya memiliki warna serupa dengan topi dan janggutnya memanjang. Ekspresi wajahnya menegang pertama kali bertemu. Menyambar ke arah Tiecia. Kedua bola matanya bertatap muka dengannya. Berwarna hijau muda dan memiliki hidung mancung. Berjalan selangkah lebih lambat dari manusia umumnya.

"Halo …"

"Halo kurasa?"

Pria tua berjanggut berjalan menembus orang-orang tanpa kecuali. Serasa mereka itu bukan bagian dari dirinya. Dia menghampiri Tiecia. Menatapnya dengan kebingungan. Jemarinya menyentuh wajah Tiecia. Telapak tangan kasarnya menepuk pipi, pelipis hingga bibirnya. Tiecia meresponnya berupa langkah mundur ke belakang. Kedua mata yang sempat melotot, kembali menyipit. Badan pria tua itu sedikit membungkuk. Menyentuh setiap kali orang itu sentuh, terkecuali bagian sensitif. Tiecia meresponnya dengan tepisan tangan cepat.

"Maafkan aku. Sejujurnya, aku tidak pernah kepikiran sampai harus bertemu dengan orang lain selain diriku."

"Memangnya anda sendiri siapa? Dan kenapa anda berpikir sendirian?"

"Soal itu …"

Pria tua itu melepaskan topi bundarnya. Menyunggingkan senyum ke arah Tiecia. Gadis berambut pirang memiringkan kepalanya.

"Namaku Amadeus Kydwelly. Seorang penyihir tertua sekaligus rekan dari pahlawan 150 tahun lalu, Nesseus."

Sementara itu, Kiyoyasu terus memejamkan kedua matanya. Saat burung raksasa mendekatinya untuk selamatkan sesamanya, dia membuka kelopak matanya. Sorotan tajam ke arah sana.

"Muramasa-ba Technique Style!"

Saat itulah, pedang Odachinya berayun dengan cepat dan rapi. Memotong kepalanya sampai bersih. Reynold dan Issac terbelalak kaget dengan aksi yang dilakukan Kiyoyasu. Tidak ketinggalan, iblis itu melotot tajam sembari meneteskan air liurnya. Pekikan burung raksasa terlontar sangat panjang. Dia melompat, menghampiri Kiyoyasu. Saat itulah, kedua pihak saling bertarung satu sama lain. Tebasan kuat dari pedang odachi, nyaris mengenai iblis itu. Akan tetapi, pergerakannya semakin cepat. Hingga pedang odachi miliknya tidak mampu mengimbanginya. Cakaran yang dilakukan iblis berahang dua itu menyemburkan energi sihir kegelapan. Kiyoyasu melompat ke belakang secara akrobatik. Dia terjun bebas kembali. Jaraknya tidak begitu dekat. Kiyoyasu mengecilkan sekaligus mengubahnya dalam bentuk katana. Genggaman erat dari kedua telapak tangannya. Berniat untuk menyerang balik.

Iblis membuka mulutnya, mengeluarkan suara menggema yang memicu segerombolan burung menjadi waspada. Kiyoyasu mengayunkan secara vertikal. Bersiap untuk menyerang berulang kali. Iblis mengeraskan tubuhnya. Mencakar berkali-kali. Nyaris mengenai Kiyoyasu. Baju zirahnya terus melindungi dirinya. Tetapi sadar bahwa bertahan bukanlah solusi. Energi sihir kegelapan keluar dari pori-pori kulitnya. Bersiap untuk mengayunkan kembali. Tebasan berikutnya disertai kedua kakinya dirapatkan. Iblis menahan serangan dari Kiyoyasu.

Dari kejauhan, Issac dan Ronald dikepung oleh segerombolan troll. Badan besar dengan membawa gada seukurannya. Jumlahnya mencapai lima ekor. Laki-laki berambut perak dan topi bundar hitam dipasang kembali. Tuas pada bagian shotgun ditarik ke belakang. Menarik pelatuk pada salah satu troll. Sedangkan tombak kutukan yang dipegang oleh Issac ditusuk-tusuk. Troll tersebut tersentak kaget dengan serangan tiba-tiba. Belum sampai disitu, pedang gergaji milik Reynold diayunkan secara diagonal. Memotongnya hingga terbelah jadi beberapa bagian. Sedangkan Reynold mendekati Troll. Perutnya berlubang hingga badannya tersungkur ke tanah. Tarikan napas lega dari Issac.

"Issac, apa yang terjadi?"

"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya kita terkepung."

Sebuah anggukan dari Reynold. Mulailah laba-laba meracuni satu persatu Troll di sana. Mengerang kesakitan saat diserang. Reynold mengisi peluru di dalamnya. Memperhatikan Issac berjalan memutar. Mengamati setiap pergerakan yang ada di sekelilingnya. Dia sepertinya tidak ingin berakhir seperti Bullprogi atau bos lainnya. Terlihat posisi menyerang dipasang cukup kuat. Troll di belakangnya mengayunkan gada. Sebuah perisai dari lengan kiri diputar, kedua senjata saling memantul. Wajahnya menyeringai. Elemen kegelapan menyatu dengan tubuhnya. Baju zirah hitam dengan kegelapan pekat dan murni, telah mengintimidasi para troll tersisa. Reynold menghela napas. Merasa kasihan terhadap mereka. Di samping itu, dia penasaran dengan perubahan wujud yang merasuki tubuh Tiecia barusan.