webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568M || 27

Suara senar gitar yang dipetik dengan asal membuat penghuni kamar sebelah merasa terganggu. Tanpa banyak berbasa-basi ia pun langsung mengunjungi kamar sebelah yang terdengar berisik malam ini.

"Dek, udah jam sepuluh lo malah main gitar. Mana mainnya asal-asalan lagi!" Rendi menghampiri adiknya itu yang sedang duduk di atas kasur.

"Gue tuh gabut tau, gak?! Udah si Kak Rendi diem aja!" Rein sedikit mendorong Rendi yang berdiri di dekatnya.

"Lo yang diem! Entar mamih sama papih denger gimana? Lo kena marah gue juga kena. Udah siniin gitar gue!" Mau tak mau Rein memberikan gitarnya kepada sang pemilik aslinya.

"Biasa aja si gak usah ngegas!"

"Lo tuh yang ngegas." Setelah itu Rendi pun keluar dari kamar Rein dan kembali masuk ke dalam kamar miliknya.

Rein menatap ponselnya yang begitu tenang di atas nakas. Hanya satu yang ia harapkan hari demi hari juga malam demi malamnya.

Ting!

Mendengar ada notifikasi yang masuk, Rein pun segera membuka ponselnya dan ...

Sakti: Rein, lo udah tidur? Kalo belum, tidur gih! Entar kesiangan, loh. Kalo lo kesiangan, gue gak bisa liat yang cantik besok. Goodnight.

"Sakti apaan, sih? Eh please, deh." Rein kembali meletakkan ponselnya lalu mematikan lampu kamarnya dan ia pun berusaha untuk segera tidur.

Drrrttt … Drrrttt ….

Rein mendengus sebal dan kembali menyalakan lampu kamarnya yang sudah ia matikan itu ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. "Siapa, sih, malam-malam gini nelpon?"

Setelah ia membaca nama kontak yang tertera, rasa kesalnya pun berubah menjadi sangat senang. Akhirnya Haris menghubungi Rein. Tanpa banyak berpikir panjang Rein langsung mengangkatnya.

Air mata bahagianya jatuh ketika ia menatap wajah yang ia rindukan berada di dalam layar ponselnya. Haris nampak tersenyum sendu ketika ia melihat mata Rein berair.

"Kok nangis? Kenapa, hm?" Haris semakin mendekatkan wajahnya pada kamera ketika ia melihat gadis itu menangis.

"Gak peka ih! Gue tuh kangen banget sama lo tau, gak?! Kenapa lo baru ngabarin sekarang? Kenapa HP lo baru aktif? Lo tau gak, sih? Di sini gue terus khawatirin lo. Lo berasa kek ngilang gitu hancur tau gak hari-hari gue? Jangan kek gitu lagi, please. Gue gak mau!" Rein menyerang Haris dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan itu.

"Iya Sayang maaf, ya. Gak ada maksud sama sekali buat bikin lo khawatir. Sumpah ini baru sempet. Maaf, ya?" Haris memberikan senyum lembutnya pada Rein.

"Lo ngapain aja di sana sampe baru sempet ngabarin gue kek gini?" Haris terdiam sejenak sebelum ia menjawab pertanyaan Rein yang itu. Rein dapat melihat wajah Haris yang tiba-tiba saja berubah menjadi sedih. "Haris kenapa? Kok jadi sedih gitu sih mukanya?

"Mama sempet drop di sini, Rein. Tapi syukur sekarang udah baikan. Ya pokoknya suasana keluarga lagi kacau lah." Rein menyeka air matanya dan ia tersenyum lembut pada Haris. Haris sedang bersedih saat ini, ia harus menyemangatinya.

"Ris, alasan kalian pindah ke Hong Kong itu apa, sih?"

"Papa punya sahabat di sini dan sahabatnya itu yang bakal bantuin kita. Rencananya papa mau bangun perusahaan baru, nanti bakal dibantu sama sahabatnya itu."

Rein mengangguk mengerti. "Oh, gitu. Gue doain semoga semua masalah dapat diselesaikan dan apapun yang diharapkan bisa segera tercapai."

"Iya, aamiin. Udah makan belum? Jangan sampe telat, ya. Entar lo sakit guenya gak bisa ada di samping lo."

"Udah, kok. Cuma gue lagi kekurangan sesuatu." Rein sedikit mengerucutkan bibirnya yang membuat Haris semakin memfokuskan dirinya pada Rein.

"Kekurangan apa?" Haris menunjukkan ekspresi penasarannya sedangkan Rein malah tersenyum jahil ke arahnya.

"Kekurangan kasih sayang dari lo." Mendengar itu Haris langsung sedikit tertawa. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya jika itulah yang akan diucapkan oleh Rein.

"Ya udah sini disayang dulu!"

"Disayang dari jauh? Miris banget anjir."

Haris terkekeh mendengar umpatan dari Rein. "Iya yang sabar ya, Cantik? Entar juga gue pulang, kok. Mending sekarang lo tidur, ya? Udah malam, nih."

"Ihh kok tidur? Kan baru aja liat Haris. Gak mau tidur dulu pokoknya!" Rein menolak apa yang diperintahkan Haris padanya. Ia tidak menerima kabar dari Haris beberapa hari tapi kenapa harus sebentar untuk melepaskan kerinduannya? Ia merasa tak adil jika harus seperti itu.

"Besok ditelpon lagi, Sayang. Sekarang tidur, ya? Coba lo simpen handphone lo  deket muka, biar gue temenin lo sampe tidur." Akhirnya Rein mengalah saja dan ia melakukan apa yang Haris katakan padanya.

Rein menyandarkan ponselnya pada guling dan menyorotkannya pada wajahnya. "Bayangin aja gue ada di samping lo sekarang."

"Gitu? Ih gak bisa bayangin."

"Bayangin aja ayo! Tidur, ya?" Rein mengangguk dan dia pun perlahan memejamkan matanya. Awalnya begitu susah untuknya, namun lama-kelamaan akhirnya ia benar-benar terlelap.

"Rein?"

Tidak ada jawaban dari gadis itu dan hanya terdengar suara dengkuran halusnya saja. Haris tersenyum melihatnya dan ia terus memperhatikan wajah cantik Rein yang sudah tertidur itu.

"Mimpi indah Cantiknya gue." Haris memutuskan sambungannya setelah Rein sudah terlelap dalam tidurnya.

"Bang Haris?" Haris melihat ke arah adiknya yang terbangun. "Bang Haris nelpon kak Rein?"

Haris hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Haikal. "Lain kali ajak gue, dong."

"Kenapa?"

"Gue juga kangen sama Kak Rein." Haris menimpuk pelan adiknya dengan bantal.

"Enteng lo ngomong, ye. Kangen kangen!"

"Kangen calon kakak ipar maksudnya." Haikal terkekeh setelah ia mengatakan itu pada Haris. "Udah, tidur lagi lo! Malah cengengesan."

• • •

Rein mengantungi ponselnya dan ia langsung pergi ke sekolah seperti biasanya. Saat dia berjalan di koridor, ia terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pelan punggungnya dari belakang.

"Loh, lo ngapain di sini? Salah masuk apa gimana, nih?" Tanya Rein heran.

"Iya, gue salah masuk dan gue lupa jalan keluarnya." Rein menggidikan bahunya tak peduli dan ia kembali melangkahkan kakinya menuju kelas.

"Rein, dari tadi gue diliatin di sini. Gue ganteng banget keknya." Rein kembali menatap pria itu setelah ia mendengarnya kembali berbicara.

"Idih apaan banget. Lo tuh anak sekolah sebelah, almamater lo juga beda. Panteslah lo diliatin sama murid-murid di sini." Barra hanya terkekeh. Ya, dia sengaja masuk ke sekolah ini hanya untuk sekedar …,

"Gue ke sini mau anterin lo sampe kelas lo, terus setelah itu baru gue pergi ke sekolah gue."

"Biar apa?" Tanya Rein heran.

"Biar lo suka sama gue," jawabnya enteng yang membuat Rein memberikan sedikit tamparan pada lengannya.

"Gue udah ada cowok."

"Iya tau."

"Gila emang lo, Barr."

Setelah 1 bulan pertemuan Rein dan Barra, mereka berdua menjadi sangat dekat. Menurut Rein, Barra ini merupakan seorang pria yang benar-benar aneh. Setiap harinya pasti akan ada saja tingkah lakunya yang membuat Rein menggelengkan kepalanya heran.

"Udah sampe. Ini kelas gue."

"Ini kelas lo?" Barra sedikit menyembulkan kepalanya ke dalam untuk melihat kelas yang ditempati oleh Rein itu. "Jelek."

"Apanya?"

"Ya kelasnya, lah."

Rein membulatkan matanya dan menunjuk ke arah Barra. "Wah penghinaan, gue aduin mampus lo perang entar sekolah kita."

"Coba lo masuk dikit!" Barra sedikit mendorong Rein sehingga gadis itu sedikit memasuki ruang kelasnya. "Ah, ternyata gue salah."

"Maksudnya?" Tanya Rein lagi.

"Kelasnya terlihat jelek kalo lo belum masuk ke dalamnya." Barra tersenyum jahil setelah itu ia pun kembali melangkahkan kakinya untuk meninggalkan sekolah tersebut.

"Rein, lo jadi deket banget sama cowok nak sekolah sebelah itu. Lo masih setia sama Haris, kan?" Tanya Sheril ketika Rein duduk di kursinya yang bersebelahan dengannya.

"Gue anggap dia sebagai sahabat gue," jawab Rein.

"Yakin?" Tanya Sheril untuk meyakinkan karena sejujurnya ia ragu dengan jawaban Rein yang tadi.

"Yakin, dong."

"Gimana Haris? Kalian masih suka saling kasih kabar?" Rein mengeluarkan novelnya di dalam tas sebelum ia menjawab pertanyaan dari Sheril.

"Masih kok tiap hari kita telponan. Gue kangen banget sama dia, Sher. Haris kapan sih balik lagi buat nemuin gue? Sebenernya gue gak mau kita LDR kek gini. Ya walau dia usil banget anaknya tapi itu yang bikin gue makin sayang sama dia. Hari-hari gue bener-bener sepi kalo gak ada dia." Rein mengerucutkan bibirnya sedangkan Sheril hanya bisa tersenyum lembut seraya mengusap pelan punggung sahabatnya itu.

"Malam ini kita kumpul di rumah gue mau gak? Udah lumayan lama juga kan kita gak kumpul bareng-bareng lagi?" Tanya Sheril yang langsung diangguki oleh Rein.

Pada saat jam sekolah telah tiba, seperti biasa Rein berdiri di depan gerbang untuk menunggu Rendi menjemputnya.

"Kiw, Neng! Pulang bareng Om yuk!" Rein menatap sinis ke arah Barra yang tiba-tiba saja berhenti di depan Rein.

"Apa sih lo Barr kek om om pedo tau gak?!" Rein memtar bola matanya malas.

"Yuk pulang bareng!" Ajak Barra yang langsung dibalas gelengan kepala dari Rein. "Ogah, kak Rendi mau jemput."

"Gak bakal dateng dia. Tadi dia chat gue buat nyuruh pulang bareng sama lo. Katanya sih dia ada kelas siang." Rein membulatkan matanya tak percaya. Biasanya tidak seperti ini, biasanya Rendi akan mengatakan langsung padanya di pagi hari jika dia ada kelas siang.

"Lo seriusan?! Kok dia gak kasih tau gue juga?!"

"Santai dong, Sayang! Coba cek HP lo! Kata bang Rendi lo gak aktif." Mendengar Barra berkata begitu, Rein langsung mengecek ponselnya dan memang benar jika ponsel miliknya itu mati karena baterainya habis.

"Eh iya deh batrenya habis. Ya udah deh ayo pulang!"

Rein naik ke atas motor Barra. Ya, setelah Barra kenal dengan Rein, ia memutuskan untuk pergi dan pulang sekolah dengan menggunakan motornya. Apa alasan Barra waktu itu dia selalu pulang-pergi dengan menggunakan bus? Jawabannya karena ia ingin hidup merakyat, dia menjawab seperti itu ketika Rein bertanya padanya waktu itu.

Seorang pria yang sedari tadi melihat interaksi mereka berdua terlihat tersenyum menyungging ke arah mereka.

"Ris, kalo misalnya lo gak bakal nerima kalo sampe gue balikin lagi hati Rein buat gue, lalu gimana kalau misalnya Rein macem-macem di sini ketika lo jauh di sana?"

•To be Continued•