webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 60

"Cerah banget keknya hari ini."

Rein terkekeh menanggapi ucapan Jian. Gadis itu menepuk Barra yang duduk di sampingnya dengan senyumannya yang tak kunjung hilang.

"Gimana gak cerah? Barra kan udah balik lagi sama kita. Aduh, seneng banget bisa bareng-bareng lagi kek gini."

Rein melihat ke arah Sakti yang terduduk di antara Bastian dan Jian. Rein tersenyum ke arahnya, tapi entah mengapa Rein merasa jika Sakti masih memberikan tatapan yang dalam terhadapnya.

"Rein, habis dari sini anter gue, ya?"

Gadis itu sedikit mengerjap ketika Sakti yang tengah bertatapan dengannya itu tiba-tiba mengeluarkan suaranya.

"Gak, Rein mau balik sama gue." Barra menolak permintaan Sakti terhadap Rein.

"Gue gak ngomong ma lo."

"Aduh, udah deh kalian. Ke mana, Sakti?" Pemuda itu sama sekali tidak menjawabnya secara langsung, melainkan ia mengeluarkan ponselnya dan mengirimi Rein pesan tentang ke mana dia ingin mengajaknya pergi.

Rein sedikit terkekeh setelah dia membaca pesan dari Sakti. Rupanya Sakti hanya ingin mengajak Rein untuk bertemu dengan ibunya Sakti yang pernah ditemui sebelumnya.

"Barra, lo pulang duluan aja, ya? Gue mau pergi dulu sama Sakti entar."

Mendengar ucapan Rein, Barra pun seketika menatap ke arah Sakti. "Mau lo bawa ke mana sih ni cewek?"

"Ada lah, gak penting buat lo tau. Tenang aja kali, dia bakal gue jagain, kok."

"Barra, lo tenang aja. Sebelumnya gue juga pernah ke sana sama Sakti."

"Ya udahlah, terserah."

Barra menunjukkan ketidaksukaannya sehingga Jian pun mengangkat suaranya. "Gue liat lo berdua kek cekcok mulu kalo soal Rein. Ada apa, nih?"

Barra dan sakti seketika saling menatap tak suka, namun setelah itu mereka pun mengakhiri tatapannya satu sama lain.

"Gak/gak."

Menyadari mereka berbicara secara bersamaan, mereka pun kembali melihat ke arah satu sama lain.

"Gak usah ngikutin gue, lo!"

Barra memberikan tatapan sinisnya pada Sakti. "Dih, yang ada lo yang ngikutin gue!" Jawab Barra tak terima.

"Aduh, udah, deh! Jangan berantem mulu kalian, tuh. Ntar jodoh, lho."

Barra menarik Rein dan menghimpit kepala gadis itu di ketiaknya. "Coba cium! Wangi ketek gue udah laki banget masa mau lo jodohin ama yang berbatang juga? Mikir, lo!" Rein memukul-mukul paha Barra agar pemuda itu mau melepaskannya.

"Ketek lo bau bandot, bukan bau LAKIK!"

"Untung gue sayang."

Seketika Bastian dan Jian menatap curiga pada Barra juga Rein setelah Barra mengatakan hal tersebut.

"Sayang?" Tanya Bastian dengan raut wajah herannya.

"Iyalah sayang, sesama teman kita harus saling menyayangi. Gitu kan, Sak?"

"Siapa lo nanya-nanya? Kenal?"

Barra mengambil ancang-ancang ingin melempar Sakti dengan sendok yang tengah digenggamnya.

"Rein, berangkat sekarang aja, yu!"

"Ayo!"

Rein dan Sakti sama-sama mengaitkan tasnya dan berpamitan pada teman-teman mereka.

"Rein, jangan sampe malem, ya? Gue mau ke rumah," pesan Barra.

"Dih, siapa lo ngatur-ngatur?" Rasanya Barra begitu geram pada mulut menyebalkan Sakti. Ingin rasanya ia membungkam mulutnya itu.

"Iya, gue gak akan lama. Paling jam enam juga udah di rumah," jawab Rein. Daripada nantinya mereka semakin parah merecoki satu sama lain, mending Rein segera menyudahinya agar cepat selesai. "Ya udah, gue sama Sakti pamit duluan ya, gaes. Hati-hati lo semua di jalan balik."

"Yoi, lo berdua juga hati-hati," balas Bastian.

Setelah itu Rein dan Sakti pun berjalan ke arah parkiran. Selama mereka berjalan, mereka juga berbincang-bincang kecil.

"Bisa gak kalian tuh diem aja, gitu? Jangan nunjukin di depan Bastian sama Jian, nanti mereka curiga sama kita. Emang lo mau mereka tau?"

Sakti menatap sekilas pada Rein yang berjalan di samping kirinya sebelum ia menanggapi perkataan gadis tersebut. "Gue cuma gak suka aja sama dia. Dia berlaga kek seakan-akan lo punya dia. Kalo gue gak bisa dapetin lo, dia juga gak boleh dapetin lo."

"Hadeuhhh … terserah kalian ajalah, pusing gue, tuh."

"Udah, Rein. Lo fokus aja sama Haris, lo gak perlu mikirin gue sama si curut itu. Perasaan gue urusan gue, bisa gue atur-atur, gue juga lagi berusaha buat nyari jalan keluar dari semua ini. Biar gue bisa secepetnya buang perasaan gue sama lo. Gue udah nyadar dengan apa yang gue lakuin sama lo itu salah, gue salah udah berusaha ngeretakin hubungan gue sama sohib gue sendiri."

Rein tersenyum, meski Sakti masih ada dalam proses berusaha, tapi Rein begitu senang setelah mendengar hal itu.

"Sebenernya gue gak bakal ajak lo ketemu nyokap gue."

Mendengar itu Rein pun menghentikan langkahnya yang membuat Sakti pun ikut berhenti.

"Terus, lo mau ajak gue ke mana?"

"Ke mana aja, yang penting gue sama lo habisin waktu hari ini."

• • •

"Ih, gue jelek banget yang ini." Rein menunjuk salah satu poto hasil photo box yang telah mereka lakukan malam ini.

Karena mereka tidak jadi pergi ke rumah ibunya Sakti, jadi Rein dan Sakti menghabiskan waktu bersama di berbagai tempat yang begitu amat sangat dapat menciptakan kebahagiaan.

Rein mengecek ponselnya yang sedari siang tak ia mainkan karena sibuk menghabiskan waktu dengan Sakti. Ia melihat banyak sekali pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Barra. Rein lupa jika Barra mengatakan akan datang ke rumahnya malam ini.

"Rein,"

Mendengar Sakti memanggilkan namanya, Rein pun menyimpan kembali ponselnya dan memberikan perhatiannya pada pemuda itu.

"Kali-kali kalo lo telponan sama Haris, lo sampein salam gue buat dia. Tanya, dia kapan balik lagi, gitu. Gue tiba-tiba kangen aja gitu kumpul terus ada dia."

Rein terkekeh mendengarnya. "Ih, baru tau cowok bisa kangen sama sahabatnya juga," ejeknya.

"Ya bisalah, Ngaco."

"Iya iya, nanti gue sampein, deh."

Setelah itu hening beberapa saat. Entah kenapa, tapi Rein melihat seperti ada kecemasan dalam raut wajah Sakti saat ini.

"Gue juga mau bilang makasih sama lo. Makasih udah ada buat gue, makasih udah bikin gue jatuh cinta dan nyaman sama lo. Walau gue gak akan pernah dapetin lo, dengan lo tau kalo gue cinta sama lo juga gue udah seneng banget, gue udah ngerasa cukup dengan itu. Lo tetep sama Haris, ya? Jangan sama yang lain, gue lebih ikhlas kalo lo sama dia."

Rein tersenyum simpul dan mengangguk pelan. "Lo doain aja, semoga gue sama Haris emang ditakdirkan Tuhan buat sama-sama sampe akhir. Makasih juga buat semua rasa cinta lo buat gue, gue bener-bener hargain semua itu. Cepet dapetin yang terbaik buat lo, ya?"

Sakti mengangguk mengiyakan, ia pun sedikit membuang napasnya yang terasa sesak setelah ia berbicara seperti itu pada Rein. "Gue punya permintaan terakhir sama lo sebelum gue bener-bener nyerah. Rein, gue pengen meluk lo buat yang terakhir kalinya. Lima menit … aja, lo mau, kan?"

Tanpa menjawab sepatah kata pun Rein langsung merentangkan tangannya untuk mengundang pelukannya. Setelah itu mereka pun saling memeluk satu sama lain dengan keadaan yang hening. Rein menepuk-nepuk pelan punggung Sakti dan menikmati aroma tubuhnya yang sempat membuatnya tertarik dan bahkan benar-benar jatuh cinta beberapa tahun yang lalu, sebelum dirinya menjalin hubungan dengan Haris.

"Maaf, gue banyak salah sama lo, Rein."

"Maafin gue juga, Sakti."

"Gue pasti bakal kangen banget sama lo."

Rein geming dengan semua ini. Ia tak sepenuhnya paham mengapa tiba-tiba saja Sakti seperti ini padanya. Pemuda itu berbicara seakan mereka tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini. Seakan-akan ini adalah pertemuan terakhir bagi mereka.

"Besok kita ketemu lagi kek biasa. Kangen gimana maksud lo?"

"Gue bakal kangen mikirin lo setelah ini. Karena gue udah mutusin buat gak mikirin lo lagi biar gue bisa secepetnya lepas dari perasaan yang gak seharusnya ada ini, Rein."

Rein kembali tersenyum dengan tangannya yang masih memberikan usapan sayang nan lembutnya pada Sakti. "Jangan berusaha terlalu kuat, pelan-pelan aja, gue yakin lo bisa."

•To be Continued•