webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 41

"Barra," panggil Rein saat kelas telah selesai. Matanya terus menatap seseorang yang terus berjalan menjauh darinya. "Meskipun lo udah punya cewek, bukan berarti kita gak bisa temenan lagi, kan?" Gumamnya.

Rein menggelengkan kepalanya tak peduli dan ia pun kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kantin.

Setelah sampai di tempat yang ia tuju, ia mengedarkan pandangannya pada setiap penjuru kantin mencari orang-orang yang biasanya selalu berkumpul dengannya di sini. Ya, siapa lagi jika bukan Bastian, Jian, Sakti, dan ya Barra juga termasuk. Tapi jika soal Barra, satu hari ini sudah bertemu dan dia juga terlihat menghindar seperti itu. Rein tidak ingin memikirkan hal itu saat ini.

"Apa jangan-jangan hari ini mereka gak ada kelas, ya?" Rein membuka ponselnya dan mengirimkan pesan kepada mereka hanya sekedar untuk menanyakan keberadaan mereka saat ini.

Dugaan Rein benar, mereka bertiga memang tidak ada kelas hari ini. Tapi, Sakti mengatakan padanya bahwa dia ada di kampus saat ini karena adanya janji dengan seseorang.

Rein memilih untuk membeli minuman terlebih dahulu dan ia duduk di salah satu kursi di sana. Rein sengaja tidak memberitahu Haris bahwa dia telah selesai kelas karena rencananya dia ingin bersantai sebentar di kantin karena sudah beberapa hari ia tidak pergi ke sana. Ya, setiap kali Haris menjemputnya dia pasti langsung pulang.

"Rein!" Rein sedikit terkejut saat tiba-tiba saja Sakti datang dan mengagetkannya.

"Ih! Kaget tau gak sih gue tuh?!" Rein sedikit menampar bahu Sakti.

"Hehe, peace." Sakti terkekeh dan ia menunjukkan V Sign pada gadis itu.

"Lo habis ada janji sama siapa btw?" Tanya Rein penasaran sedangkan Sakti hanya memberikan senyum mengejeknya.

"Kepo, ya?"

"Enggak tuh." Rein memutar bola matanya acuh dan ia kembali meminum minuman miliknya.

"Si Haris belum ke sini? Malam ini dia ngajak kumpul bareng."

"Iya emang, itu rencana kita. Ya coba aja, dari sejak dia datang dia belum tuh nemuin kalian karena kaliannya sibuk," cibir Rein yang membuat Sakti terkekeh pelan. Mereka bukannya tidak tahu jika Haris pulang, mereka tentu saja ingin bertemu tapi ya begitulah mereka semua sama-sama sibuk.

"Gue bersyukur banget kalian malam ini bisa, soalnya besok adalah hari terakhir dia di sini. Lusa dia udah pergi lagi, deh. Sedih lagi dah gue entar."

"Apa sih? Kan ada gue." Sakti mengedipkan sebelah matanya yang membuat Rein bergidik ngeri.

"Please, ya. Makin sini lo makin random banget. Gak mau kek Barra aja gitu, nyerah? Dia dah ada cewek, tuh."

"Oh, ya? Ya bagus deh kalo gitu."

"Bagus kata lo?!"

"I-iya bagus. Kenapa emangnya lo ngegas? Lo cemburu?" Rein mendengus sebal lalu ia menghabiskan minumannya yang tinggal sedikit itu dengan satu kali sedotan.

"Gue tuh bukan cemburu, tapi ya dia jangan ngejauh gitu dong dari guenya! Ah elah nyebelin banget." Rein memasang wajah sebalnya ketika ia mengingat Barra terlihat terus menjauh darinya.

"Proses move on dia tuh sama lo makanya kek gitu."

"Gitu, ya? Bukannya PD nih, lo gimana sama gue? Syukur-syukur lo juga sama kek Barra." Sakti sedikit menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu seraya memikirkan apa yang akan dia katakan.

"Gue masih suka sih sama lo, tapi gue juga masih respect sama Haris. Gue masih deket sama lo aja gue udah bersyukur banget, Rein." Rein tersenyum dan ia menepuk pelan bahu Sakti yang kini sedang berada di hadapannya.

"Lo bakal tetep jadi sahabat gue, Sakti. Makasih atas rasa cintanya lo terhadap gue. Kita emang pernah saling suka tapi nyatanya alam gak pernah berminat buat nyatuin perasaan kita. Gue yakin, nanti lo pasti bakalan dapetin cewek yang lebih baik segalanya dari gue." Mereka saling melontarkan senyum mereka masing-masing. Setelah mereka menyudahi itu, ponsel Rein yang berada di atas meja tiba-tiba saja berbunyi.

"Haris nelpon, nih. Bentar ya." Rein beranjak dari duduknya dan ia sedikit menjauh dari tempat mereka duduk untuk menjawab panggilan dari Haris.

"Susah sebenernya buat berhenti, tapi lo juga berhak memilih siapa yang bakal lo pilih," gumam Sakti seraya ia menatap gadis itu yang tengah memunggunginya.

Setelah Rein selesai berbicara dengan Haris di telepon, ia kembali duduk di tempat yang semula. "Haris jemput?"

"Iya, udah di jalan katanya."

"Gue tinggal duluan gak papa?"

"Iya gak papa, Sakti. Malam jangan lupa, ya?"

"Siap." Setelah itu Sakti pun berlalu dari hadapan Rein. Rein kembali mengaitkan tasnya dan ia pun pergi meninggalkan kantin karena ia memutuskan untuk menunggu Haris di parkiran saja.

• • •

Malam hari di sebuah cafe, terlihat sekelompok orang yang merencanakan pertemuan mereka malam ini.

Haris dan Rein datang paling akhir di antara mereka semua. Sehingga, ketika yang lainnya menatap kehadiran Haris, otomatis mereka langsung berdiri dan menghampiri sahabat mereka yang telah lama tak nampak di hadapan mereka itu.

"Ris." Bastian, Jian, dan Sakti satu persatu berpelukan akrab dengan Haris. Malam ini mereka semua melepaskan kerinduan mereka yang telah ditabung beberapa tahun lamanya. Suasananya saat ini begitu penuh haru ketika mereka saling berpelukan satu sama lain.

Rein, Sheril, dan Dara menatap mereka dengan sedikit berkaca-kaca dan juga tak lupa dengan senyumannya yang tersirat. Mereka terharu melihat hubungan persahabatan mereka yang masih begitu kuat walau sudah lama dipisahkan.

"Lo sehat, Bro? Lo baik-baik aja kan di sana?" Haris mengangguk mengiyakan pertanyaan Bastian. "Gue baik-baik aja, lo pada gimana?"

"Kita bertiga sangat baik. Ya udah, mending kita duduk." Haris sempat bermain tos-tosan dengan Dara dan juga Sheril sebelum ia duduk.

"Ris, sorry ya kita semua baru bisa nemuin lo malam ini," ucap Jian dengan sedikit rasa tidak enak.

"Gak papa santai aja yang penting kita semua udah ketemu malam ini. Makasih banget lo semua udah mau luangin waktu buat ketemu sama gue. Gue pengennya lama-lama di negara kelahiran gue sendiri, tapi apalah yang bisa gue lakuin sedangkan bokap gue ngizinin cuma lima hari doang. Lusa gue berangkat lagi."

"Bentar banget, Ris. Emang cuma mau segitu aja kangen-kangenan sama Rein juga sama kitanya?" Tanya Sheril.

"Pengennya gue lama sih, tapi ya itulah masalahnya."

"Hhh … tinggal dua orang lagi nih yang belum pernah lagi setor buat ikut kumpul. Gimana tuh kabar orang Korea?" Mereka semua tertawa ketika mendengar penuturan Sakti.

"Kita rindu Erin …."

"Kita juga rindu Jifran …." Sheril langsung melempar garpu pada Jian ketika pria itu mengikuti gaya bicaranya dengan maksud mengejeknya.

"Gila, si. Masih galak aja cewek lo, Ji."

"Eh, Ris! Apa kabar sama Rein, hm?" Tanya Sheril. Haris langsung menatap Rein dan Rein juga sebaliknya. Tapi, Rein menatap Haris seakan penuh dengan ancaman.

"Enggak dong, Rein gue kan baik banget. Ya kan, Sayang?" Rein langsung tersenyum manis dan mengacungkan jempolnya pada Haris.

"Apa banget? Itu keliatan banget terpaksanya, haha," ejek Dara. Saat mereka asik bercanda, makanan yang telah Haris pesan sebelumnya pun datang.

Para pelayan cafe menatanya dengan telaten, setelah semuanya tertata rapi mereka pun kembali melanjutkan pekerjaan mereka yang lain.

"Hhh … gue kangen masa-masa kita masih SMA dulu. Pengen balik lagi aja rasanya." Sakti memukul keras paha Jian yang ada di sampingnya. "Bro, kangen masuk BK berjamaah maksud lo?" Tanyanya.

"Itu salah satunya sih, hehe. Kangen bandel ama lo lo pada gue. Tapi, setiap kali kita masuk BK pasti nih cewek-cewek pada ngamuk semua."

"Ya iyalah Sayangku Ardito Jian Syifano …! Alasan kenapa masuk ruang BK itu artinya udah ngelakuin hal yang gak baik alias bukan suatu prestasi yang bisa dibanggakan. Jelas kita para cewek-cewek marah dong karena gak suka liat cowok-cowoknya pada slengean kek gitu. Gak lucu tau, gak?!" Bastian, Jian, dan Haris hanya mengangguk mengiyakan penuturan Sheril saja. Sheril sedikit kesal karena raut wajah mereka terlihat sedang mengejeknya.

"Gue gak ikutan, gue belum ada cewek lagi ampe sekarang," ujar Sakti yang membuat mereka langsung menatap ke arahnya dan menertawakannya.

"Bro, miris banget." Jian menepuk keras bahu Sakti yang ada di sampingnya hingga membuat sang empu sedikit meringis menahan sakit.

"Iya ya, padahal lo dulu cewek ampe punya dua puluh lebih. Sekarang bener-bener gak punya sama sekali? Sumpah, Bro, tobat lo jadi playboy bener-bener berhasil." Sakti melipat tangan di dadanya dan menopangkan kakinya seraya tersenyum bangga ke arah Bastian.

"Apaan banget tuh muka, anjir? Songong bener perasaan. Udah, nyari cewek lagi aja lo sono!" Tukas Haris.

"Enggak dulu, nyatanya punya pacar juga gak bisa bikin gue kaya," jawab Sakti enteng.

"Tapi lo ada yang kasih mimi entar kalo punya cewek."

"Bastian mulutnya nakal, ya!" Dara mengambil ancang-ancang ingin melempar Bastian dengan tas selempang kecil miliknya.

"Becanda, Sayang."

"Ah males gue, sayang sayangan semua. Gue dateng ke sini buat apa anjir?!" Mereka semua langsung tertawa mendengar protes dari Sakti.

"Iya, udah jangan uwuu uwuuan terus! Mending sekarang kita makan makanannya," ajak Haris yang langsung disetujui oleh mereka.

"Itu orang Korea mau kita VC, gak?" Tanya Jian.

"Boleh, tuh. Biar gue aja yang hubungin mereka, ya?" Rein membuka ponselnya dan ia langsung menghubungi Erin.

"Hallo …!" Sapa mereka semua setelah panggilan video berlangsung. Erin yang melihat itu menutup mulutnya tak percaya dan ia langsung mengakhiri rasa terkejutnya itu dengan suara tawanya.

"Ihh jahat banget ngumpulnya gak ada gue sama Jifran. Gak sah tuh kumpulnya gak sah sumpah, pulang aja sana pulang!" Heboh Erin di seberang sana yang membuat mereka kembali tertawa.

"Apa sih heboh banget? Jifran mana, Rin?" Tanya Haris.

"Ini nih Jifran." Erin menarik Jifran untuk ikut muncul dalam panggilan video itu. Akhirnya malam ini mereka habiskan secara bersama-sama walaupun Erin dan Jifran tidak bisa ikut secara langsung.

Rein yang duduk di samping Haris menggenggam tangan pria itu dan mereka saling melontarkan senyum mereka satu sama lain.

Ya, biarkan malam ini berakhir dengan sebuah kebahagiaan.

•To be Continued•