webnovel

Unexpected Past

Liana yang merupakan seorang Orph dikucilkan oleh masyarakat Ellenia. Namun suatu berita menggemparkan tersebar. Sebuah sekolah ilmu magis terbesar yang bernama Tummulotary Academy membuka kesempatan bagi para Orph untuk menjadi peserta didik di sana. Sekarang Liana berjuang untuk bisa menjadi peserta didik dari Tummulotary Academy. Namun Liana juga punya cita-cita lain. Yaitu, menguak kisah masa lalunya, dan mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Dengan usaha kerasnya ini, bisakah Liana menggapai cita-citanya? akankah Liana mengungkap siapa dirinya yang sebenarnya dan bagaimana masa lalunya itu? Cover by : Audreana ivy. You can see her story : Home of Ardor

Leony_Ackerman · Fantasy
Not enough ratings
396 Chs

Sudah Sampai di Sarang Musuh

"Ack!" desir Lysander seraya memegangi pinggangnya, berada di dalam kotak dengan posisi seperti ini tidak memberi efek baik pada tulangnya.

"Lysander, psst, psst," panggil Liana pelan.

"Liana?" sahut Lysander, "Kau baik-baik saja?"

"Iya, aku baik-baik saja. Kalau kau?" tanya Liana baik.

"Oh, jangan lupakan aku. Lysander, bisa kau jauhkan bokongmu dariku? tanganku terjepit kursi roda, dan bokongmu menggencet wajahku dengan indahnya," sahut Alwhin menyela.

Liana menahan tawa, ada-ada saja kelakuan mereka berdua. Untung saja mereka bertiga tidak tertangkap oleh gerombolan orang berjubah hitam itu. Beda beberapa detik saja mereka akan tertangkap, namun untungnya tiba-tiba mereka pergi karena terdengar suatu keributan.

Liana khawatir kalau keributan itu bersumber dari Lyosha, namun setelah dilihat-lihat tidak ada ledakan api atau suhu udara yang naik drastis. Berarti itu bukan disebabkan oleh Lyosha, mengingat Lyosha adalah orang yang brutal dan bertindak sesuai instingnya.

"Oke, nampaknya kita sekarang berada di markas para manusia berjubah hitam itu," ujar Lysander.

"Iya, nampaknya begitu...." Alwhin menggantung perkataannya. "Tapi hal pertama yang harus kita lakukan adalah keluar dari kotak ini."

"Iya, kau benar Alwhin." Liana menendang kotak tempat ia bersembunyi. Namun nihil, kotak itu tidak terbuka.

"Ssst! jangan ribut!" ujar Lysander.

"Hehehe, maaf Lysander." Liana tertawa canggung.

Sekarang Liana berfikir bagaimana caranya membuka kotak tempat ia bersembunyi ini. Kenapa coba harus dikunci? padahal isinya hanya alat-alat sirkus tidak penting, dasar penjahat aneh. Begitulah fikir Liana, apalagi Liana hampir kena serangan jantung saat salah satu dari orang berjubah hitam itu hendak membuka kotak sewaktu mengunci kotak tempat Liana bersembunyi tersebut.

"Lysander...kau ada bawa pisau?"

"Sebentar...fiate verrum."

Bunyi grasak grusuk dan dentingan barang-barang menandakan Lysander sedang merogoh dimensi penyimpanan miliknya. Alwhin nampak penasaran bagaimana isi dalam dan bentuk dari ruangan tersebut.

"Apa aku boleh masuk ke dalam?"

Lysander terdiam, menatap Alwhin datar. "Pertanyaanmu itu sungguh...kalau kau mau masuk ke sini maka kau akan ku kunci selamanya di dalam sini."

Alwhin menatap horor, ia tertegun dan langsung beringsut mundur. Entah kenapa Lysander jadi sensitif tiba-tiba seperti perempuan yang sedang menstruasi.

"Aku mendapatkannya," ujar Lysander seraya mengeluarkan pisau dari dalam ruang dimensinya.

"Coba kalian lihat engsel kotak tempat kalian bersembunyi, coba sentuh dan rasakan. Ada atau tidak energi magis disitu, kalau ada lebih baik kita memikirkan untuk keluar lewat bagian lain kotak ini saja."

Liana dan Lysander meraba engsel gembok kotak mereka. Meski hanya keping bagian dalam, namun aliran energi magis nya tetap terasa mengalir.

"Bodohnya mereka, untuk apa menyegel magis gemboknya saja. Bukan dengan sisi kotaknya sekalian," cibir Lysander.

"Tapi itu hal yang menguntungkan kita. Aku harap pisau yang kau bawa cukup tajam Lysander," sahut Liana.

"Sebentar, aku ambil lagi. Pisau ini kurang besar," ujar Lysander seraya merogoh ruang dimensinya lagi.

Alwhin merasa kurang enak terhadap Liana dan Lysander, dalam situasi seperti ini ia hanya memberatkan mereka berdua.

"Berikan yang itu padaku, setidaknya disaat kau mencari pisau lain aku bisa mencoba melubangi dinding kotak ini," pinta Alwhin, Lysander mengiyakan dan memberikan pisau di tangannya tersebut.

Setelah mendapat pisau lain dan berhasil keluar dari kotak itu, Lysander dan Alwhin menolong Liana keluar dari kotaknya.

"Terima kasih. Lysander, Alwhin," ucap Liana pada mereka berdua.

"Sama-sama Liana," ujar mereka berdua bersamaan.

Liana, Lysander, dan Alwhin lalu memutuskan untuk pergi dari ruangan itu. Tidak bisa sepenuhnya disebut ruangan, karena ruangan itu sejenis goa.

"Astaga...tempat ini pengap sekali, pengap tapi lembab," ujar Alwhin membuka pembicaraan.

"Aku jadi agak sulit bernafas," sambung Liana."

Sebelum Lysander dan Alwhin panik, Liana buru-buru melanjutkan ucapannya, "T-tapi aku tidak apa-apa! ayo fokus mencari para tawanan orang-orang berjubah itu."

Mereka lalu menyusuri tempat tersebut. Melihat dengan hati-hati kalau-kalau ada jebakan. Terus menyusuri lorong panjang. Nampaknya tempat ini punya lahan yang cukup luas. Sangat mencurigakan, bagaimana bisa tempat seluas ini tidak terdeteksi. Atau jangan-jangan mereka sudah ada di luar Kerajaan Ellenia?

Mereka melalui banyak jalan bercabang. Mereka masuk tak tentu arah, mereka terus berputar putar. Terlalu banyak lorong yang membuat mereka kebingungan.

"Ada di mana ya jalan keluarnya---AAAAAAA. SETAN!" teriak Lysander sampai jatuh terjungkang ke belakang.

Liana dan Alwhin sepakat untuk mematung, tidak ada yang mau melihat ke atas. Mereka tidak mau melihat sesuatu yang horor, apalagi kebetulan di situ pencahayaannya remang-remang. Menambah kesan mencekam di situ.

"Hoi! tidak sopan sekali memanggilku setan begitu!" seru Lyosha.

"Eh?" Liana dan Alwhin mendongak ke atas dan mereka menghela nafas lega karena sesuatu yang mereka kira mahluk horor rupanya merupakan Lyosha.

"Bagaimana bisa kau ada di atas situ wanita tua?" tanya Lysander sinis.

Lyosha menatap jengkel adiknya tersebut, "Aku baru keluar dari tempat persembunyian tadi, berjalan mencari jalan keluar serta mencari kalian. Ku kira kalian tertangkap dan disekap di suatu tempat. Lalu bagaimana kalian bisa ada di bawah situ?"

"Kami juga sama sepertimu," jawab Liana. "Kami ingin mencari korban lain. Tapi lorong ini nampak tak berujung, petunjuk pun tidak ada."

Alwhin menatap Lyosha dan pintu tempat ia muncul. Lyosha menyernyit, "Ada apa? kenapa kau menatapku begitu?"

"Aku hanya terfikir kalau lorong ini memang tak berujung, bisa saja ini semacam delusi. Dan sebenarnya jalan keluarnya ada di bagian atas."

Semuanya terhenyak, memikirkan tentang apa yang dikatakan oleh Alwhin.

"Ada benarnya juga kau...tunggu sebentar." Lyosha menghilang dari padangan mereka bertiga.

"Aku sepertinya menemukan sesuatu. Hmm...nampaknya ini tombolnya," ujar Lyosha, dan bersamaan dengan itu. Suara gemeretak batu yang disusul munculnya sebuah tangga yang memanjang ke bawah sampai di depan Liana, Lysander, dan Alwhin.

"Wah! dari mana kau menemukan tombol itu?" tanya Liana antusias.

"Di...lebih baik kalian naik dulu agar melihat langsung," tukas Lyosha.

Lysander dan Liana menoleh ke belakang, menatap Alwhin. Alwhin kala itu fokus memikirkan bagaimana caranya naik ke atas dengan kursi rodanya tersebut.

Uluran tangan ada di depan Alwhin, ia mendongak, melihat Liana dan Lysander yang tersenyum padanya.

"Jangan sombong begitu. Kami tahu kau kuat, tapi kami juga saudaramu," ujar Lysander.

Melihat itu, Lyosha turun dan mendekat kepada mereka bertiga.

"Jangan melupakan ku bocah. Benar apa yang dikatakan adikku yang kaku itu." Lyosha menampilkan senyum lebarnya.

"Terima kasih teman-teman."

Lalu mereka berempat naik ke lantai atas. Lyosha membawa kursi roda Alwhin, lalu Liana dan Lysander memapah Alwhin. Tidak ada sedikitpun egoisme. Toleransi dan rasa persaudaraan tidak memandang status ataupun kondisi seseorang membuat pertemanan mereka terasa sangat hangat, walaupun mereka baru-baru saja kenal.

Terima kasih atas kunjungan kalian, bolehkah author sedikit ngelunjak dengan minta lemparan batu dari kalian?.

Salam manis dari Liana ^^

Leony_Ackermancreators' thoughts