webnovel

Hari Pernikahan

“Mama masuk rumah sakit,” ujar Tomy.

Marsha membelalak.

“Dokter bilang mama harus banyak istirahat dan tidak boleh stres. Apa susahnya menuruti keinginan mama? Lagi pula, kau akan menikah dengan pria terpandang bukan gelandangan.”

Marsha menatap Tomy dengan tatapan pilu. “Jadi mama masuk rumah sakit karenaku ya?” tanyanya dengan luka menganga. Marsha menghela panjang dan kembali menatap kakaknya, “baiklah. Aku tidak akan membantah lagi. Percuma saja. Aku harap kalian senang termasuk mama dan papa.”

“Baguslah kau mengerti.” Tomy beringsut bangkit dari duduknya. “Jangan lupa habiskan makananmu.” lalu Tomy pun kembali mengunci Marsha dari luar.

Marsha menatap makanannya dengan tidak selera. Ia terlalu dipusingkan dengan situasinya yang tidak bisa melakukan apa pun. Pikirannya melayang pada Bella. Marsha merasa sangat bersalah padanya karena ia tidak bisa melakukan apapun untuk sahabatnya.

Jika Marsha berada di posisi Bella, Marsha pasti tidak akan sanggup. Bella wanita lebih kuat darinya. Tapi...bagaimana jika Bella mengetahui kalau wanita yang akan menikah dengan Erwan adalah Marsha? Marsha takut Bella akan berpikiran buruk tentangnya dan akan memusuhinya.

Marsha merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia menggenggam ponselnya dan menatap layar ponselnya. Tertera nama Bella yang menghubunginya. Marsha mengerutkan dahinya. Ada apa Bella menelepon?

Jari Marsha menggeser layarnya ke kanan untuk menerima panggilannya.

“Marsha kau sedang apa?!” teriaknya antusias.

Teriakan Bella sontak membuat Marsha menjauhkan ponselnya dari telinganya. Marsha juga merasa heran dengan Bella. Kenapa Bella tiba-tiba seperti bahagia padahal kemarin ia habis menangis sejadi-jadinya.

“Sedang terkunci di kamar sendiri,” jawab Marsha singkat.

“Kau dikunci oleh calon suamimu ya?” nadanya masih terdengar antusias.

Marsha menelan ludahnya. Dari mana Bella tahu? Apa Bella sudah mengetahui siapa yang akan Marsha nikahi? Selang beberapa detik ia kembali bicara. “Ya begitulah. Kautahu aku tadi datang ke kantornya dan mengancamnya tapi ia malah menyuruh bodyguardnya untuk mengurungku di rumahku sendiri. Dia sangat brengsek,” jawabku dengan nada tenang. Bisa saja Erico setelah bicara denganku langsung menelepon Bella dan menceritakan padanya apa yang sedang menimpaku. Jadi aku menyingkirkan spekulasi burukku.

Bella terkekeh di sebrang sana. “Kau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Calonmu itu tidak akan mengurungkan niatnya. Terima saja keadaannya.”

Bella sudah tahu, pikir Marsha. Apa yang harus ia katakan pada Bella? Marsha sudah berjanji.

“Aku baru tahu kau dan…” Bella menggantungkan kalimatnya, kemudian ia melanjutkannya, “Erwan akan menikah,” ujarnya lemah.

Marsha merasa sangat bersalah. “Bell-”

“Jangan pikirkan perasaanku. Aku senang ternyata kau lah wanita yang akan di nikahi Erwan. Aku tidak keberatan. Kita bisa berbagi suami jika kau tidak keberatan,” ucapnya sambil tertawa hambar. Yang Marsha tangkap bukan tawanya tapi tangisnya. Marsha yakin Bella sedang menahan tangisnya yang memecah.

“Bell-”

“Aku tahu ini bukan salahmu. Jangan merasa bersalah padaku,” potongnya, “kita bisa menjadi istri yang rukun. Aku tahu kau tidak bisa menolak keinginan keluargamu. Jangan pikirkan aku. Aku tidak ingin menambah beban hidupmu. Lagi pula setelah anakku lahir, aku akan menceraikannya.”

Aku menghela berat merasakan tumpukan sesak di dadaku. “Bella, aku tidak tahu Erwan itu adalah suamimu sampai kau menceritakannya kemarin. Aku sudah berusaha untuk menolaknya sejak awal tapi...kau tahu keluargaku seperti apa terlebih lagi mama masuk rumah sakit. Aku merasa terjebak. Maafkan aku Bell, aku sudah berusaha. Aku juga sebenarnya tidak ingin menikah dengannya,” ujarku rendah.

“Aku tidak marah. Kau tidak perlu minta maaf. Ini bukan kesalahanmu. Sekali lagi, aku tidak apa-apa jika kau menikah dengan Erwan.”

Marsha tahu Bella sedang berbohong. Bella sangat tidak pandai berbohong, sama dengan dirinya yang bodoh jika sedang berbohong.

“Tapi Bell...jika kau mengijinkanku untuk mengatakan bahwa Erwan sudah beristri, pasti-”

Kalimat Marsha terpotong.

“Tidak. Tidak. Kumohon jangan.” suaranya terdengar ketakutan sekali. “maafkan aku telah menyulitimu Sha. Tapi kumohon terima saja pernikahan itu. Setelah anakku lahir, kau akan menjadi istri satu-satunya.”

Marsha terdiam. Lagi, ia menghela berat. Marsha tidak tahu harus bicara apa. Otak dan saraf-sarafnya seperti lamban atau-tidak berfungsi dengan normal.

“Kau tidak boleh stres. Bayimu harus sehat.” malah ucapan itu yang kulontarkan setelah terdiam cukup lama. Well, lebih baik membicarakan kehamilannya kan?

Jika Marsha menjadi Bella, Marsha tidak akan bertahan sekuat Bella. Bisa dibayangkan seberapa dalam lukanya ditambah lagi Bella harus ekstra bersabar karena kehamilannya. Marsha merutuki nasib Bella, kenapa Tuhan mempertemukan Bella dengan Erwan. Kasihan Bella.

“Ya terima kasih,” jawabnya dengan canggung, “selamat tidur Sha.”

Tutttt

Sambungan teleponnya sudah di putus.

Jika pernikahan Marsha dan Erwan memang terjadi. Marsha bersumpah di malam pertama Erwan tidur, Marsha akan mencekiknya sampai Erwan tidak bisa bernapas. Pria seperti itu tidak hidup.

***

Hari pernikahan

Marsha duduk dengan gelisah membiarkan si wanita tukang rias merias wajahnya layaknya pengantin. Oh Marsha lupa, hari ini dia adalah pengantinnya. Primadonanya di pesta pernikahannya sendiri. Marsha merutuki dirinya yang tidak bisa melarikan diri. Ke dua bodyguard Erwan selalu siap siaga di depan kamarnya 24 jam. Memang gila. Ia akan menikahi pria brengsek yang suka menindas wanita.

“Nona sangat cantik,” ujar wanita rias itu setelah selesai dengan semua hiasan di sekitar wajahku.

Marsha sudah memakai gaun pengantinnya. Gaun pengantin berwarna putih tulang dan gaun yang sangat merepotkan jika sedang berjalan. Marsha khawatir ia akan menginjak gaunnya sendiri hingga membuatnya jatuh di depan para undangan.

Setelah selesai dengan semua tetek-bengek dandanan Marsha, Marsha menunggu cukup lama sampai akhirnya keluarganya membawa Marsha ke altar pernikahan. Oh ya ke dua bodyguard itu masih setia mengikuti Marsha.

“Lihat, putri mama sangat cantik,” puji mama Marsha.

Marsha menampakkan senyum palsunya hanya untuk membahagiakan mamanya.

“Hi calon istri.”

Mendengar suara yang sudah tidak asing di telinga Marsha, Marsha langsung mencari keberadaanya. Marsha akui, Erwan memang terlihat tampan.

“Dan halo ma,” sapa Erwan pada mama Marsha sambil memberi ciuman kilat di pipi.

Perut Marsha serasa ingin muntah mendengar Erwan memanggil mamanya seperti itu.

“Kau terlihat tampan, Nak.” mama Marsha menepuk-nepuk pundak bagian depan Erwan.

“Mama juga terlihat sangat cantik dan terlebih anak mama begitu cantik,” puji Erwan yang menurut Marsha sangat berlebihan. Marsha ingin sekali merusak wajahnya dengan heels yang sedang Marsha pakai.

Mama Marsha pun meninggalkan mereka berdua. Entah berapa menit lagi janji suci pernikahan akan terucap di antara mereka.

Bibir Erwan tersenyum puas. “Mana kekasihmu? Seharusnya dia menyelamatkanmu.”

Marsha tertawa kecil. “Terima kasih peringatannya.”

“Pada akhirnya kau menjadi milikku.”

Belum. Marsha belum menjadi miliknya karena janji suci di antara mereka belum terjadi.

“Ya ya bahagialah atas kemenanganmu Erwan Hardan. Pada akhirnya aku akan menjadi istrimu dalam beberapa menit lagi.”

Erwan mencondongkan wajahnya. Jarak di antara wajah mereka hanya beberapa inci. Marsha bisa merasakan hembusan napas milik Erwan di wajahnya.

“Aku senang kaumenyadari posisimu,” bisiknya di leher Marsha. Bibir Erwan nyaris menyentuh kulit lehernya, membuat Marsha merinding.

“Bisakah kau enyah dari hadapanku sebelum janji suci itu kita ucapkan?” Marsha mendorong tubuh Erwan agar menjauh darinya.

“Karena ini hari terakhirmu sebagai wanita lajang, akan kuturuti,” ucapnya dan kemudian langkahnya menjauh meninggalkan Marsha.

Marsha bisa bernapas lega tapi ada satu hal yang menghambatnya. Dua bodyguard Erwan masih setia mengawasinya, bahkan masih saja mengukuti langkah Marsha yang hendak ke toilet.

Marsha berbalik badan sambil menjinjing gaunnya, menatap dua bodyguard itu dengan geram. “Kalian ingin masuk ke toilet bersamaku?!”

Salah satu bodyguard itu menjawab, “Kami tidak ingin nona kabur.”

Marsha menunjukkan wajah sangarnya. “Apa dengan pakaian seperti ini aku bisa kabur? Berhentilah mengikutiku atau aku akan bilang ke bosmu bahwa kau melecehkanku! Tunggu saja di depan toilet!”

Marsha langsung berbalik badan dan melanjutkan langkahnya kembali dengan susah payah. Gaun ini benar-benar merepotkan, pekik Marsha.

Marsha langsung masuk ke toilet dan mengunci toiletnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam gaunnya, yaitu gunting. Marsha memang sudah menyiapkan gunting ini, itu adalah bagian dari rencananya agar saat ia lari dari kawanan yang akan mengejarnya Marsha tidak akan kesulitan. Diguntingnya gaun bagian bawah Marsha sampai ke bagian bawah lututnya. Ia mengguntingnya dengan tergesa-gesa. Marsha tidak ingin rencananya kabur gagal.

Setelah berhasil menggunting gaunnya, Marsha menatap pintu lain, pintu yang langsung menuju outdoor. Marsha hafal dengan tata letak gedung ini. Di toilet wanita terdapat dua pintu, dari dalam gedung dan luar gedung.

Marsha tersenyum penuh kemenangan. Dibukanya pintu itu dan oh shit. Salah satu bodyguard itu ternyata menjaganya dari pintu lain. Bodyguard itu mirip Agung Hercules. Ia langsung mencengkram tangan Marsha namun Marsha tidak hanya diam saja. Ia melawan si Hercules itu-ah masa bodoh dengan namanya. Pokoknya Hercules. Marsha memberontak, kakinya yang memakai heels tinggi menginjak kaki si Hercules. Sontak si Hercules itu melepaskan cengkraman Marsha. Marsha langsung mengambil kesempatan itu dengan lari sekencang-kencangnya sambil melepas heels-nya. Jangan meremehkan Marsha, saat SMA Marsha adalah atlit lari maraton.

Si Hercules itu kini mengejar Marsha. Ia tidak sendirian, ada beberapa orang yang ikut mengejarnya dan lari mereka tidak kalah cepat dengan Marsha.

Marsha berlari dengan panik. Ia berharap ada ojek, bajai atau semacamnya asalkan jangan becak. Keringat Marsha bercucuran, napasnya tersengal-sengal. Entah sudah berapa lama mereka bekejar-kejaran seperti itu.

“Nona Marsha berhenti. Nona hanya menyulitkan keadaan,” ujar si Hercules dari kejauhan.

Marsha tidak akan kuat jika terus berlari. Ia harus sembunyi atau tidak Marsha akan tertangkap.

Tatapan Marsha menangkap tiga mobil merek Ferrari berjajar. Marsha segera menghampiri mobil itu bermaksud menjadikannya tempat sembunyi atau pun jika ia beruntung akan membawa salah satu mobil itu kabur bersamanya.

Mobil pertama terkunci.

Shit, umpat Marsha. Ia langsung beralih ke mobil selanjutnya dengan harapan tidak terkunci.

Mobil ke dua sama saja, terkunci. Marsha semakin panik. Tinggal satu mobil lagi yang menjadi harapannya atau Marsha akan benar-benar terjebak oleh Erwan.

Marsha menghampiri mobil harapan terakhirnya. Beruntung pintu mobilnya tidak dikunci. Marsha langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah kemudi satu paket dengan pengemudinya.

Seorang pria yang duduk di kursi pengemudi tercengang melihat Marsha yang tiba-tiba masuk ke dalam mobil. Marsha tidak mempedulikan siapa pria yang ada di dalam mobil itu, yang ia pedulikan adalah pergi dari kota ini sejauh mungkin.

“Tolong aku. Bawa aku pergi dari sini,” pinta Marsha dengan nafas yang tersengal-sengal.

“Apa?” pria itu membelalak.

“Jangan banyak bertanya. Aku mohon,” aku menengok ke belakang. Mereka hampir dekat. Jantung Marsha berdebar panik. “mereka ingin menculikku, tolong aku. Bawa aku pergi dari sini.” Marsha mengguncang-guncangkan lengan pria itu.

“Cepat! Hidupkan mesinnya atau aku bisa mati!” pekik Marsha melihat mereka yang nyaris dalam beberapa detik akan bisa menyeretnya.