Suasana rumah sangat sepi dan sunyi sekali. Biasanya terdengar suara anak kecil berteriak, menangis, bahkan merengek. Rui duduk melamun di teras depan rumah. Merasa ada yang kurang, sejak Albert minta izin ke rumah Monika bermain dan menginap. Suram banget, dia ingin ke sana melihat keadaan putranya. Tetapi orang yang dia minta itu tidak menanggapi.
"Bu, belum tidur? Sudah malam loh, Bu!" sapa seorang pembantu di rumah ini.
Rui menanggapi dan berpaling serta beri senyuman padanya. "Belum mengantuk, Bi," ucap Rui menggeserkan duduknya beri sedikit kosong untuk pembantu tersebut.
"Kangen Albert, ya?" tebak pembantunya, Rui hanya senyum tipis.
Pembantu sangat tahu sekali perasaan seorang ibu mana sih relain putranya pergi jauh apalagi menginap beberapa di rumah orang. Dia pun juga merasa kesepian tanpa ada suara anak itu. Biasa menangis, suka berteriak tidak jelas.
"Bibi juga kenapa belum tidur?" Rui balik bertanya.
"Sebentar lagi, pas lihat di teras masih menyala lampunya. Ya sudah Bibi cak lihat dulu, eh, lihat Ibu masih di sini sambil melamun," jawabnya.
Rui menghela sangat panjang. Pikirannya bercabang-cabang saat ini. Seharian ini juga Aldo tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Ibu tidak coba jalan-jalan refreshing gitu, daripada lihat Ibu di rumah sendirian melamun begitu," cuap-cuap pembantu itu sambil cari pembahasan yang enak.
Ya, sejak pagi pembantu itu tidak melihat batang hidung pak Aldo. Apalagi Rui seharian di rumah memperkerjakan rumah seorang diri. Memberes kamar Albert bahkan buat sarapan sampai belajar memasak.
"Refresing ke mana, Bi? Orang tua Rui saja sudah tidak ada lagi. Kalau bisa aku ingin ke kampung Bibi saja," jawab Rui gambang serasa tidak ada tujuan ke mana pun.
"Kalau ke kampung Bibi, jauh Bu. Apalagi perjalanan saja butuh waktu berjam-jam, biasanya Ibu suka berbelanja di mal, kumpul sama teman-teman?"
Rui tertawa kecil, mendengar sebutan teman-teman itu mustahil baginya. Siapa yang mau ajak dia ngobrol, kumpul-kumpul. Jika diingat lagi, pahit rasanya bagi Rui untuk melupakan masa lalu itu.
"Bi, hanya satu-satu orang yang sering dengar curhatan aku cuma Bibi saja. Aku sudah anggap Bibi itu seperti keluarga pengganti orang tuaku. Kalau saja aku mendengar perkataan orang tuaku dulu, mungkin mereka masih hidup hingga sekarang, usia Bibi saja sudah berapa tahun? Ikut orang tuaku sudah berapa tahun? Bibi tidak merasa rindu sama kampung halaman Bibi?" curhat Rui pada pembantunya.
Bibi Ningsih, seorang pembantu rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah Rui dari orang tua hingga putrinya. Bibi Ningsih bekerja di mulai usia 21 tahun sekarang Rui sudah berusia 32 tahun telah memiliki seorang putra yang tampan. Bibi Ningsih juga tahu bagaimana watak dan kelakuan Rui saat masih gadis.
"Semua sudah dijalankan oleh atas, Bu. Tuhan hanya menitipkan kepada kita sebagaimana mestinya kita jalani dengan benar. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Mungkin di masa lampau kita pernah melakukan hal tidak pernah kita sadari. Ibu masih ingat setiap apa yang terjadi hal itu selalu mengingatkan sesuatu pernah kamu perbuat tapi tidak tahu di mana?" terang Bibi Ningsih menjelaskan dan mengingatkan memori dimana Rui pernah bertanya padanya.
"Iya, Bi. Sampai sekarang Rui masih ingat banget, bahkan kembali mengalami hal yang sudah pernah Rui lakukan sebelumnya. Tetapi Rui merasa itu hanya firasat saja atau kelelahan," katanya.
Rui kembali terdiam, dia merasa dirinya tidak berarti apa-apa di dunia ini. Ditatap nya langit malam itu, udara semakin mencengkam.
"Menurut Bibi, aku itu bagaimana sih? Padahal aku sudah melakukan semaksimal mungkin untuk bisa yakinkan Aldo agar dia tetap cinta sama aku, sayang sama aku, perhatian sama aku, semuanya. Sudah aku lakukan. Tapi masih saja ada yang kurang. Bibi tahu bagaimana aku benci sekali wanita yang polos tapi licik?" cerita Rui pada Bibi Ningsih.
Bibi Ningsih sangat paham sekali perasaan majikannya. Pasti karena Monika, istri dari saudara sepupunya yaitu Nico. Apalagi melihat hubungan pernikahan majikannya tidak harmonis hingga sekarang.
"Menurut Bibi, Ibu itu baik, pengertian, sayang anak, keras, susah di atur. Ya, mungkin karena punya anak. Ibu sedikit kewalahan untuk cara mendidik. Apalagi di situasi saat usaha almarhum beliau terbengkalai. Tapi berkat Bapak Aldo sudah mulai membaik," jujur Bibi Ningsih.
"Benarkah?"
"Iya, Bibi malah suka Ibu itu menjadi diri sendiri. Tidak perlu meniru orang lain. Mungkin di mata Bapak Aldo ingin lihat sikap kesederhanaan Ibu. Seperti pagi tadi, Ibu mulai meminta Bibi ajari memasak."
Rui mengangkat jari jemarinya penuh luka di mana-mana. Mulai memotong wortel, cabai, sayur, bahkan ke jiplak minyak penggorengan. Ternyata seru memasak, dari dulu Rui memang tidak suka memasak apalagi pegang dapur. Gara-gara melihat Monika datang ke rumahnya. Kelincahan dia memegang alat dapur saja mudah. Kenapa dia tidak.
"Tapi seru juga. Apa nanti dia mau mencicipi masakan aku?" Rui bertanya lagi, dia ragu kalau masakan dia tidak seenak Monika.
"Pasti dia akan makan masakan Ibu. Bapak Aldo itu tidak suka membuang makanan apalagi bersusah payah memasak demi dia," jawab Bibi Ningsih yakin.
Rui pun bisa menarik seulas senyuman yang sangat lebar. Dia pun merangkul lengan Bibi Ningsih sangat manja. Disisi lain di mana sosok bersembunyi di balik pintu keluar itu sedari tadi mendengar pembicaraan mereka berdua. Aldo, tadi berniat ingin menemani Rui di sana. Tetapi keduluan oleh Bibi Ningsih di sana.
****
Setelah Monika selesai mandi, giliran Nico mandi. Nah, Nico di kamar mandi ngapain saja sih? Lama banget. Monika sudah selesai sisir rambut, terus bersiap untuk tidur. Dia memang mau cepat-cepat tidur. Besok sudah beraktivitas kembali.
10 menit kemudian, Nico keluar dengan wajah yang sangat segar banget apalagi adem lah. Rambut masih basah habis keramas. Keluar dengan badan telanjang tanpa baju cuma penanggalan celana saja.
Nico menoleh arah tempat tidur di mana Monika berbaring untuk memejamkan matanya. Karena lampu sudah Monika matikan tetiba dinyalakan oleh Nico. Buat Monika terganggu pada tidurnya. Ya, Monika tidak bisa tidur jika lampu masih terang.
Monika matikan, tapi Nico kembali menyalakan, hingga buat Monika semakin kesal atas sikap suaminya itu. Nico sengaja, bukan sengaja lagi. Dia mau cukur rambut brewoknya. Karena pengaruh tanpa cahaya jadi dia harus menerangkan lampu itu.
"Kalau mau cukur jenggot bisa, kan, di kamar mandi? Aku mau tidur loh?!" kesal Monika dan beri teguran pada Nico.
"Kamar mandi cermin nya kurang besar, jadi tidak leluasa cukurnya, kalau di sini sambil perhatikan kamu tidur nyenyak," ucapnya santai.
"Basi!" Monika langsung menarik selimut dan menutup seluruh badannya. Nico senyum cengir-cengir lihat sikap istrinya itu. Tetapi tanpa hati-hati alat cukur itu mengenai wajahnya.
"Auw!" desis Nico seketika, Monika pun langsung membuka selimut itu setelah mendengar suara meringis tersebut.
Nico segera membersihkan darah menetes di tempat cermin sekaligus tempat rias Monika. Monika segera turun dari tempat tidurnya dan mendekati Nico.
"Sudah dibilangin berapa kali sih? Tetap juga ngeyel! Lain kali cukur itu di kamar mandi?! Ngapain di sini?! Merepotkan?!" jengkel Monika segera membersihkan darah yang asyik menetes itu. Sekalian membantu menghentikan darah yang terkena goresan alat cukurnya.
Nico suka lihat Monika marah-marah tidak jelas. Ya, ini yang dinantikan Nico, walau tadi rayuannya tidak mempan. Tetap saja Monika selalu perhatian banget sama dia. Tanpa segan-segan Nico mendaratkan bibir ke pipi Monika.
Sontak Monika terdiam di tempat atas tindakan dilakukan oleh suaminya tadi. Monika langsung berikan mata elang padanya. Bagi Nico itu tidak akan mempan dia terus lakukan sampai istrinya meminta untuk berhenti.
"Kamu tahu aku lebih suka kamu marah daripada menatapku seperti itu," ucap Nico sambil menggombal.
Monika tidak bereaksi malah menekan kuat pada luka goresan cukuran itu, buat Nico kembali meringis sangat perih. "Auw!"
Monika beranjak dari tempat di mana Nico berada. "Setelah kamu selesai cukur, lap semua sampai bersih. Jangan sampai besok aku lihat ada noda merah di sana?!" pinta Monika kemudian dan tanpa beri kesempatan lagi untuk Nico mengangkat suara.
Nico kembali ter bengong-bengong. Dia tidak permasalahkan, gagal lagi, nanti juga akan jadi. Mungkin sekarang istrinya sedang PMS jadi wajar dia suka marah-marah tidak jelas.
****
Pukul 12 malam sudah cukup lama Rui di depan teras sampai lupa diri. Dia sampai ketiduran di pundak Bibi Ningsih. Lalu suara pintu terbuka seseorang muncul, Aldo.
"Biar aku saja, Bi. Bibi langsung istirahat saja," pinta Aldo, Bibi Ningsih pun mengangguk. Pembantu itu pun langsung masuk ke dalam.
Sebelum dia masuk, dia cuma minta Aldo perhatikan lebih Rui. "Bibi cuma minta Bapak perhatian lagi sama Ibu Rui, dia lebih butuh Bapak daripada lainnya. Kasihan dia, Pak," ujar Bibi Ningsih.
"Aku paham, Bi. Aku sudah dengar semua pembicaraan Bibi sama istriku. Terima kasih untuk sebelumnya," kata Aldo datar.
"Ya sudah, Bibi masuk dulu." Aldo mengangguk. Lalu memindahkan dirinya dan menyandarkan kepala Rui di pundaknya.
Rui merasa sandarannya agak beda, dia pun bangun dari tidur sambil mengucek-ngucek matanya. Dilihat bukan Bibi Ningsih lagi. Tetapi suaminya.
"Kamu sudah pulang? Aku bikin teh du--"
"Tidak perlu, sudah malam, aku tidak merasa haus," potong Aldo bersuara.
Rui duduk diam tidak ada lagi rasa kantuk dimatanya. Udara semakin mencengkram dan dingin. Dia lupa bawa selimut, bulu kuduknya pun merinding seketika. Selang beberapa kemudian, sebuah tangan menarik tubuh Rui ke pelukan. Rui sontak kaget dan mendongak menatap wajah Aldo di sana.
"Maaf, selama ini sudah buat kamu tertekan atas kelakuanku. Besok kita jemput Albert ke rumah Monika," ucap Aldo pelan, namun jelas.
Rui tidak menanggapi dia malah memperdalam kepalanya di leher suaminya. Aroma maskulin masih terasa. Aldo mengusap-usap bahu istrinya sebagai penghangat.
****
Nico naik tempat tidur sangat pelan sekali, tidak mau mengganggu tidur istrinya. Monika sudah terlelap dalam mimpi, tetapi dia merasa risih pada perutnya. Ya, Nico sedang meraba-raba bagian yang nyaman.
"Apa yang kamu lakukan? Mau tidur, tidur saja. Jangan banyak macam-macam," tegur Monika buat Nico tidak bisa berkutik.
"Cuma mau peluk saja kok, kok makin hari kamu agresif banget sama aku? Baru juga lakukan sekali sudah galak begini?" cibir Nico makin mendekati posisi yang memunggungi oleh Monika.
"Jangan mulai deh?!"
"Aku benar-benar mau loh, gimana dong?" bisik Nico memeras.
"Aku capek, Nico!"
"Capek besok tidak perlu masuk kerja, aku kasih kamu libur satu hari lagi," mohon dan berharap.
Monika berputar posisi dan sekarang sudah berhadapan dengan suaminya. Ekspresi Monika aneh, setelah menatap wajah suaminya lebih beda.
"Kenapa tidak dari dulu cukur sarang burung mu itu? Begini kan aku fresh lihatnya, walau pun ada bekas luka panjang di bagian matamu," ucap Monika jujur.
"Benarkah? Jadi selama ini kamu lihat wajahku itu seperti?"
"Gelandangan!" sambung Monika jujur.
Langsung Nico menunjukkan sikap tidak suka atas kejujuran Monika. Monika tidak takut kalau pun suaminya marah atas apa dia katakan tadi.
"Jadi sekarang yang kamu lihat?" Nico bertanya kali ini dia tulus. Selama ini dia tidak pernah mencukur wajahnya. Sekali cukur itupun bagian kumis.
Meskipun para anggota pekerja di perusahaan semua pada tidak suka dengannya tetap saja mereka masih bertahan di perusahaan dia bangun.
"Biasa saja, tidak ada yang berubah," jawabnya singkat dan padat.
"Hanya itu?"
"Hmm ..."
Lama saling bertatap mata, Monika ingin bertanya banyak hal pada suaminya, tapi dia ragu bahkan dia takut jika Nico marah besar padanya.
****