webnovel

Tycoon's Lover

Saat berusia 8 tahun, Lin Xiang kehilangan orang tuanya yang tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Saat pemakaman orang tuanya, dia bertemu dengan Gu Changdi yang baru saja kehilangan ayahnya dan sama-sama tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Lin Xiang tidak pernah tahu, pertemuannya dengan Gu Changdi kala itu akan membuat mereka terhubung di masa depan. Melalui Gu Changdi, Lin Xiang mengetahui fakta tentang identitas mendiang ayahnya. Perlahan Lin Xiang pun menemukan identitas jati dirinya. Gu Changdi, seorang taipan muda yang terkenal arogan, kejam, dan tidak punya hati. Namun, mereka tidak tahu bahwa Gu Changdi hanya akan berlaku kejam pada orang-orang yang mengusik kehidupannya, termasuk kehidupan bidadari hatinya, Lin Xiang. Dengan segala kekuasaan yang dia miliki, apapun akan Gu Changdi lakukan untuk melindungi Lin Xiang dan orang-orang terdekatnya. Mulai dari mengusut dalang pembunuhan ayahnya, hingga mengungkap jati diri Lin Xiang.

cloverqua · Urban
Not enough ratings
54 Chs

Merenung

Senja mulai terlihat.

Mata Lin Xiang dimanjakan pemandangan langit yang indah dan dominan warna oranye. Sensasi sejuk dirasakan oleh Lin Xiang, ketika angin sore berhembus lembut menerpa kulit wajahnya. Ia pejamkan matanya sejenak, menikmati suasana sore dari balkon kamar Gu Changdi.

Bibir gadis itu melengkung sempurna seiring helaian rambutnya yang bergerak mengikuti arah angin.

CKLEK!

Lin Xiang tidak menyadari sang pemilik kamar baru saja membuka pintu. Gadis itu terlanjur larut dalam dunianya sendiri.

Pemandangan yang bukan pertama kali Gu Changdi lihat, tetapi selalu berhasil membuat jantungnya berdebar liar dan sulit untuk dikendalikan. Momen yang paling dia sukai ketika melihat Lin Xiang memejamkan mata.

Hanya pada saat seperti ini, Gu Changdi bebas memiliki waktu untuk mengagumi kecantikan Lin Xiang. Bulu mata lentik, hidung bangir, bibir ceri yang sangat menggoda, dan rambut yang sangat halus bergerak mengikuti arah angin.

Tak mampu lagi menahan hasratnya, Gu Changdi melangkah maju. Ia mendekati Lin Xiang yang duduk di atas kursi roda. Hanya dalam sepersekian detik, Gu Changdi melingkarkan kedua tangannya di sekitar leher gadis itu.

"Apa yang sedang kau lakukan, hm?"

Agaknya Gu Changdi belum menyadari perubahan ekspresi wajah Lin Xiang. Ia terlalu asyik menyatukan pipinya dengan pipi Lin Xiang yang terlihat sedikit tirus.

Tak kunjung mendapatkan respon, Gu Changdi memilih berbalik, sampai dia menemukan warna merah mendominasi wajah Lin Xiang.

"Astaga! Wajahmu merah sekali! Apa kau demam?"

Lin Xiang menggeleng kencang. Tubuhnya sedikit berjengkit saat jemari tangan Gu Changdi menyentuh wajahnya dengan penuh kelembutan.

"A-Aku baik-baik saja," jawab Lin Xiang cepat. Ia meraih tangan Gu Changdi, bermaksud menurunkannya, tetapi Gu Changdi justru menggenggam tangannya dengan erat. Ia menahan napas ketika mendapati sepasang mata elang menatapnya lekat.

"Hanya perasaanku saja atau kau memang sedikit pendiam sejak pulang dari rumah sakit?"

Glek!

Lin Xiang menelan ludahnya kasar. Tidak menduga Gu Changdi menyadari gelagatnya yang memang lebih banyak diam semenjak pulang dari rumah sakit.

Lebih tepatnya, terusik akan permintaan Gu Jinglei beberapa hari lalu. 'Menikahlah dengan Gu Changdi.'

"Lin Xiang!"

"Iya?!" Lin Xiang berteriak kaget karena suara keras Gu Changdi. Ia spontan menunduk setelah bertemu sorot mata menyelidik milik Gu Changdi.

"Lihat, kau melamun lagi." Gu Changdi mendesah pelan. "Sebenarnya ada apa, hm? Apa kau sedang memikirkan paman dan bibimu itu?"

"Tidak ...."

"Lalu?"

Lin Xiang menggigit bibir bawahnya, menautkan jemari tangannya yang gemetar. Bukan karena takut, melainkan terlalu gugup untuk menyampaikan permintaan Gu Jinglei pada Gu Changdi.

"Ini soal kakekmu," jawab Lin Xiang kemudian.

Mata Gu Changdi membulat. "Kakekku?"

Lin Xiang mengangguk.

"Memangnya ada apa dengan kakekku?" tanya Gu Changdi kebingungan.

Bibir Lin Xiang mengerucut imut. Andai Gu Changdi tidak sedang menahan diri, sudah sejak tadi dia melumat habis-habisan bibir ranum nan menggoda itu.

"Kakekmu memintaku untuk menikah denganmu," cicit Lin Xiang dengan suara lirih. Sangat kecil, sampai Gu Changdi harus memasang telinganya baik-baik.

"Oh."

Mata Lin Xiang berkedip-kedip. Menatap Gu Changdi dengan ekspresi tidak percaya. Hanya ini reaksinya?

"Tunggu—" berselang beberapa detik, Gu Changdi mulai menyadari ada yang janggal dalam kalimat Lin Xiang. "APA?!"

Dan akhirnya berteriak seperti orang bodoh.

Lin Xiang berdecak. Dasar lamban!

"Ulangi kata-katamu!"

"Tidak ada siaran ulang!" Lin Xiang memundurkan kursi rodanya, tetapi berhasil dicegah Gu Changdi.

"Ulangi lagi kalimatmu tadi!"

"Tidak mau!"

"Lin Xiang ...."

"Tidak!"

Gu Changdi menggeram tertahan. "Ulangi atau aku akan memakan bibirmu!"

Mata Lin Xiang melotot lucu. "Kau mengancamku atau mencari kesempatan, hah?!" teriaknya dengan wajah marah yang sangat menggemaskan.

Bukannya marah ataupun tersinggung, Gu Changdi justru tergelak melihatnya. Ia senang melihat ekpsresi wajah Lin Xiang yang amat dia rindukan. Gu Changdi bukan orang yang bodoh. Ia menyadari bagaimana perubahan sikap Lin Xiang semenjak kejadian buruk yang menimpanya beberapa waktu lalu.

Awalnya Gu Changdi menduga Lin Xiang memikirkan paman dan bibinya yang masih mendekam di penjara. Ternyata ada hal lain yang jauh lebih mengusik pikiran gadis itu.

Kakeknya sendiri, yang sudah seenaknya melamar Lin Xiang tanpa seizinnya.

"Nona Lin Xiang?"

Obrolan keduanya terpaksa terhenti setelah terdengar suara Meimei. "Air mandinya sudah siap, Nona," tuturnya dengan sopan.

Rupanya mereka terlalu asyik berdebat, sampai tidak tahu Meimei sudah masuk di kamar Gu Changdi.

"Ah, baiklah." Lin Xiang memberi isyarat pada gadis itu untuk membantunya. Semula Meimei sudah bersiap untuk mendorong kursi roda itu, tetapi Gu Changdi mengambil alih dengan cepat.

"Biar aku saja."

Mata Lin Xiang mendelik horor. "Aku akan mandi dengan bantuan Meimei. Bukan denganmu," ketusnya.

"Jadi kau ingin mandi denganku? Baiklah, dengan senang hati, Tuan Putri," goda Gu Changdi semakin bersemangat.

"Hei! Kau ini memang—akh!"

Tawa Gu Changdi langsung hilang ketika mendengar rintihan kesakitan Lin Xiang. Ia terperangah mendapati Lin Xiang memegangi bagian punggungnya dengan wajah tampak tersiksa.

"Lin Xiang?!"

Rupanya Lin Xiang tidak sengaja bergerak sembarangan dan kurang berhati-hati. Padahal punggungnya belum pulih sepenuhnya setelah mengalami cidera di bagian tulang belakang.

Akibatnya, rasa sakit itu kini kembali datang.

"Sakit ...." lirih Lin Xiang dengan mata berkaca-kaca. Ia refleks meremas kuat lengan Gu Changdi. Napasnya sedikit terengah dan keringat mulai muncul di bagian pelipis.

"Ya Tuhan!" Gu Changdi bergegas membopong tubuh Lin Xiang kemudian membaringkannya di atas ranjang. Ia melirik Meimei yang sedari tadi ikut membantu dan juga terlihat panik.

"CEPAT PANGGIL DOKTER!"

Meimei mengangguk patuh dan segera berlari keluar kamar.

"Hiks ... sakit ...."

Gu Changdi menggenggam jemari tangan Lin Xiang. Dibawanya gadis itu ke dalam dekapannya, berusaha memberikan kekuatan dan ketenangan.

"Tahan sebentar. Kak Guxian akan segera datang,"

***

"Bagaimana kondisinya?"

Gu Jinglei bertanya pada Tan Guxian yang baru saja selesai memeriksa kondisi Lin Xiang. Dokter keluarga Gu itu tersenyum tipis sembari meletakkan stetoskop miliknya, kemudian menyiapkan peralatan medis lainnya dari dalam tas.

"Seharusnya Lin Xiang belum boleh terlalu banyak bergerak." Tan Guxian mengingat kembali pengakuan Gu Changdi, "Dia mengalami cidera parah di bagian tulang belakang. Sedikit saja dia memaksakan memutar tubuhnya untuk sudut tertentu, rasa sakit itu akan kembali kambuh."

Su Rongyuan menatap cemas pada Lin Xiang yang sedari tadi masih terisak dalam pelukan Gu Changdi. Sementara putranya tampak sibuk menenangkan gadis itu.

"Aku akan menyuntikkan obat penghilang rasa sakit."

Ucapan Tan Guxian disambut tatapan horor milik Lin Xiang. Menyadari perubahan ekspresi wajah gadis itu, Gu Changdi mencoba menenangkan, berusaha mengalihkan perhatian, walau sempat terjadi pemberontakan kecil dari Lin Xiang yang menolak untuk disuntik.

Gadis itu akhirnya menangis tersedu-sedu setelah Tan Guxian selesai menyuntikkan obat penghilang rasa sakit ke tubuhnya.

Gu Jinglei dan Su Rongyuan hanya bisa tersenyum prihatin. Ini memang bukan hal pertama kali melihat reaksi Lin Xiang. Saat masih menjalani perawatan di rumah sakit, gadis itu bereaksi sama setiap kali tim medis menyuntikkan cairan sesuatu ke dalam tubuhnya, atau sekedar mengambil sample darah.

Dan hanya Gu Changdi saja yang mampu menghentikan tangisan Lin Xiang.

"Untuk berjaga-jaga, aku memberikan resep obat penghilang rasa sakit." Tan Guxian memberikan secarik kertas pada Meimei. "Ingat, obat ini hanya diminum jika rasa sakit itu kembali muncul. Selebihnya, Lin Xiang hanya perlu rutin melakukan terapi sesuai jadwal."

"Kami mengerti. Terima kasih atas pertolonganmu," tutur Gu Jinglei. Ia melirik Meimei untuk mengantar Tan Guxian sampai ke depan mansion.

"Jangan terlalu sungkan. Ini memang sudah tugasku." Tan Guxian tersenyum ramah lantas memandangi Lin Xiang yang terlihat mulai sedikit tenang, "Jangan memaksakan dirimu untuk terlalu banyak bergerak. Atau kau akan merasa kesakitan seperti tadi."

Lin Xiang mengangguk-angguk dengan bibir mengerut lucu. Mengundang tawa gemas milik Gu Jinglei dan Su Rongyuan.

"Aku permisi." Tan Guxian kali ini beralih melirik Gu Changdi. "Dampingi dia selama menjalani terapi, dan usahakan harus rutin sesuai jadwal jika ingin secepatnya kembali berjalan seperti semula."

"Aku mengerti. Terima kasih, Kak."

Gu Changdi bernapas lega setelah mengetahui kondisi Lin Xiang masih ambang batas aman. Ia khawatir kejadian sebelumnya kembali terulang pada gadis ini.

TO BE CONTINUED