webnovel

Tertangkap basah

LANGKAH kaki gadis itu, terus berjalan ke arah kantin. Walaupun pikirannya penuh oleh kebingungannya kepada sahabatnya tadi, tapi siomay selalu mengetuk keras pintu pikirannya. 

"Benar. Siomay. Aku harus makan siomay hari ini. Aku sudah menginginkannya kemarin bersama Maya. Tapi hari ini Maya tidak bergairah. Dia juga nampak aneh. Baik. Otak dan hatiku harus sinkron. Temui kak Radit karena pasti ada Maya. Atau makan siomay saja?" gumamnya. 

"Makan siomay saja, Kanisa. Mau bersama?" tanya seorang laki-laki di sebelahnya datang tiba-tiba. 

"Ah, siapa?" tanya Kanisa bercanda. 

"Enak saja pura-pura tidak tahu. Ini kakakmu, tahu," jawabnya sambil menggandeng tangan Kanisa. 

"Kakak ipar lebih tepatnya," jawab Kanisa membisik. 

Sebut saja laki-laki itu, Angga. Dia adalah kakak Kevin-kekasihnya Kanisa. 

"Ah, mendengarnya membuat hatiku sakit," kata Angga yang memegang dadanya berat. Tentu saja, dia bercanda. 

"Kakak kenapa sendiri? Kak Radit kemana?" tanya Kanisa. Dia sengaja menanyakan hal itu. Penasaran saja. 

"Bukannya dia menemui Maya, ya?" tanyanya kembali. Sambil menatap Kanisa dengan kepala miringnya. 

"Ah, iya. Benar. Dia menemui Maya," jawabnya murung. 

"Kenapa murung begitu? Kalau tidak ada Maya, ada aku, 'kan?" kata Angga yang menatap Kanisa dekat. 

"Mm, kak. Aku pergi dulu, ya. Lain kali aku traktir siomaynya, deh," pamit Kanisa. Dia berlari meninggalkan laki-laki tampan di sana. 

Angga mengeraskan wajahnya. Matanya menatap tajam punggung Kanisa yang mengecil. "Kanisa, kamu akan kecewa," ucapnya dengan mulut yang sedikit miring. Laki-laki itu pun membalikan tubuhnya untuk menghampiri kantin yang sedikit lagi dapat dia dan Kanisa kunjungi tadi. 'Huft, tidak jadi bersama si cantik, deh,' gumamnya. 

Sementara itu, gadis yang meninggalkan Angga tadi, kini dia sedang mengatur nafasnya. Entah kenapa, Kanisa berlari. Menaiki tangga tanpa memelankan langkahnya. Tidak satu kali, dia menabrak seseorang yang sedang berjalan. Pikirannya, jelas tidak karuan. 

Begitu sampai di pojok tangga, dia hanya perlu menaiki tujuh tangga lagi untuk ke tempat tujuannya. Namun, dia memilih berhenti dan mempersiapkan hati. "Hah! Hah! Lelahnya. Ah, kenapa aku sejauh ini, ya. Aku harusnya makan saja bersama kak Angga. Tapi, aku khawatir dengan kak Radit dan Maya," ucapnya kepada pot bunga di depannya. "Aku takut, tidak bisa memilih antara mereka. Apakah mereka akan berbicara pilih siapa?! Ah, sudahlah. Aku sudah jauh berlari dari lantai bawah. Aku harus melerai mereka jika ada apa-apa," sambungnya. 

Kanisa pun mulai menaiki tujuh tangga tersisa. Jika tadi dia berlari. Kini, dia mengendap. 

Saat Kanisa mau membuka pintu, seorang laki-laki menariknya dan menutup mulutnya dengan tangan laki-laki itu. 

Kanisa berteriak di dalam ruang sempit tangannya itu. Dia mulai menatap laki-laki itu. Matanya membelalak. "Kakak?" kata Kanisa pelan. 

Radit memasang telunjuknya di bibir. "Suut! Jangan bicara dan dengarkanlah," perintah Radit. 

Kanisa masih memandang Radit dengan heran. Kenapa Radit ada di sini? Harusnya Radit bersama Maya, pikirnya. 

Sampai suatu kalimat membuat jantung Kanisa berdetak hebat. 

"Aku hamil," ungkap Maya kepada seseorang. 

"Hamil? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk meminum obat itu? Maya, jangan-jangan kamu tidak meminumnya, ya?!" sentak seorang laki-laki yang dikenal jelas siapa orangnya oleh Kanisa. 

Tanpa sadar, Kanisa meneteskan air matanya. Tidak mau suaranya terdengar, dia menutup keras mulutnya itu. 

"Kenapa jadi kamu yang marah? Ini kesalahan kita!" balas Maya kepada laki-laki itu. 

"Sudah berapa lama? Hah?!" teriak laki-laki itu. Matanya memerah bersamaan dengan wajahnya.bLaki-laki itu, tampak menakutkan. 

"Empat minggu," jawab Maya. Dia memalingkan wajahnya. Karena Maya tidak suka ditatap tajam olehnya. 

"Masih muda. Gugurkan! Aku tahu tempatnya. Malam ini, ikut aku! Jangan les dulu," perintah laki-laki yang sedari tadi berbicara dengannya. 

"Kamu sayang aku, 'kan?" tanya Maya kepadanya. Dia mulai berani menghampiri laki-laki itu dengan air mata yang membanjiri ruang itu. 

"Apakah itu penting? Jangan menyebalkan, dong, Maya! Tidak ada yang penting dari pada menggugurkan anak sialan itu!" umpatnya. 

Air mata Maya semakin deras. Dia tidak menyangka dengan apa yang dikatakan kekasihnya itu. "Cih, kamu pikir aku akan menggugurkan anak ini? Aku akan membesarkannya!" lirih gadis itu. Dia berjalan mundur sambil melindungi kandungannya. 

Laki-laki itu terus maju untuk melakukan kekerasan terhadapnya. 

BRAK!

Pintu tersebut, berhasil dibuka dengan tendangan yang kuat oleh Kanisa. "Berhenti! Kevin!" timbrung gadisnya itu. 

Kevin dan Maya mematung ditempat. Mereka menatap keadaan Maya dengan diikuti Radit. 

"Ka-kanisa. Sejak kapan kamu ada di sana? I-ini tidak seperti yang kamu dengar. Ka-kami tidak seperti itu," papar Kevin yang tidak jelas. Perkataan yang terbata-bata itu, dibalas dengan tatapan dingin kedua adik kakak itu. 

"Maya, tidak ada yang ingin kamu katakan, ya?" tanya Kanisa yang masih memandang ramah. Walaupun hatinya sangat ingin mengumpat sahabatnya itu. Entah kenapa, bukti jelas seperti ini, Kanisa masih ingin mendengar penjelasannya. Berharap apa yang didengarnya itu salah. 

Maya menatap tajam sahabatnya dengan air mata yang terus berjatuhan. "Benarkah? Kamu ingin mendengarnya?" tanya Maya. Dengan kepala yang sengaja dimiringkan. 

Radit yang melihatnya, membuat dirinya bergidik ngeri. Bagaimana mungkin seorang sahabat menatap adiknya tidak malu seperti itu. 

Kevin menyangkal. "Maya! Jangan bicara yang aneh-aneh!" larang Kevin. 

Namun, Maya tidak mendengarkan larangan Kevin. Dia merasa hancur saat ini. Dan dia tidak mau lebih hancur dari ini. "Kanisa, apa yang kamu dengar itu benar! Entah sejak kapan kalian mendengarkan pembicaraan kami. Namun, kami sudah memiliki hubungan tiga bulan lalu. Aku dan Kevin melakukan kesalahan hingga memunculkan janin ini," paparnya sambil sesekali menatap tajam Kevin yang sudah di halau Radit. "Menyerahlah, Kanisa. Kevin tidak pantas untukmu. Kamu tidak perlu memiliki semuanya. Aku kesal, karena kamu memiliki kekasih tampan, kakak yang baik dan keluarga yang harmonis. Tidak ada salahnya, aku merebut salah satu darimu. Kamu ... tidak berhak menyangkal, Kanisa," lanjutnya, tanpa melembutkan rahangnya itu. 

Kanisa tidak berhenti menangis dengan bibir yang sengaja dia gigit. "Kamu tahu aku kecewa. Tapi kamu tidak mau minta maaf atas kesalahanmu, hah?!" kata Kanisa berteriak. 

"Itu salahmu. Salah kamu yang serakah memiliki semuanya. Bukannya kamu yang harus minta maaf? Bagaimana dengan berlutut kepadaku?" ucapnya menghina. 

Radit yang tidak tahan dengan gadis itu, dia berlari untuk memukul Maya. Namun, ditahan cepat oleh adiknya. "Cukup, kak. Kita tidak perlu menghabiskan tenaga kita di sini. Kita harus menghadiri makan malam keluarga kita tercinta," ucapnya dengan penuh penekanan. 

Kini, Radit dan Kanisa pun berjalan bersamaan menuruni tangga. Untuk melanjutkan kegiatan belajar selanjutnya. 

Kevin mengikutinya dari belakang. Dia mengejar Kanisa dan Radit. Dia juga memohon-mohon kepada mereka. 

"Kevin, kalau kamu mengikuti kami terus, kamu bisa mati. Urus saja calon istri dan anakmu itu!" sentak Radit sembari memegang bahu adiknya lembut. "Ayo, Kanisa. Kamu cari pacar baru saja," sindirnya. 

"Arghhh!" raung Kevin. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa saat ini.