webnovel

Tawaran Menakjubkan

HARI ini, bagaikan bencana besar tanpa aba-aba. Kanisa masih ingin bahwa yang dilihatnya adalah mimpi seperti malam kemarin. Sahabat yang dia percaya selama ini, telah berkhianat. 

Waktu yang pas untuk melamunkan hal tadi. Alih-alih mengerjakan tugas matematika, Kanisa lebih memilih untuk menempelkan pipinya di buku yang dipenuhi angka tersebut. 

Hingga seorang teman menyentuh punggung Kanisa dengan bolpoin. "Kanisa, Maya kemana?" tanya Linda. 

Kanisa hanya menggelengkan kepalanya.

"Mereka marahan sepertinya," bisik Linda kepada teman sebangkunya. 

"Pasti Kanisa yang mulai duluan," jawabnya dengan berbisik kembali. 

'Hah, bahkan teman-teman mengira aku yang jahat di sini. Menyakitkan sekali. Maya, kenapa kamu iri padaku? Teman-teman akan memihakmu jika kamu mengatakan kebohongan tentangku di sini sekalipun.  Huft, tidak pernah marahan. Sekalinya marahan, tidak bisa dimaafkan,' batinnya. 

Gadis itu membalikan posisi pipinya itu ke sebelah kanan. Sengaja, dia menatap lama tas milik Maya yang di sampingnya. 'Maya, aku bahkan ingin kamu mengatakan hal lain tadi. Kenapa kamu sangat jujur? Kenapa tidak berbohong saja, agar kita bisa tetap berteman,' batinnya kembali.

Kanisa mulai menutup matanya pelan. Namun, suara yang memanggilnya begitu mengganggu. 

"Hey, hey, Kanisa! Kanisa!" panggil Angga. Dia berseru dengan suara yang setengah pelan dibalik jendela kelasnya yang terbuka. 

"Kak Angga, ada apa? Kanisa mau tidur, tahu," jawabnya sembari menutup kembali matanya. 

Angga melempar kertas yang sudah dibulatkan. "Kanisa, bangun dulu. Ini penting," katanya kembali. 

"Ck, penting apa, kak Angga?" tanya Kanisa yang mulai berdiri dan menghampiri jendela terbuka tersebut. 

"Duh, Kanisa. Tidak nyaman jika berbicara seperti ini. Ini mirip istri yang menjenguk suaminya di balik jeruji besi, tahu. Sedih sekali," rengeknya yang membuat Kanisa memutar bola matanya. 

"Hey, Haikal, izin keluar, ya," kata Kanisa kepada Haikal. Laki-laki berkacamata itu menganggukan kepalanya dengan tangan yang masih setia mengerjakan tugasnya. 

"Haikal, tugasnya pasti dikumpulin, ya?" tanya Kanisa kepada manusia dingin dan ambisius itu. 

"Iya, makanya jangan lama-lama keluarnya. Mau mencari Maya, ya?" tanya Haikal yang mulai menatap dan membenarkan kacamatanya itu. 

"Tidak. Ada yang mau ka Angga bicarakan. Boleh, ya, Haikal?" tanya nya kembali. 

"Boleh. Tapi jangan lama," balasnya yang dibalas dengan tepukan pelan pada kepala Haikal. 

Kanisa pun menghampiri Angga. Walaupun para Guru sedang rapat, Kanisa tetap melihat kanan kiri guna memastikan tidak ada yang melihatnya. "Ada apa, kak Angga?" tanya Kanisa dengan wajah menengadah, karena Angga sangat tinggi. 

Angga mendekatkan wajahnya. "Hm? Kamu habis menangis? Siapa yang menyakitimu? Kevin, ya? Mana dia?" tanya Angga panik. Dia tampak sangat perhatian kepada gadis itu. 

'Sial, mataku masih terlihat sembab, ya,' batinnya. "E-eh, aku menangis karena tidak bisa mengerjakan tugas matematika. Maya sedang ada urusan. Jadi aku tidak bisa mencontek padanya," elak gadis itu terlihat meyakinkan laki-laki dihadapannya. 

"Benarkah? Kalau begitu, berikan tugasmu. Biar aku yang kerjakan. Kamu tahu, 'kan? Aku juara olimpiade matematika berturut-turut," ungkapnya dengan sedikit sombong. 

"Ah, benarkah? Apa tidak apa-apa? Kak Angga mau bicara apa tadi?" tanya Kanisa. 

"Berikan saja dulu tugasmu. Habis itu, aku akan bicarakan maksudku datang ke sini," perintahnya. 

"Ah, baik. Aku ambil dulu bukunya," kata Kanisa yang memasuki kelas itu. 

Kanisa memberikan tugasnya. 

"Ah, ini gampang, Kanisa. Hanya lima soal anak kelas sepuluh. Aku bahkan bisa mengerjakannya dengan mata tertutup. Mau lihat?" tawar Angga dengan atraksi anehnya tersebut. 

'Ah, dasar anak gila,' batinnya. "Ti-tidak perlu, kak. Aku lebih suka kakak mengerjakan seperti biasa," balasnya kaku. 

"Selesai," kata Angga yang membuat Kanisa membuka matanya lebar. 

"Hah? Kak Angga, hebat sekali. Terima kasih, ya. Oh,  jadi mau membicarakan apa?" tanya Kanisa kepada Angga yang menatapnya dalam. 

"Hah? Oh, begini, Kanisa. Kak Rangga menawarimu lomba menulis. Kebetulan kantor tempat ka Rangga bekerja, sedang mengadakan lomba dengan hadiah keren, lho, Kanisa. Juara 1-3 dapat uang puluhan juta dan bisa bertemu dengan penulis terkenal Indonesia. Kalau Kanisa masuk ranking 100 pun, Kanisa dapat menerbitkan buku Kanisa. Kanisa dulu pernah bilang, 'kan? Kalau Kanisa mau menerbitkan buku? Bagaimana? Mau, 'kan? tawar Angga. 

"Kanisa mau mencoba, kak. Boleh minta nomor ka Rangga?" pinta Kanisa dengan telapak tangan yang terbuka. Mirip anak kecil yang meminta uang jajan kepada ibunya. 

"Aduh, Kanisa. Kamu ke rumah saja langsung. Aku bakal antar kamu setiap hari. Kalau kamu mau aku mengerjakan tugasmu lagi, aku siap, kok. Aku pintar semua mata pelajaran, lho. Terus, kalau kamu mau nikah sama aku, ayo! Kita tinggal bilang sama orang tua aku. Oh, ya, mereka suka banget sama kamu, lho. Mm, kata ka Rangga, kamu juga berbakat banget," kata Angga yang tidak berhenti berbicara dan masih memikirkan mau bicara apa. 

"Tidak apa-apa, kak. Minta nomor ka Rangga, ya" pintanya dengan senyum keras. 

Angga pun memberikan nomor kakaknya itu. Dan Kanisa pun memasuki kelasnya kembali dengan buku matematika yang sudah dikerjakan Angga tadi. Kanisa juga ikut mengumpulkan tugasnya. 

Teeet!

Bel pulang berbunyi. Kanisa terburu-buru mengemasi barangnya. Tidak lupa, dia membawa tas milik Maya juga. 

Saat Kanisa berjalan keluar, Maya sudah menatapnya tajam di hadapannya. Maya langsung merebut tas miliknya itu dari tangan Kanisa. 

"Maya!" panggil Kanisa, tanpa jawaban sahabatnya itu. 

"Kanisa!" panggil Angga. Di sampingnya ada kakaknya, Radit. 

Kanisa menghampiri mereka. "Kak Radit, sudah tahu, 'kan? Kanisa mau ikutan lomba, lho," kata Kanisa yang intinya, dia ingin meminta izin tidak pulang ke rumah dahulu. 

"Iya, jangan sampai malam, ya. Angga, aku titip dia ke kamu, ya. Aku ada urusan," pintanya. 

"Kak Radit, mau kemana?" tanya Gadis itu. 

"Kakak harus urus anak-anak. Kamu baik-baik sama Angga, ya. Jangan malu-maluin," sindir Radit. "Kakak pulang duluan, ya. Ga, titip, ya," sambungnya. 

"Tenang saja, Dit. Yuk, Kanisa. Kita menikah," canda laki-laki tampan dan ekstrovert itu. 

Kanisa tidak menghiraukan candaanya. Dia hanya menggeleng-geleng kepalanya. 

***

Saat ini, gadis itu sedang berbincang riang dengan Rangga. Rangga banyak memberikan masukan terhadap naskah miliknya. 

"Aku sudah membaca beberapa karyamu. Sebagian, Angga sudah meringkasnya untukku. Ternyata, kamu lebih senang membuat cerita sad ending dengan tokoh utama pria maupun wanita yang berakhir mati. Bagaimana jika mencoba hal baru? Buatlah cerita dengan ending berbeda. Kemudian, aku merasa Railo-pemeran utama di naskah, tidak mendapatkan cinta dan tidak memberikan cinta kepada seorang gadis. Kamu bisa menambahkan satu tokoh ke dalamnya. Buatlah Railo tidak merasa sendiri. Dan berikan peran penting yang perlu kamu tambahkan tadi. Sejauh ini, cerita ini menarik. Sudah, hanya itu. Jika ada yang ditanyakan, kamu bisa hubungi aku, ya," paparnya. Rangga tampak ramah dan sabar. Kanisa bahkan tidak berhenti membinarkan matanya. 

"Sama aku juga bisa, Kanisa. Kak Rangga sering sibuk soalnya," timbrung Angga. 

"Tidak! Ini tanggung jawabku. Jangan menghubungi selain aku, ya, Kanisa," pintanya yang dibalas anggukan Kanisa cepat.