webnovel

Rumah

SETELAH tiga hari dirawat, Kanisa sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. 

"Dokter tampan, terima kasih, ya. Sudah merawatku selama ini. Aku akan datang untuk membuka jahitan di keningku," kata Kanisa sumringah. Sementara Elo, dia mematung tajam di dekat pintu. 

"Iya. Lain kali hati-hati, ya. Jangan pulang malam-malam sendiri," jawab Dokter itu dan disusuli mengusap kepala Kanisa pelan. 

Kanisa tersipu malu. Dia membelokan kepalanya ke belakang. Menatap Elo dengan perasaan senang. Memberi tahu tanpa sengaja bahwa manusia tampan ini sudah mengusapnya. Elo memutar matanya menjijikan. 

"Ah, terima kasih, Dok. Kami pergi dulu," kata Elo yang menarik lengannya Kanisa. Namun, Kanisa tetap tidak berhenti melambaikan tangannya kepada Dokter tampan tadi. 

"Hey, sudahlah. Jangan melambai terus. Ah, kamu ini merepotkan, ya," kata Elo sembari menuntun Kanisa duduk di kursi mobil miliknya. 

Di tengah perjalanan, Kanisa terus memilih musik acak. Lagu yang diputar, tidak pernah di dengar sampai akhir. 

"Kanisa! Berisik, tahu! sentak Elo yang sedang menyetir mobilnya itu. 

Kanisa tersentak kaget. "Ya, maaf. Kamu tidak pernah mendengar lagu, ya? Kamu pemarah banget, sih. Kamu mau tahu? Pendapatku tentangmu?" tanya Kanisa kepada Elo. 

Elo meregangkan kepalanya. "Apa?" tanya Elo penasaran, namun sedikit gengsi. 

"Saat pertama kali bertemu, kamu ini menyebalkan sekali. Kamu kerja kepada Reza, 'kan? Aku yakin, bayaranmu sangat tinggi. Tapi, kenapa kamu marah-marah terus? Salah banget, ya naskahku? Hey, asal kamu tahu, ya. Aku menghabiskan waktu satu tahun untuk menulis novel ini. Itulah kenapa, aku puas dengan endingnya. Eh, ka Rangga malah bilang harus di rombak beberapa," kata Kanisa. Dia mengerucutkan bibirnya. 

"Hah, iya, iya. Maaf, deh. Karena sering marah. Sudah, sekarang kita turun," kata Elo yang membantu Kanisa membuka pintu. 

Kanisa tidak berhenti terpukau dengan rumah besar lima lantai tersebut. Dia tidak habis pikir dengan Rangga. "I-ini rumahku? Besar sekali. Rumahku saja tidak sebesar ini," kata Kanisa senang.

Elo mengangkat alisnya sebelah. "Bukan. Rumahmu yang sebelahnya," kata Elo cepat. 

Kanisa memurungkan kembali ekspresinya. Padahal, dia sudah sangat senang dengan rumah ini. Ternyata, Rangga memberinya rumah peninggalan belanda. Rumah sederhana dengan satu lantai, dan banyaknya tanaman. "Kamu bilang rumahku besar. Dasar pembohong!" umpat Kanisa. 

Kanisa tampak memasuki rumah itu dengan menghentak-hentak kakinya keras. Hal tersebut dilihat Elo dan Elo pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku pikir, ini cukup untukmu, Kanisa," kata Elo yang berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum. 

"Wah, bagus, sih. Mirip rumah nenekku di Bandung. Oh, ya, mana rekening?" pinta Kanisa tidak sabar. 

Elo memberikan satu rekening tersebut. "Ini, untuk biaya hidup satu bulan. Bulan-bulan berikutnya, Rangga akan tambahkan untukmu," jawabnya. 

"Hah? Sebulan? Ini sangat banyak, Elon. Aku bahkan bisa tinggal di tempat lain. Lalu, rumah ini pakai saja untuk syuting film. Benar, kan? Pintar juga aku," kata Kanisa dengan percaya diri. 

"Ya, itu terserah kamu. Oh, ya, uang itu juga termasuk membantu Railo, ya. Jangan di makan sendiri uangnya. Ingat, uang itu titipan. Dan tidak sepenuhnya milik kita. Kamu harus sering bersedekah juga, ya. Supaya berkah," kata Elo yang menasihati Kanisa. Dia tampak seorang kakak bagi Kanisa. Walaupun sifatnya kadang menyebalkan.

"Iya, iya. Aku paham. 100 juta ini lebih dari cukup. Biaya hidup di sini juga sama, 'kan? Dengan di duniaku?" tanya Kanisa. Dia tampak mengusap-ngusap  dompetnya tersebut. 

"Sama, kok. Cireng satu ribu satu saja, kamu masih bisa menemuinya. Ya, kamu lebih tahu. Ini ceritamu, 'kan?" kata Elo. 

"Kamarku di mana, Elo?" tanya Kanisa. 

"Ini kamarmu. Pakaian dan perlengkapan sudah ada di sini. Jika kurang, beli saja sendiri," kata Elo yang mengambil kunci mobilnya. 

"Eh, mau kemana?" tanya Kanisa. Menghampiri Elo. 

"Pulang lah," jawab Elo dengan sinis kembali. 

"Kok, pulang?" tanya Kanisa pura-pura sedih.

"Aku juga punya rumah. Kenapa harus menemani bocah sepertimu?" jawab Elo yang menoyor kening Kanisa. 

"Hey, aku bukan bocah, ya. Kamu saja kayak pria tua. Masa janggutnya banyak banget. Ga pernah dicukur, ya? Apa jangan-jangan, tidak pernah mandi?" kata Kanisa yang tampak menyerang Elo. 

Elo tidak menggubrisnya dan malah memasuki mobil untuk pulang. 

Kanisa yang melihatnya lebih kesal. "Ish, merasa paling hebat saja dia. Oh, ya, aku harus melihat-ihat kembali," kata Kanisa. 

Setelah Kanisa melihat-lihat dan membersihkan diri, Kanisa mulai melihat ponselnya. Benar saja, waktu menunjuk mundur. "Ah, benar. Ini cerita Railo, bukan aku. Benar saja waktu mundur seperti ini. Hah, tenang saja, deh. Tidak memerlukan satu tahun waktu manusia, untuk Railo tumbuh menjadi remaja SMA. Hm, kapan, ya? Aku berteman dan berbincang bebas dengan Railo? Saat ini, aku hanya bisa melindungimu dari kejauhan, Railo," kata Kanisa yang menatap bulan sabit di malam itu. 

***

Matahari tersenyum indah. Kanisa yang sudah bangun lebih pagi dari matahari, sangatlah senang. Dia sudah berjalan mengelilingi komplek ini. Suasananya sejuk. Bagaimanapun Kanisa berjalan lebih jauh, dia teringat almarhum neneknya. 

"Hah, dulu aku sering datang ke tempat seperti ini. Setiap lebaran, ayah dan ibu mengajakku untuk silaturahmi di sana. Sudah lama, ya, nek. Kamu tidak melihat cucumu yang bertumbuh cepat ini. Jadi rindu," kata Kanisa yang menatap potret neneknya di ponsel. 

"Ah, iya. Aku baru ingat! Aku harusnya mencari Railo," kata Kanisa. Dia berdiri dengan cepat. Roti yang seharusnya dia makan, masih terbungkus rapi di depan meja teras. 

Gadis itu pun, mulai membersihkan diri dan berganti baju. Tidak lupa, kacamata hitam dan topi hitamnya. 

Kanisa bercermin. "Ini bagus tidak, ya? Orang-orang memakainya cantik. Tapi aku? Aku seperti preman. Ah, sudahlah. Aku harus mencarinya bahkan sampai malam pun," katanya kembali. 

Saat Kanisa berjalan keluar, dia menemukan kucing  berwarna putih. Kucing itu tampak memanggil dan mengendus-ngendus roti Kanisa yang tidak jadi dia makan tadi. 

"Halo? Wah, cantik sekali kucingnya. Kucing siapa, ya, ini? Aku culik saja, ya? Meng, mau aku culik, tidak?" tanya Kanisa kepada kucing yang mengeong tanpa henti. 

"Baiklah, ini untukmu, ya. Kalau sering ke sini, aku akan memberikanmu makanan setiap hari. Aku pergi dulu, ya," ucapnya. Kanisa berjalan keluar untuk menjalankan misi pertama. 

Kanisa tampak sedang berjalan tidak jauh dari komplek, tidak jarang dia disapa oleh tetangganya. Tidak ada yang curiga dengannya. Mereka tahu bahwa Kanisa tinggal sendiri dan orang tuanya sedang di luar negeri. Namun, Kanisa semakin was-was. Jika mereka merasa aneh kalau Kanisa tidak bertambah tua sebelum Railo seusia dengan dirinya. 

"Harusnya aku cepat-cepat pergi dari sini. Tidak lucu, 'kan? Kalau mereka tiba-tiba mengira aku vampire," ucapnya.