webnovel

Munculnya Wujud

LANGIT semakin gelap. Kanisa sangat sibuk hari ini. Dia yang berniat datang ke rumah Maya setelah makan malam, ditentang keras oleh kakaknya. Alhasil, Kanisa kembali duduk di meja belajar, saksi dia yang sering menumpahkan isi kepalanya di sana. 

Kanisa sedari tadi mengecek ponselnya. Berharap 12 pesan dapat Maya balas. 

Tring!

Notifikasi masuk handphonenya. Padahal, Kanisa sudah pasrah jika Maya mengabaikannya. 

"Hah? Bukan Maya, ya," kata Kanisa kecewa. 

Dia malah mendapat pesan yang tidak kalah penting sebenarnya. Rangga mengirimkan pesan aneh untuknya. "Kanisa, buka buku milik aku halaman 58. Di sana ada daun dan surat untukmu. Semoga kamu belum tidur. Semoga berhasil, ya," kata Rangga dari pesan masuknya itu. 

Kanisa membuka buku itu. Sesuai perintah Rangga, setelah mendapatkan daun itu, dia mulai membaca suratnya. Surat itu berisikan bahwa, Kanisa harus membuat tanda tangan menggunakan tinta yang sudah disiapkan Rangga tadi, dengan ibu jari yang ditempelkan di daun itu. Kemudian, meniup tiga kali daunnya dengan mata tertutup dan membuka matanya pelan. 

"Kak Rangga ada-ada saja. Tapi tidak apa-apa, deh. Coba saja walaupun terdengar gila," ucapnya sambil mempraktekan perintah Rangga. 

Setelah Kanisa melakukannya, dia sudah ditahap membuka matanya karena selesai. 

Tiba-tiba, seseorang yang mirip dengannya duduk di hadapannya. Kanisa jelas terkejut. Untung saja, suaranya tidak terdengar ke luar. 

"Ka-kamu siapa?" tanya Kanisa takut. Bagaimana mungkin dia mendapati orang yang mirip dengannya. 

"Aku adalah kamu," jawabnya dingin. 

"Kenapa kamu tiba-tiba muncul? Ah, aku sudah gila karena Kevin sialan itu!" umpatnya pada diri sendiri. 

"Kamu tidak sedang bermimpi. Aku ke sini karena kamu meniup daun itu," katanya sambil menunjuk daun yang diberi tinta tadi. 

"Aku masih tidak mengerti dengan semuanya," kata Kanisa frustasi. Dia tampak mengacak rambutnya kasar. 

Dia mulai menghampiri Kanisa. "Aku akan menjelaskan dengan singkat. Sebelum aku selesai bicara, jangan pernah menyangkalnya. Aku adalah jiwa yang menggerakan kamu untuk menulis cerita. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menulis cerita. Tapi, banyak yang hanya mampu mengurung kami di pikirannya, tanpa mau membuat cerita. Hal ini, membuat kami sakit. Benar. Itulah mengapa saat manusia menumpahkan ide ceritanya, mereka merasa sedikit tenang ataupun puas. Kami pun sama. Kami yang terlahir harus hidup bebas di manapun. Dan aku adalah salah satu yang beruntung bisa hidup di pikiranmu. Lebih beruntung lagi, Rangga bisa membantuku menjadi wujud manusia. Dan tugasku sekarang adalah, menggantikanmu hidup sementara di dunia manusia. Kenapa? Karena kamu memiliki cerita yang perlu kamu ubah beberapa dan perlu pemeran  tambahan. Kamu pikir, kamu hanya perlu menuliskan nama siapa saja dengan bebas, 'kan? Tidak. Rangga berbeda. Jika naskahmu sudah diurus Rangga, maka kamu harus masuk naskahmu sendiri. Kamu wajib hidup di sana sampai akhir cerita. Dan aku akan menggantikanmu hidup di dunia. Kamu tidak perlu khawatir jika takut merasa berbeda. Aku adalah kamu. Dan aku tidak akan pernah berkhianat. Aku tahu segalanya tentang kamu. Aku pasti berusaha menjadi dirimu. Maka dari itu, aku mohon, jangan biarkan Railo hidup menderita, Kanisa," pintanya. 

"Singkat bagaimana? Kamu menjelaskannya cukup panjang. Ck, jadi kamu mau aku menemani Railo? Huft, padahal aku puas dengan kehidupan Railo yang menderita dari awal sampai akhir. Bukankah itu berbeda? Maksudku, orang seperti Railo itu jarang," belanya. 

"Kamu sudah sangat sering menyakiti Railo, Kanisa," ucapnya tegas. 

"Maksudmu?" tanya Kanisa yang bertambah bingung. 

"Setiap kali kamu membuat cerita, semua pemeran di novel pertama, kedua, dan seterusnya adalah orang yang sama. Hanya nama mereka saja yang berubah," jelasnya tanpa bernafas. 

"Hey, aku tidak pernah berbicara dengan satu kali nafas seperti itu. Ingatlah," perintah Kanisa. 

"Oh, baiklah," jawabnya kaku. 

"Baik. Aku mulai mengerti. Kalau begitu, bagaimana dengan Railo? Dia pun sama? Aku tidak membuat semua peran menyedihkan. Hanya pemeran utama saja," sangkal Kanisa. 

"Karena kamu selalu membuat perawakan yang sama, selama ini, Railo selalu menjadi pemeran utama itu, Kanisa," jawabnya sembari mendekatkan diri kepada Kanisa. 

"Hah? Benarkah? Aku jadi merasa bersalah padanya. Tapi, apakah aku harus percaya padamu? Pada semua kekonyolan ini?" tanya Kanisa kepadanya. Tidak lupa, dia menyelipkan tawa remeh. Yang membuat Kanisa kedua terdiam dingin. 

"Dengan kamu bisa melihatku, mendengarkanku berbicara dan kamu bisa memegangku. Harusnya itu membuat kamu sangat percaya, Kanisa," jawabnya sambil menuntun tangannya untuk menyentuh tangan dan kepala Kanisa kedua itu. 

Kini, Kanisa mulai sedikit mempercayainya. "Baik, kalau begitu, bagaimana caranya agar aku masuk naskahku?" tanya Kanisa kembali. Dia cukup yakin dan penasaran. 

Kanisa kedua menuntunnya. "Pertama-tama, untuk membuatmu percaya, aku akan menunjukan pemanasan terlebih dahulu. Duduklah dengan tegak. Biarkan tanganmu memegang cover naskah di laptopmu, lalu tutup matamu dan tiup tiga kali daun itu seperti tadi. Hitung sendiri di dalam hatimu sampai tiga," perintahnya. 

Sraaang!!!

Kanisa tiba-tiba duduk di kursi putih. Kanisa tampak pengap karena seluruh ruangan berwarna putih pucat. Tidak ada benda selain kursi yang dia duduki saat ini. Namun, dia melihat kilatan cahaya di depannya. Saat cahaya itu menghilang, dia mendapati cover naskah untuk bukunya. 

Kanisa menghampiri gambar besar itu. Saat dia ingin menyentuhnya, dia kembali ke dunianya.

SLUP!

Bagaikan jeli yang ditarik dari sedotan. Begitulah Kanisa yang tiba-tiba kembali ke dunianya. 

"Bagaimana? Sekarang kamu percaya?" tanyanya. 

"Railo, di mana dia? Oh, ya, apa aku harus melindunginya?" tanya Kanisa. 

"Railo sudah muncul di halaman pertama. Bahkan kamu membuatnya langsung menderita. Dia masih anak kecil saat ini. Kamu bisa berpura-pura menjadi orang dewasa yang menolongnya. Terserah kamu, Kanisa. Oh, ya, jangan lupa, kamu harus menyamar dulu. Tidak lucu jika kamu sangat mirip dengan orang yang Railo temui saat dewasa," ungkapnya sambil mempersiapkan kembali supaya Kanisa masuk halaman pertama. 

"Apakah aku bebas keluar masuk naskah itu?" tanya Kanisa. 

"Tidak. Hanya aku yang dapat membuatmu keluar. Itu pun, jika Rangga mengijinkannya," jawabnya. "Cepat. Kamu harus segera menolong Railo," perintahnya. 

SLUP!

Kanisa kembali ditelan naskahnya itu melalui laptop miliknya. 

***

Malam yang murung bersamaan dengan hujan yang terus menangis, menelan suara anak kecil di pojok toko sembako. 

Sampai seorang wanita berkacamata dengan jaket tebal dan memegangi payung hitam itu, menghampiri anak kecil tersebut. 

'Wah, Railoku manis sekali ternyata,' batinnya. "Halo, siapa namamu? Kenapa duduk sendiri di sana? Di mana ayah ibumu?" tanya wanita itu. 

Anak berusia enam tahun tersebut, malah terus menangis. Dia tidak menjawab pertanyaan wanita tadi. 

"Apakah kamu sudah makan?" tanya wanita itu kembali. 

Anak tersebut malah membelalakan matanya. Dia tampak takut. "Ayo, kamu boleh beli apa saja di minimarket ini," ajak wanita yang sedang membungkuk itu.

"Di-dibelakangmu, kak," kata anak tersebut yang menunjuk belakang wanita itu. 

BRUGH!

Saat wanita itu menengok ke belakang, dia menemukan pria besar yang memukulnya dengan tangan yang keras. 

"Jangan sakiti kakak ini!" teriak Railo. Melindungi wanita itu dengan badan kecilnya.