Liffi menghenyakkan pantatnya pada kursi bus, bersandar malas. Mencoba untuk menikmati perjalanan menuju ke kampus. Hatinya gusar lantaran baru saja bertengkar dengan Sadewa. Sebenarnya Liffi merasa bersalah, hanya saja ia tak bisa mengakuinya pada Sadewa.
Sampai kapan aku harus menyembunyikan semua ini? pikir Liffi. Mungkin sudah saatnya kedua werewolf itu tahu, bahwa mereka berbagi seorang wanita sebagai mate.
Bayangan lalu lintas jalanan terlihat dari kaca jendela bus. Liffi menerawang kosong, pikirannya terus bekerja. Entah itu rasa bersalah, entah itu kegusaran, entah itu rasa bingung. Semuanya berkecambuk menjadi satu, bak benang kusut.
Tapi kenapa Nakula tak bisa berubah walaupun berkali-kali menandaiku? Apa memang benar dia bukan mateku? Aku juga terjatuh pingsan saat mengobati lukanya. Liffi menggigit ujung jarinya, berbagai macam pertanyaan mulai menggelitik benak gadis manis itu. Bahkan kalau dipikir-pikir, Sadewa langsung menemukan wujud sejatinya saat pertama kali menandai Liffi. Kalau Nakula bukan matenya? Kenapa rasa cinta Liffi sama besarnya seperti saat mencintai Sadewa?
Liffi menghela napas panjang. Gadis itu tak pernah menyangka bahwa kehidupannya yang datar dan sederhana akan berputar 180 derajad. Berubah total. Tak hanya kisah cintanya yang kacau, bahkan bahaya terus mengintainya belakangan ini.
"Ya Tuhan, aku hanya manusia biasa, ini takdir yang aneh dan aku tak bisa keluar dari lingkaran takdir ini," keluh Liffi, ia menyunggingkan bibirnya, tersenyum getir. Bukan karena tidak menyukai peranannya sebagai mate, Liffi tak menyukai perasaannya yang tak bisa lepas dari kedua serigala tampan itu. Jiwa mereka telah bersatu, membentuk ikatan yang sulit untuk diterima oleh akal pikiran manusia.
"Setelah konser BLINK aku akan berkata jujur pada keduanya." Tekat Liffi dengan bulat.
UOS — LED berbentuk tulisan memberi tahukan bahwa bus yang mereka tumpangi akan segera tiba di halte kampus. Liffi menekan tombol di samping tempat duduk, memberi tanda pada sopir kalau halte itu tujuannya.
Bus berhenti, pintu terbuka otomatis, pintu depan untuk turun dan belakang untuk naik. Liffi menyentuhkan kartu pada sensor bus sebelum turun, pembayaran otomatis tanpa harus mengeluarkan uang tunai. Pelajar dan mahasiswa punya diskon khusus untuk tarif layanan bus umum.
"Liffi!!" Sebuah suara mengagetkan Liffi. Gadis itu menengok, mencari sang pemilik suara.
"Hai, Kak." Liffi tersenyum saat melihat Gilang. Pria itu pernah mengisi hari-hari Liffi juga dengan rasa bahagia, Liffi juga sudah tahu alasan Gilang menghilang setahun yang lalu. Liffi telah memaafkannya, tak ada lagi alasan bagi gadis itu untuk menghindari Gilang.
Senyuman manis itu bukan lagi milikku. pikir Gilang, ia membalas senyuman Liffi dengan seringai sumbang.
"Kau ada kuliah pagi?" tanya Gilang, keduanya berjalan bersama menuju ke kompleks kampus.
"Iya, akhir semester ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali tugas untuk anak arsitektur." Liffi menurunkan bahunya, ternyata tak hanya masalah mate dan werewolf yang harus ia pikirkan, Liffi harus kembali ke kenyataan bahwa ia juga punya segudang masalah pada tugas utamanya sebagai seorang mahasiswa.
"Kau benar-benar menggapi impianmu, Liffi." Gilang mengelus pucuk kepala Liffi, mengusik rambutnya. Gadis itu banyak bercerita tentang impiannya saat masih menjadi kekasih Gilang.
"Masih terlalu jauh, Kak. Baru tahun ke dua berkuliah." Liffi terkikih, tapi benar saja, setapak demi setapak Liffi mendekati impiannya sebagai seorang arsitek kelas dunia. Liffi akan membuat bangga seluruh keluarganya di panti.
"Kau ada acara besok?" tanya Gilang.
"Oh, aku akan melihat konser BLINK." Liffi mendadak ceria, semangatnya kembali menyala, ia memang sudah tak sabar untuk melihat penampilan BLINK.
"Serius? Kau suka heavy metal?" Gilang tertawa, gadis mungil yang dikenalnya ternyata menyukai genre musik keras dan menghentak bumi itu.
"Yah, begitulah. Kita tak bisa menilai orang dari fisiknya, bukan?" tukas Liffi sambil tertawa, Gilang mengangguk.
"Benar, kita tak bisa menilai manusia hanya dari luarannya saja." Gilang teringat pada Sadewa, pria dengan sosok manusia sempurna itu nyatanya adalah seorang werewolf. Pria itu adalah kekasih Liffi.
"Ah, aku sudah sampai di gedung fakultasku, Kak. Sampai bertemu lagi. Semoga harimu menyenangkan." Liffi berpamitan pada Gilang sebelum masuk ke dalam kelas.
"Baik, sampai jumpa lagi, Liffi. Aku harap harimu juga menyenangkan." Gilang memasukkan tangan pada kantong jaket berlogo UOS. Jaket khas masing-masing fakultas pada universitas itu. Ia menunggu sampai punggung Liffi menghilang dari pandangannya.
Aku pasti akan melindungimu, Liffi. Aku akan memburu mereka berdua dan melepaskanmu. Tunggulah! pikir Gilang sebelum pergi.
ooooOoooo
"Fokus, Gilang!! Fokus! Kau harus menghilangkan ketakutanmu. Menata hatimu, bila kau gusar mereka bisa membaca auramu!" Yoris berteriak pada murid barunya itu.
Sudah beberapa minggu Gilang menerima pelatihan dari Yoris. Menjadi seorang Silver Arrow. Gilang punya tujuannya sendiri, bukan untuk menjadi pemburu para iblis ini. Pria itu hanya ingin membebaskan Liffi dari jeratan si kembar. Memburu keduanya dan menyelamatkan gadis itu, Gilang yakin Liffi pasti terpaksa atau bahkan tidak tahu kebenaran tentang werewolf. Tak ada werewolf yang baik, menurut penuturan Yoris mereka semua jahat.
"Cobalah untuk melangkah pelan-pelan! Atur napasmu dengan baik agar makhluk ini tak merasakan kehadiranmu." Yoris kembali berseru-seru, menuturkan wejangan untuk Gilang.
Suasana ruangan bawah tanah saat ini begitu lembab karena memasukki musim gugur. Curah hujan meningkat, begitu pula dengan tingkat kelembapan. Bau dinding basah bercampur dengan pengharum aerosol membuat indra menciuman werewolf buatan yang terkurung di tengah ruangan itu terganggu. Karena dua hal itu, sang werewolf mulai menajamkan instingnya, membaca aura dari lawan.
Yoris memang sengaja menahan seorang werewolf buatan untuk melatih kemampuan Gilang dalam menyembunyikan auranya. Sebagai pemburu ia tak boleh membiarkan binatang buruannya kabur karena aura tubuhnya terbaca.
Yoris memberi tugas sederhanya. Gilang harus memutari kandang besi besar yang tertutup dengan kain. Ia akan menjaga auranya agar tidak terlihat. Kalau werewolf itu menyerang Gilang, sudah pasti auranya terbaca. Tapi kalau Gilang berhasil berputar tanpa ada serangan, berarti pemuda itu telah berhasil menyembunyikan auranya.
"Ayolah, Gilang!! Mau sampai kapan terdiam di sisi sana?" Yoris terlihat tidak sabar. Gilang dengan sabar mengamati pola adaptasi sang werewolf.
Aku bisa, demi Liffi. Aku akan melalui neraka ini secepat mungkin, pikir Gilang. Keringat mulai menetes dari pelipisnya, Gilang menyekanya dengan punggung tangan.
"Lakukan!!" teriak Yoris.
Gilang mengambil napas panjang, lalu mulai melangkah setapak demi setapak. Mengendap-endap tanpa suara. Sudah beberapa kali sebelumnya Gilang gagal. Werewolf itu selalu bisa menyadari auranya. Kali ini, Gilang tak boleh gagal, ia harus segera menguasai kemampuan seorang petarung kelompok pemburu werewolf ini.
"Bagus!! Pertahankan, Gilang!" puji Yoris saat Gilang mencapai setengah putaran kandang.
Gilang mencoba untuk tetap tenang, menyingkapkan ketakutannya. Ia memilih untuk memfokuskan pikiran pada tujuannya.
"Grrrr ...!" Werewolf itu mengeram panjang, ia merasa ada bahaya, namun tak bisa merasakan di mana arah datangnya aura itu.
Martha datang dengan secangkir kopi panas, ia menaruhnya di sisi Yoris.
"Dia berbakat, Yoris," kata Martha memuji kemampuan Gilang.
"Itu karena ada yang memotivasinya, Martha. Kekuatan perasaan itu mengerikan." Yoris masih menatap lamat latihan Gilang di bawah sana.
"Kau benar, sama sepertimu dulu. Terlalu terbawa perasaan dan menyeret kita semua jatuh. Termasuk Regina adikmu sendiri. Dia juga sama bodohnya denganmu." Martha menyeringai, Yoris langsung mengerutkan kening, rahangnya mengeras.
"Tutup mulutmu, Martha! Aku tidak meminta kalian membantuku saat itu! Dan Regina, di yang bodoh dengan melemparkan dirinya sendiri kepada Gin!" Yoris menatap tajam ke arah Martha, wanita yang hampir seumuran dirinya itu lagi-lagi menyeringai.
"Apa kali ini kau berusaha menggunakan perasaan bocah itu untuk memperbaikki kesalahanmu, Yoris? Memperbaiki dosa-dosamu?!" tanya Martha.
"Dia bukanlah dosa, Martha!! Dia adalah wanita yang kucintai!!" Mata Yoris berkaca-kaca.
"Dia seorang werewolf, Yoris!! Kau melanggar sumpahmu sebagai seorang Silver Arrow!!" Martha meninggikan suaranya, membuat konsentrasi Gilang buyar.
BRAAAKKK!!! Werewolf menyerang ke arah Gilang, andai saja tak ada kandang besi, sudah pasti dada Gilang akan tercabik oleh kuku-kuku tajam itu.
"Kalian mengganggu konsentrasiku!" teriak Gilang.
"Sorry, Kid! Apa kau mau secangkir coklat panas? Aku akan membuatnya!" Martha tersenyum ramah pada Gilang, Gilang terlihat bingung dengan perubahan sikap ke dua manusia di depannya.
"No, Thanks, Martha." Tolak Gilang.
"Pulang dan beristirahatlah, Kid! Kita lanjutkan besok!" Yoris mengusir Gilang. Suasana hatinya memburuk karena ucapan Martha membangkitkan kenangan akan masa lalunya. Akan wanita cantik dengan senyuman manis dan mata sehitam langit malam.
ooooOoooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana