webnovel

Hari Yang Geruh

Pagi yang cerah membuat Divya merasa sangat bersemangat untuk segera pergi bekerja. Ia pun sudah sampai di kantor setengah jam sebelum jam operasional. Tangannya mulai dingin ketika melihat beberapa pekerja yang melintas di depan ruangan. Ia mulai berjalan kesana kemari untuk menenangkan rasa tremor yang kini sudah mulai menyelimuti pikirannya.

"Aduh, kenapa tanganku menjadi gemetar seperti ini? Oke, Divya. Kamu harus tetap tenang dan jangan berpikir yang berlebihan. Semuanya akan berjalan baik dan sesuai dengan rencana kamu." Divya kembali duduk di kursi kerjanya.

Tanpa disadari, ternyata CEO perusahaan sudah memantau aktivitas Divya dari kamera pengawas yang sudah terpasang di sana. Lelaki bertampang tegas dan menawan hanya bisa tersenyum miring melihat kegugupan sekretaris barunya. Namun, setelah dilihat lebih jelas lagi, ia teringat wajah wanita yang kemarin sempat menjadi sorotan di dalam sebuah tempat makan. Pria itu pun segera memperbesar layar kamera pengawas untuk memastikan asumsinya tadi.

"Sepertinya wanita yang sama, tetapi kenapa bisa—"

Ucapan pria tersebut langsung terhenti ketika HR datang dan mempersilahkannya untuk bersiap-siap mewawancarai sekretaris barunya. Ia pun segera berdiri dan berjalan menuju ruangan rapat. Tidak lama setelah kedatangannya, wanita berpenampilan sangat menawan masuk ke dalam ruangan bernuansa klasik. Sungguh terperangahnya Divya setelah melihat wajah sang atasan.

"Ra–ray–raymond?" pikir Divya merasa tercengang. "Bagaimana mungkin bisa dia? Pasti aku salah melihat orang," lanjutnya.

Divya pun kembali melirik ke arah papan nama yang ada di depan pria tersebut. Kedua matanya secara spontan langsung terpejam. Raymond yang melihat ekspresi wanita itu pun langsung menaikkan sebelah alisnya. Ada raut tidak menyenangkan yang sudah dilemparkan Raymond kepada wanita berpenampilan formal tersebut.

"Kenapa kamu menatap wajah saya seperti itu?" tanya Raymond dengan tegas.

Divya langsung tersentak dan segera menelan salivanya. "Maaf, Pak. Saya merasa sangat gugup duduk di depan Anda," ungkap Divya berbohong.

"Benarkah? Begini sikap Anda saat diwawancarai kemarin?" sindir Raymond, kedua mata tajam itu kembali melirik lelaki yang ada di sebelah kanannya.

"Ti–tidak, Pak," jawab Divya dengan cepat. "Aduh, baru pertama masuk. Kamu sudah membuat sebuah kekacauan, Divya! Namun, kenapa harus Raymond? Bodohnya aku! Kenapa sebelum masuk ke tempat ini tidak mencari tahu tentang seluk beluk atasannya? Kalau sudah begini bagaimana? Aku tidak mungkin bisa mengundurkan diri dari posisi ini," gerutu Divya merasa menyesal.

"Coba kamu ceritakan dengan singkat tentang diri kamu," serang Raymond dengan melempar tatapan khasnya.

Divya pun segera memperkenalkan dirinya kepada Raymond. Namun, ia sengaja tidak menyebutkan seluruh nama kepanjangannya. Dahi Raymond segera berkerut ketika mendengar nama sekretaris barunya. Seperti nama yang sangat familiar, tetapi ia masih tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Tatapan kedua netranya selalu membidik cara berpakaian, berbicara, dan paras Divya. Ia sama sekali tidak mendengarkan setiap ucapan yang keluar dari bibir sekretaris barunya itu.

"Oke, kamu saya terima bekerja menjadi sekretaris saya. Luke, tugasmu untuk mengarahkan dan membimbingnya selama beberapa minggu ke depan. Aku tidak mau ada kesalahan sedikit pun!" titah Raymond sebelum pergi dari hadapan mereka berdua.

"Argh, baru pertama sekali bertemu tingkahnya sudah berlagak seperti itu! Pantas saja tidak ada wanita yang betah menjadi sekretarisnya! Setelah itu, bagaimana untuk beberapa hari, bulan, atau tahun ke depannya? Aku bisa stres, bahkan sampai menuju tingkat kemerosotan kewarasan terendah! Gila, bisa jadi? Aduh, bagaimana ini? Aku juga sangat membutuhkan uang untuk melanjutkan hidup, tetapi … kenapa harus Raymond yang menjadi atasanku?" rengek Divya di dalam benaknya.

"Hm, permisi Nyonya Divya. Bisakah kita sekarang keluar dari tempat ini?" sosor Luke sekaligus memecah lamunan Divya.

"Oh, iya, Pak."

Di dalam ruangannya, Luke segera menyerahkan semua tugas dan tanggung jawab Divya selama menjadi sekretaris Raymond. Ia juga tidak menyangka sekretaris sebelumnya meninggalkan segudang berkas di dalam lemari kantor. Divya sampai menelan salivanya ketika melihat tumpukkan kertas berwarna-warni tersebut. Luke juga menjelaskan semua keperluan dan kepribadian Raymond yang terbilang sangat berselit-selit. 

"Bagaimana Nyonya? Kamu sudah menghafal semuanya?" tanya Luke setelah selesai menjelaskan semua kebutuhan Raymond.

"Su–sudah, Pak," jawab Divya dengan cepat.

"Ya sudah, kalau begitu saya tinggal. Segera lakukan tugas pertamamu sebagai sekretaris Bos Besar. Dan jangan lupa menyiapkan kopi untuknya," gumam Luke sekadar mengingatkan Divya.

Divya segera menganggukan kepalanya. Setelah Luke keluar, ia langsung terduduk lemas di depan meja kerjanya. Melihat tumpukkan berkas, kedua netranya sudah mulai merasa lelah. Ia pun mulai melihat satu persatu berkas yang ada di dalam ruangannya. Setelah selesai memilih semua berkas penting, ia segera pergi ke ruangan atasan yang ada di sebelah ruangannya.

"Permisi, Pak," ucap Divya setelah masuk ke dalam ruangan Raymond.

Tatapan Raymond masih terlihat sangat ketus menatap wajah wanita yang sedang membawa tumpukan berkas ke dalam ruangannya. Tidak ada ucapan apapun yang keluar dari bibir tipis pria berbadan kekar itu. Dengan santainya, Divya mulai duduk di seberang kursi CEO. Ia juga memberikan senyuman canggung kepada pria yang sedang menatap serius kedua netranya.

"Permisi, Pak. Ada beberapa berkas yang harus Anda tanda tangani," ucap Divya kemudian.

Raymond mulai memposisikan dirinya senyaman mungkin. "Kamu punya sopan santun tidak?" pekik Raymond sekaligus membuat senyuman Divya perlahan-lahan mulai menurun.

"M–m–maaf, Pak. Bapak tadi mengucapkan apa?" tanya Divya merasa seperti ada ucapan mengganjal masuk ke dalam indera pendengarannya.

Raymond mulai memajukan tubuhnya. "Telingamu sudah tidak bisa berfungsi dengan baik? Apa aku harus mengulangi ucapanku tadi?" tanya pria itu dengan melemparkan senyuman miring kepada sekretarisnya.

"Hm, telinga saya masih berfungsi dengan baik, Pak. Namun, di mana letak ketidaksopanan saya?" tanya Divya dengan entengnya.

BAM

Raymond dengan kasar langsung memukul meja kaca tersebut. Divya sontak berteriak karena merasa terperangah dengan tindakan mendadak yang sudah pria itu lakukan. Raut wajahnya terlihat sangat buruk. Raymond pun seketika tertawa melihat wajah sekretaris barunya.

"Wajahmu jelek sekali ketika merasa terperanjat, hahaha," ledek Raymond. Secepat mungkin ia mengubah ekspresi wajah senang menjadi sangat tajam. "Kamu masih bertanya di mana letak kesalahanmu! Argh, kamu ternyata memang wanita ceroboh yang ada … kamu tahu? Kamu sudah masuk ke dalam ruangan tanpa seizinku! Dan kamu masih bertanya di mana letak kesalahanmu?" satu jari telunjuk Raymond sudah berkobar ke wajah Divya.

Wajah Divya langsung memucat, apa yang sudah Raymond katakan memang benar. Tidak ada ucapan ketersediaan Raymond pada saat ia mengucapkan permisi. Ia pun segera berdiri dan menundukan separuh tubuhnya untuk meminta maaf kepada Raymond. Namun, sayangnya pria itu sama sekali tidak mengindahkan permintaanya.

"Kamu baru sehari bekerja, tetapi kerjaanmu susah sangat berantakkan! Hm, bagaimana untuk ke depannya? Kamu akan membuat hidupku semakin berantakan!" sentak Raymond sekaligus membuat kedua mata Divya terpejam secara paksa.

Batin Divya langsung berkata, "Aduh, bagaimana ini? Aku sudah melakukan kesalahan besar! Kenapa aku tidak berpikir sampai ke situ? Biasanya dengan ucapan seperti tadi sudah menunjukkan etika masuk ke ruangan atasan! Namun, kenapa menjadi seperti ini?" Divya kembali menegakkan tubuhnya. "Maaf, Pak. Saya pikir dengan mengatakan seperti itu—"

Raymond langsung memotong ucapan sekretaris menawannya itu. "Kamu masih mau menyangkal? Hah?"

"Bu–bukan seperti itu, Pak. Saya—"

"Kamu ini! Aku sangat pusing melihat tingkah lakumu, Divya! Sekarang, buatkan aku kopi yang biasa aku minum. Kalau tidak enak, kamu akan kulempar dari tempat ini," gerutu Raymond.