webnovel

TAMU YANG TAK DIHARAPKAN

Bulan telah memperlihatkan sinarnya, tak terasa waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan malam tetapi Hal tersebut sama sekali tidak menggangu bagi Anggara yang masih saja santai membawa keretanya hingga memasuki area perumahan.

Bahkan tak ada sekalipun niatan untuk mengangkat telepon yang selalu berdering sejak meninggalkan rumah Sarah, ia benar-benar terlihat acuh atas acara makan malam keluarga tersebut.

Dan dengan santainya ia jalan memasuki rumah begitu meminta security yang bertugas dirumahnya untuk memasukkan kereta kedalam garasi rumah.

"Anggara!!! kan mami bilang pulangnya cepat hari ini soalnya kakek dan abang kamu udah balek dari Bali!!!" keluh Maminya, Anggara sama sekali tidak menggubris dan langsung berjalan masuk membiarkan banyak mata yang menatap kesal kearahnya.

"Kamu semakin gede gak ada sopan santunnya ya sama kakek!!!"

"Sopan Santun? Harusnya kakek bilang kayak gitu ke cucu kesayangannya kakek!" tukas tajam Anggara yang merasa tak terima atas perkataan kakeknya barusan, saat ini ia benar-benar membenci kakeknya itu dan merasa muak melihat sikap sang kakek.

"Jaga mulut kamu itu , Angga!!!" bentak Papinya yang tampak panik, sebab ini adalah kali kedua Anggara berani melawan sang kakek setelah beberapa bulan yang lalu saat Anggara mati-matian meminta Anggi untuk bertanggungjawab atas perbuatannya pada Sarah.

"Udahlah Kek, Pa. lagian Angga juga gak salah, ia masih SMA jadi punya kesibukan sendiri diluar." ucap Anggi yang kedua matanya masih tak bisa lepas dari gadget ditangannya, sikapnya yang kekanakan terkadang membuat Anggara muak dan rasanya ingin sekali kepalan tangannya bisa mendaratkan hantaman keras diwajah sang kakak laki-laki.

"Loe itu udah kuliah, tapi masih aja kekanak-kanakan!" sindir Anggara sembari memperlihatkan senyuman jijiknya, lalu ia menatap tajam kesetiap orang yang ada diruang tamu itu.

"Anggara gak sudi makan malam bareng Lelaki yang gak bisa bertanggungjawab sama perbuatannya sendiri." sindir Anggara tajam sebelum akhirnya ia berjalan pergi meninggalkan ruang tamu.

Dan dengan penuh kekesalan, Anggara membanting ranselnya keatas ranjang dan memukul keras kepalan tangannya Kedinding kamar sampai lebam. Entah kenapa tak ada rasa sakit sama sekali yang bisa dirasakan Anggara selain ungkapan kebencian yang terus-menerus keluar dari bibir tipisnya.

Ia tak habis pikir bagaimana seluruh keluarganya berusaha membantu Sang kakak untuk melarikan diri dari tanggungjawab yang harusnya dibayar lelaki itu, dan malahan mengorbankan dirinya untuk menebus semua kesalahan Anggi. Rasanya seluruh kepercayaan dan rasa cintanya dikhianati oleh keluarganya sendiri dan kini penghianatan itu masih menjadi trauma yang membekas didasar hatinya.

"Sialan!!!" teriaknya lagi, kini ia mulai menggila didalam kamar. Namun belum sempat rasa amarah itu mereda mendadak suara pintu yang dibuka paksa dan kehadiran Sosok Anggi dihadapannya semakin membuatnya bertambah muak.

"Loe punya masalah apa sih sama gue, dek?" tanya Anggi yang tampak tak memiliki perasaan bersalah dan dengan santainya mendekat kearah Anggara.

"Loe ngapain masuk kamar gue? mendingan loe keluar deh, gue lagi gak niat buat ketemu sama loe." tukasnya tajam sembari melepaskan dasi abu-abu yang melingkari lehernya.

"Loe masih marah sama gue karena masalah si sarah dulu?" tanya Anggi yang diiringi tawa kecil.

"Bukannya loe udah tunangan sama dia buat gantiin gue? yaudahlah masalahnya dimana? loe juga kan yang mau tunangan sama dia, jadi gak usah berlagak jadi korban gini dong bro."

"Anjing loe!!!" Anggara menarik kerah kemeja Anggi dan rasanya ia telah siap untuk memukul mulut tajam Kakak laki-laki nya itu.

"Dengar ya Sialan, kalau aja loe gak ngelakuin hal bodoh itu pastinya hidup Sarah gak bakal hancur kayak gini!!!" geram Anggara yang masih saja dibalas tawa kecil oleh Anggi.

"Mana gue tahu kalau bakal sampai kebablasan hamil, sialan!" tukas balik Anggi, lalu ia berusaha melepaskan diri dari cengkraman Anggara.

"Mendingan sekarang loe keluar deh , bang" ucap Anggara seraya menghela nafas panjang, ia masih tetap berusaha untuk tetap menahan amarahnya saat ini.

"Terus loe maunya apa sekarang? gue nikahin si Sarah? gue masih punya masa depan kali mana mungkin kepikiran buat nikahin dia segala."

"Dia juga punya masa depan, sialan!!!" teriak Anggara yang kini tak bisa lagi memadamkan api amarahnya, dan secara spontan ia mendaratkan pukulan tangannya kehidung Anggi sampai menimbulkan bunyi retak dan suara kesakitan lelaki itu.

"Gue juga punya masa depan!!! loe pikir cuman loe doang yang punya masa depan!!!" teriaknya sekali lagi seraya kembali mendaratkan hantaman keras dipipi Anggi yang kala itu hanya tersenyum saja tanpa melawan sedikitpun, bahkan sepertinya ia tak mempunyai niat menyerang balik Anggara dan hanya membiarkan adiknya itu aecara membabi-buta memukulinya. namun perkelahian itu tak berlangsung lama sebab suara keributan diantara keduanya sampai kedengaran keluar yang membuat papi dan mami langsung menghampiri kamar Anggara dan berusaha memisahkan keduanya.

"Apa-apaan kalian ini!!!" teriak Mami yang langsung memeluk erat Anggara, putra kesayangannya.

"Kenapa kau terus-menerus mengganggu adikmu, Anggi?" tanya Papi yang juga terlihat marah pada sikap Anggi.

"Akhirnya sikap pilih kasih kalian kelihatan juga, hufftt..." Ia menghela nafas dan sedikit menjauh dari papinya.

"Aku pikir lebih baik segera pergi dari sini, keluarga bahagia ini akan kesusahan nantinya karenaku." gumamnya sembari tertawa kecil lagi .

"Gue bahkan gak punya keberanian buat mukul loe Angga, Abang yang bodoh!" lirihnya yang seakan-akan mentertawakan diri sendiri lalu berjalan pergi meninggalkan Anggara dan kedua orangtuanya didalam kamar.

"Apa yang diperbuat Abangmu lagi ,nak?" tanya Papi.

"Gak ada kok, Pi." jawab Anggara , lalu ia menyingkirkan tangan mami dari wajahnya.

"Anggara ngantuk, jadi Papi dan mami boleh gak keluar dari kamar Anggara sekarang!" pintanya , lalu menjatuhkan diri diatas ranjang dan mengacuhkan kehadiran orang tuanya begitu saja.

Sepertinya semenjak kejadian waktu itu, hubungan Anggara dengan kedua orangtuanya mulai merenggang seperti perasaan kepercayaannya kepada mereka yang mana tentu saja hal itu dimaklumi oleh Papa dan mami yang juga terkadang begitu kecewa karena gagal melawan perintah kakek dan malau mengorbankan Anggara sebagai tumbal dari masalah yang diperbuat Anggi.

"Maafin Papi dan mami ya nak." ucap Papi yang disusul oleh suara setuju mami bersamaan dengan suara pintu kamar yang ditutup secara perlahan-lahan.

Kini kamar Anggara kembali sunyi , tak ada suara sedikitpun yang terdengar didalam kamarnya selain suara detak jantung dan hembusan nafas Anggara yang mengisi kesunyian malam saat itu.

Anggara juga sepertinya memutuskan untuk melewatkan waktu belajarnya malam ini, kejadian malam ini benar-benar menguras tenaganya dan merusak moodnya padahal sebelumnya ia telah berhasil menerima dan mensyukuri segala hal yang terjadi pada hidupnya.

Meskipun hampir setiap malam ia selalu memimpikan peristiwa waktu itu , peristiwa yang membuatnya merasa malu dan trauma dengan segudang penyesalan yang tak bisa digambarkan sama sekali oleh siapapun dan apapun.