Tulip menatap meja makan yang kosong, tapi makanan sudah tersiap dengan rapi. Para pelayan akan datang hanya untuk membersihkan lalu memasak. Entah, apa yang Draco lakukan hingga pelayanpun tak boleh tinggal lama.
Tiba-tiba lampu kastil mati. Tulip berteriak histeris. Ia sangat takut dengan kegelapan.
"DRACO."
Tulip benar-benar ketakutan. Pria itu entah ke mana.
"Jangan mempermainkan aku. Keluar."
Tulip menatap bayangan hitam di jendela.
"Draco itu kaukan?"
Tulip merasa ketakutan juga penasaran. Dengan langkah pelan ia mendekati jendela. Angin bertiup kencang, hingga kaca jendela itu terbuka lebar.
Tulip bisa melihat seorang pria berjubah sedang berdiri membelakanginya. Tiba-tiba lampu menyala, Tulip menatap ke belakang.
"Kau sedang apa?"
Tulip bernafas dengan kesal. Hidungnya kembang-kempis karena emosi.
"APA KAU INGIN TERUS MEMPERMAINKAN DAN MENAKUTIKU?" kali ini Tulip berteriak marah di depan wajah Draco.
Draco masih diam, tak mengerti dengan amarah Tulip. Wajah Tulip merah padam saat Draco hanya menatapnya dengan tenang.
"Kaukan yang mematikan listrik dan menakutiku dengan berdiri di luar jendela sana."
Tulip menahan tangisnya. Ia ingin berlalu pergi, tapi Draco lebih dahulu menghilang. Merasa kesal tak ada kata maaf, Tulip memlilih naik ke kamarnya. Rasa laparnya benar-benar hilang.
*
Malam semakin larut. Tulip tertidur dengan pulasnya. Ia memakai baju tidur berwarna putih tipis. Ia merasa terganggu, seseorang seperti menyentuh tubunya. Tapi ia bahkan tak ingin bangun.
Tulip mencoba untuk membuka matanya, tapi seperti sesuatu yang kuat menahan matanya untuk tetap terus tertutup.
Mata Tulip terbuka lebar. Jantungnya berdetak kencang. Jendela kamarnya yang tadi sudah ia tutup rapat terbuka lebar. Angin bertiup kencang hingga menimbulkan bunyi jendela yang bertabrakkan.
Tulip benar-benar ketakutan. Dengan cepat ia membuka pintu dan berlari menuruni tangga. Teringat jika kamar Draco di lorong ujung lantai dua, Tulip kembali berlari ke atas.
"DRACO, DRACO APA KAU DI DALAM."
Pintu terbuka menampilkan wajah Draco yang datar.
"Ada hantu di kamarku. Aku tak mau tidur sendirian."
Tulip menerobos masuk begitu saja. Tidak peduli jika Draco akan mengusirnya.
"Apakah kau mencari kesempatan untuk mendekatiku?"
Tulip mendesis kesal. Jika ia bisa memilih ia takakan mau di sini.
"Aku tertidur, dan seperti ada yang menyentuh tubuhku. Aku ketakutan ketika bangun dan mendapati jendela kamarku terbuka lebar."
Tulip menjelaskan dengan cepat. Ia tak ingin ada kesalah pahaman.
"Kastilmu berhantu? Atau itu adalah kau?" Tulip menatap penuh curiga kea rah Draco.
Tulip melangkah mundur saat Draco melangkah maju. Tulip rasa bertanya seperti tadi sama saja dengan bunuh diri.
Kaki kecil Tulip terus mundur. Tulip memekik pelan saat ia terjatuh ke atas tempat tidur. Tulip menahan nafasnya saat Draco berada tepat di atas tubuhnya, dengan sebelah tangan sebagai tumpuan.
"Ahaha, aku hanya bercanda. Bisakah kau bangun." Tulip tertawa hambar. Ia benar-benar salah telah datang ke kamar ini. Posisi mereka benar-benar berbahaya.
Draco masih tetap menatap wajah Tulip yang sudah ketakutan.
"Tak boleh ada yang berani menyentuhmu. Kau milikku."
Tulip merasa merinding. Draco bangkit berdiri.
"Tidurlah. Aku akan menjagamu di sini."
Tulip menatap punggung Draco yang menatap kea rah luar dari balik jendela kamarnya. Ia baru sadar jika kamar ini terlihat suram.
Rasa kantuk mulai datang. Tulip menutup matanya perlahan. Draco menoleh menatap Tulip yang sudah tertidur pulas. Ia menatap kea rah luar dengan tajam.
*
Tulip membuka matanya perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah ukiran-ukiran di langit-langit kamar Draco. Menatap sekeliling, Tulip mengerutkan keningnya. Ia semalam bermimpi tidur dipeluki Draco.
Tulip menggelang pelan. Mimpi aneh itu tak boleh terjadi lagi.
Tulip keluar dari kamar Draco, kastil ini benar-benar sepih. Tulip menuju kamarnya. Jendela kamarnya masih terbuka. Tulip menatap dari jendela kamarnya, hamparan hutan. Benar-benar hutan. Ia seperti dikurung. Tulip merutuki kemisteriusan Draco. Mentang-mentang mewarisi semua darah imortal ia bisa tinggal seenaknya di tempat angker seperti ini.
Ketukan pintu kamarnya terdengar. Tulip terkejut, takut-takut jika hantu itu datang.
"Maaf puteri, hari ini ada upacara minum bersama dengan ratu."
Suara dayang terdengar dari luar. Tulip membuang nafas legah. Saking takutnya, pagipun ia masih merasa takut. Tidak mungkin ada hantu pagi-pagi.
….
Tulip menuruni tangga dengan pelan. Ia memakai gaun berwarna biru arktik, rambut hitam panjangnya dilepaskan dengan jepit kecil di bagian kanan. Ia melakukan semuanya sendirian. Ia paling tidak suka dilayani. Para pelayan berdiri sejajar di bawah tangga. Tulip benar-benar merasa tak suka. Ia sudah menyuruh mereka pergi, tapi ini sudah menjadi tradisi.
"Apa kalian melihat Draco?"
Dayang Melina tampak terkejut mendengar Tulip hanya memanggil nama, tanpa adanya kata pangeran.
"Para pangeran sedang ditugaskan keluar istana."
Tulip mendengus pelan, mereka seperti dua orang asing yang tinggal satu atap. Bahkan yang pria itu lakukan ia tak tahu. Tulip melangkahkan kakinya keluar dari kastil Draco.
Dengan langkah pelan sambil menikmati harum bunga-bunga sepanjang jalan, Tulip bernyanyi. Para pelayan hanya diam, walaupun mereka merasa bingung dan tak mengerti.
Tulip rasa perjalanan ke kastil milik Ratu sangat jauh. Utara ke Istana Timur, Istana ini sangat besar.
Tulip menatap pangeran Dimitri yang tersenyum ke arahnya. Dia sangat tampan dengan jubah biru yang dikenakan.
"Apa kau akan ke istana Timur?" Tulip tersenyum malu-malu sambil mengangguk pelan.
"Kau sangat cantik dengan jepit rambut itu." Wajah Tulip memerah. Seperti gadis lainnya, ia juga perempuan biasa yang akan terbawa perasaan. Apakagi, orang pertama yang menurutnya baik adalah Dimitri.
Pria itu pamit pergi begitu saja. Wajah Tulip begitu bahagia. Bahkan senyumnya tak luntur. Ia baru saja melangkah dengan senyum yang lebar, tapi sedetik berikutnya langsung surut. Disana Draco berdiri bersama Huga dan Bastia. Dua pria yang selalu mengikuti Draco.
Draco menatapnya tajam. Tulip memasang wajah kesal, lalu berlalu pergi. Ia dan Draco memang tak pernah akur. Mengingat pria itu beberapa kali ingin membunuhnya, membuat ia benar-benar trauma.
*
Tulip disambut dengan senyum mereka yang hadir di sini. Para puteri belum kembali ke kerajaan masing-masing.
"Puteri Agacia kita jadi orang terakhir yang datang."
Senyum Agacia surut. Ternyata ia disindir secara halus oleh Ratu negeri ini. Terdapat senyum tak suka dari puteri Vilia.
"Maafkan aku yang Mulia Ratu." Ia memilih cari aman.
"Duduklah. Menjadi istri pewaris darah demons bukan berarti kau bisa seenaknya. Jangan sampai suamimu malu."
Tulip hanya menunduk malu. Ia terus saja dipermalukan di sini. Ia berangkat tepat waktu, hanya saja ia harus berjalan kaki, berbeda dengan para puteri ini yang bisa hilang dengan sihirnya, atau berlari dengan kecepatan tinggi seperti puteri Vania yang tampak acuh dengan Ratu, dan tersenyum lebar padanya. Tulip menatap Tirani yang tersenyum ke arahnya.
Tulip duduk di samping perempuan berambut merah yang terlihat asing.
"Kau Agaciakan? Aku sudah banyak mendengarmu."
Tulip mengerutkan keningnya bingung.
"Aku, Fata puteri dari kerajaan Elf. Kau pasti bingung, tapi aku pernah bertunangan dengan Draco. Tapi itu dulu."
Tulip semakin bingung. Waktu itu Vilia dan Draco berciuman penuh gairah. Lalu sekarang Fata mengaku sebagai tunangan Draco. Benar-benar membingungkan.