"Untuk beberapa hari ke depan ..."
Suara Arjuna terdengar lagi ketika mereka sudah masuk ke kamar Vika. Cewek itu yang baru selangkah melewati pintu langsung mengangkat wajah. Melihat ke seberang sana di mana Arjuna berdiri tepat di tengah-tengah kamar. Kedua tangannya berada di belakang tubuh. Gestur khas yang membuat Vika berpikir di benaknya.
'Itu kebiasaan orang-orang yang melihara tuyul nggak sih?'
"... kamu lebih baik jangan suka keluyuran dulu. Tinggal aja di kamar. Kalau butuh apa-apa, kamu bisa panggil Gendhis."
Arjuna berpaling. Tangannya terangkat satu dan menunjuk pada nakas.
"Di dalam laci ada buku catatan. Di sana ada nomor hp semua pekerja di rumah ini. Jadi kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepon atau kirim chat aja."
Vika mengangguk.
"Jadi kamu nggak ada alasan apa pun untuk keluyuran. Duduk yang anteng aja di kamar. Biar kamu cepat sehat lagi."
"Keluyuran keluyuran," gerutu Vika dengan bibir manyun. Dalam langkah pelan, ia menghampiri Arjuna. "Seolah-olah saya ini ayam hutam aja sih."
"Kalau nggak mau disamain dengan ayam hutan ... itu artinya kamu jangan sampe keluyuran ke mana-mana. Toh itu kan demi kebaikan kamu sendiri."
"Iya iya iya, Mas, iya. Kok jadi bawel amat sih?"
Menggerutukan hal tersebut, Vika terlihat tak merasa bersalah sedikit pun ketika melenggang melewati Arjuna. Ia duduk di sofa yang tersedia di sana. Meraih remot televisi dan menyalakannya. Tepat ketika ada satu tayangan yang muncul di layar datar itu, ia berpaling pada Arjuna yang bergeming di tempatnya berdiri. Dengan ekspresi wajah bengong.
Vika tersenyum. Tangannya menepuk sofa di sebelahnya.
"Sini, Mas. Duduk deket aku. Kita nonton bareng."
Tunggu saja sampai dunia kiamat dan mungkin sampai saat itu Arjuna pun tetap tidak akan mau duduk di dekat Vika.
"Nggak," tolak Arjuna sambil menggeleng. "Saya ada kerjaan."
Tuntas mengatakan itu Arjuna pun langsung memutar badan. Langsung keluar dari kamar Vika tanpa lupa menutup pintu. Vika yang melihat kepergian Arjuna langsung membuang napas panjang. Tak jadi menonton, cewek itu justru menatap pintu dengan kedua tangan yang mendarat di punggung sofa.
"Dia beneran kerja atau nggak ya? Ehm ... siapa tau kan dia itu sebenarnya melihara tuyul."
Dahi Vika mengerut dan sejurus kemudian ia menggeleng.
"Suka-suka dia deh. Asal bukan aku yang jadi tumbal ... ya nggak jadi masalah."
Vika terkekeh sekilas. Kembali menghadap pada layar datar di hadapannya dan mencoba untuk menikmati tayangan itu. Benar-benar menikmati ketika Vika pun memutuskan untuk merebahkan tubuh di sofa panjang itu. Dengan satu bantal yang mengganjal kepalanya, ia tersenyum lebar seraya memainkan remot.
"Ehm ... seumur hidup aku nggak pernah kebayang kalau aku bakal ngalamin hal kayak gini. Punya kamar besar, hidup tenang, nggak ada masalah, dan yang pastinya kehidupan aku sekarang sudah balik ke kehidupan normal pada umumnya."
Itu tentu saja berkaitan dengan fakta bahwa selama ini nyaris Vika tidak pernah beraktivitas di siang hari. Lantaran ia bekerja di malam hari, jadi otomatis saja ia akan tidur sepanjang waktu ketika siang.
"Eh!"
Vika mendadak bangkit dari tidurnya. Gara-gara memikirkan hal itu ia teringat akan sesuatu.
"Hp aku di mana ya?"
Benar sekali. Vika nyaris benar-benar melupakan fakta bahwa hampir seminggu ini ia menonaktifkan ponselnya. Tanpa memberkan kabar pada orang-orang sekitarnya dan ia penasaran, apa ada yang mencari dirinya selama ini?
Vika buru-buru menggeledah tas ranselnya. Membiarkan pakaiannya berantakan di atas tempat tidur. Dan akhirnya ia menemukan benda elektronik itu. Dalam keadaan tanpa baterai.
Dibutuhkan waktu sekitar lima menit lamanya untuk ponsel Vika bisa menyala. Dengan kabel pengisi daya yang masih tersambung, Vika melihat dengan jantung berdebar. Penasaran. Dan tiba-tiba wajah antusiasnya berubah seketika.
Mama: Vika, kamu di mana? Utang Mama gimana?
Rizal: Kak, pulang kenapa? Mau lari dari tanggungjawab?
Papa: Nak, Papa harus bagaimana?
Aini: Vik, kamu sakit? Sakit apa? Kenapa izin sampe seminggu?
Vika mengembuskan napas panjang. Tampak tak percaya dengan rentetan pesan yang ia dapatkan. Kala itu ia geleng-geleng kepala.
"Mungkin ini kali ya yang orang maksud dengan istilah keluarga nggak peduli, tapi justru orang lain yang peduli?"
Bibir Vika mengerucut dengan ekspresi kesal. Tak mampu menahan diri hingga ia taruh ponselnya di atas nakas dengan sembarangan.
"Aku ngilang hampir seminggu bukannya ditanyain aku ada di mana, apa aku baik-baik aja, atau apalah itu ... eh, malah utang lagi yang dibahas. Emang udah yang paling bener deh ya aku minggat dari rumah."
Berniat untuk melanjutkan tontonannya, Vika sudah berdiri. Tapi, ketika baru selangkah ia berjalan ingin kembali duduk di sofa, ia mendapati ponselnya berdering.
"Lingsir wengi. Sliramu tumeking sirno. Ojo tangi nggonmu guling. Awas jo ngetoro. Aku lagi bang wingo wingo. Jin setan kang tak utusi. Dadyo sebarang. Wojo lelayu sebet."
Segera meraih ponselnya, mungkin hanya Vika manusia di dunia ini yang menggunakan lagu plesetan Lingsir Wengi sebagai nada deringnya. Ia melihat pada layar ponselnya dan mendapati adalah Aini yang menghubunginya. Vika membuang napas lega. Jujur saja, ia sempat berpikir bahwa salah satu dari keluarganya yang meneleponnya kala itu.
Ketika Vika mengangkat panggilan itu dan ia baru saja menaruh ponsel di telinganya, suara histeris Aini menggetarkan gendang telinganya seketika.
"Vikaaa!!!"
Vika memejamkan mata dan spontan menjauhkan ponsel dari telinganya. Hingga ketika suara jeritan itu berakhir, barulah ia kembali menaruh ponsel di tempat semestinya.
"Vika?"
Kali ini suara Aini terdengar berbeda dengan histeris yang ia dengar tadi. Sungguh! Vika pikir gendang telinganya akan pecah karena teriakan temannya itu.
"Ck," decak Vika dengan wajah masam. "Iya, ini aku."
"Kamu beneran Vika?"
"Ya elah, Ni. Iya, ini aku. Vika."
Menyambut perkataan Vika, ada helaan napas panjang yang ia dengar di seberang sana. Seketika saja membuat masam di wajah Vika hilang seketika. Tergantikan oleh sekelumit senyum geli.
"Kenapa? Kamu kangen ya? Khawatir aku nggak ada kabar berapa hari ini?"
"Dasar begok!"
Vika tertawa. Miris, tapi sepertinya hanya Aini satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya.
"Kamu ke mana aja, Vik? Berapa hari nggak kerja dan nggak ada kabar. Hp juga nggak aktif. Astaga. Kamu baik-baik saja kan?"
Tuh kan. Dugaan Vika memang benar. Cuma Aini yang perhatian padanya. Bahkan ia tau kalau ponsel Vika nggak aktif beberapa hari ini.
"Iya. Aku baik-baik aja kok. Kamu nggak usah khawatir."
"Oh, syukurlah kalau begitu."
Vika memutuskan untuk duduk di tepi tempat tidur. Kala itu ia berpikir bahwa nanti bila uang sudah masuk ke rekeningnya, ia ingin mengajak Aini bertemu sebentar. Jalan-jalan, belanja, dan makan makanan yang enak. Bagaimanapun juga Vika tau bahwa hanya Aini satu-satunya orang yang khawatir akan keadaannya.
"Karena bukannya apa, Vik. Soalnya semalam aku mimpi."
Mata Vika mengerjap. "Mimpi? Mimpi apa?"
"Mimpi kamu jadi jualan organ tubuh kamu loh."
"Hah?"
"Terus kamu keliaran ke mana-mana kayak sundel bolong dong. Iiih! Ngeri banget deh. Suwer! Aku nggak bohong."
Wajah Vika seketika berubah. Mungkin Aini juga tidak termasuk ke dalam kategori satu-satunya orang yang khawatir akan keadaannya.
"Kamu belum jadi sundel bolong kan?"
"Belum!" tukas Vika kesal. "Aku belum jadi sundel bolong, tapi yang ada aku ini jadi perawan nggak bolong-bolong."
"Eh?"
*
bersambung ....