"S-sugeng enjing?"
Vika ragu kalau indra pendengarannya bermasalah. Sepertinya memang itulah yang ia dengar. Tapi, ia tak mengerti.
'Itu bahasa apa ya? Yunani? Latin? Atau apa?'
Ingin bertanya, tapi malu. Kalau tidak bertanya pasti semakin memalukan.
"I-itu---"
"Good morning?"
Mata Vika mengerjap. Lalu otaknya dengan cepat menyimpulkan.
"Ah! Good morning," ulang Vika dengan terkekeh sekilas. "Good morning too."
Merasa bangga karena bisa membalas sapaan pagi itu, Vika justru dibuat kecele karena mendapati ekspresi Arjuna. Yang tampak suntuk dan langsung tertekuk. Cowok itu terlihat menggerutu.
"Ngertos basa Inggris, nanging mboten ngertos basa krama?"
("Tau bahasa Inggris, tapi nggak tau bahasa Jawa krama?")
Samar, tapi Vika masih bisa mendengar suara Arjuna. Hanya saja sama kasusnya seperti sugeng enjing tadi, Vika tidak mengerti apa yang dikatakan oleh cowok itu.
"Pardon?"
Arjuna menarik napas dalam-dalam. Ia menggeleng sekilas. Menampilkan senyum yang jelas sekali tidak ikhlas di mata Vika.
"Nggak penting sama sekali."
Mendengar itu, Vika bernapas lega. Tanpa sadar bibirnya berucap.
"Ternyata Mas bisa ngomong bahasa Indonesia juga ya? Wah! Saya pikir cuma bisa bahasa Yunani dan Inggris saja."
Terang saja dahi Arjuna yang mulus licin itu mengerut. Tampak kebingungan dengan apa yang Vika katakan.
"B-bahasa Yunani?" tanya Arjuna tak mengerti. "Kapan saya ngomong bahasa Yunani?"
Ekspresi wajah Vika begitu polos ketika matanya mengerjap. Dengan tangannya yang terangkat satu dan jari telunjuknya menunjuk ke sembarang arah, Vika menjawab terbata.
"Ehm ... i-itu bukan bahasa Yunani ya? Su-sugeng enjing tadi?"
Mata Arjuna terpejam dengan dramatis. Tangannya sontak menepuk dahi.
'Astaga. Bisa-bisanya Pak Bobon nawarin cewek kayak gini untuk jadi makanan simpanan aku?'
Arjuna menarik napas dalam-dalam seiring dengan matanya yang kembali membuka. Kali ini bibirnya tersenyum dalam lengkungan yang benar-benar berlebihan. Sikap yang bukannya menunjukkan keramahan, alih-alih sebaliknya.
"Nama kamu ... Avika Bhanurasmi?"
Vika mengangguk dengan penuh keyakinan. "Iya, Mas. Itu nama saya. Biasa dipanggil Vika aja."
"Oke, Vika. Ehm ... bisa kamu buka pintu ruangan ini?"
Vika menoleh ke belakang. Melihat pada pintu itu. "Ehm ... pintu itu?"
"Iya, pintu itu tolong dibuka," ujar Arjuna lagi. "Terus tolong ditutup dari luar."
Vika mengangguk. "Baik," katanya seraya beranjak dari tempatnya berdiri. "Saya akan membukanya dan menutupnya dari---"
Langkah kaki Vika berhenti. Sepertinya ia melewatkan sesuatu yang penting di sini. Hingga membuat senyum di wajahnya pun sontak menghilang.
Vika memutar tubuhnya. Kembali menghadapi Arjuna.
"Pintunya ditutup dari luar?" tanya Vika memastikan.
Arjuna mengangguk. "Iya, tutup dari luar."
"B-bukan ditutup dari dalam?"
Arjuna menggeleng. "Bukan ditutup dari dalam."
What?!
Vika melotot panik. Refleks saja ia menjauhi pintu, alih-alih membukanya. Dalam langkah besar dan cepat, ia menghampiri Arjuna. Kedua tangan langsung mendarat di meja, membuat cowok itu kaget.
"Saya ditolak?"
"Astaga," desis Arjuna seraya mengusap dadanya. "Buat kaget aja sih."
Vika tidak peduli. "Mas, jawab pertanyaan saya," pintanya tak sabaran. "Saya ditolak?"
Masih mengusap dadanya, Arjuna mengangguk. "Iya, kamu ditolak. Saya nggak mau kamu."
Tentu saja itu bukan jawaban yang Vika harapkan. Ditolak? Oh, Vika tidak ingin ditolak.
"Kok ditolak? Kok nggak mau sih? Kurang saya di mana?"
"Kamu kurang otak."
"Tapi, kan yang Mas butuhkan darah saya. Bukan otak saya."
"Saya khawatir kekurangan otak kamu itu disebabkan oleh darah kamu."
Vika terdiam. Memang masuk akal sih. Tapi, Vika tidak akan menerimanya. Bagaimanapun caranya ia harus diterima.
Gesit, Vika mengitari meja. Kali ini ia benar-benar menghampiri Arjuna hingga cowok itu langsung memasang sikap waspada.
"K-kamu mau ngapain?"
Mengabaikan pertanyaan itu, Vika menyambar tangan Arjuna. Tak peduli kesan dingin di sana, ia menggenggamnya dengan kuat.
"Mas, jangan tolak saya," pinta Vika. "Please, terima saya dong."
Arjuna berusaha menarik tangannya dengan mengingatkan dirinya sendiri bahwa saat itu ia berhadapan dengan seorang manusia biasa. Jangan sampai ia kelepasan dan bertindak di luar batas.
"K-kamu bisa lepasin tangan saya? Saya nggak mau dekat-dekat dengan cewek yang kurang otak."
Menyedihkan untuk Vika. Baru beberapa hari ia pikir dirinya lepas dari diagnosa nyaris gila, eh sekarang sudah ada saja orang yang menganggap dirinya kurang otak.
"Mas, saya bisa pastikan kalau kekurangan otak saya ini bukan karena darah saya. Ini cuma karena saya jarang makan makanan yang bergizi, Mas. Jadi kalau Mas ngasih saya makan enak, saya jamin deh. Otak saya pasti nambah. Jadi otak-otak gitu."
Mata Vika mengerjap sekali. Sepertinya ada yang salah dari perkataannya. Tapi, apa ya?
"Ehm!" dehem Vika. "Intinya ... saya beneran mohon, Mas. Saya butuh kerjaan ini. Saya jamin deh darah saya manis. Sirup aja kalah manis. Apalagi senyum Maudy Ayunda, dijamin kalah manis dibandingkan dengan darah saya."
Arjuna meronta. Berusaha menarik tangannya, tapi Vika justru semakin menggebu mendesaknya. Memejamkan mata, Arjuna merasa kepalanya berputar-putar.
'A-astaga. Ini semua gara-gara Pak Bobon.'
Menahan kesabarannya, Arjuna pun turut menahan napasnya. Ia berusaha bangkit. Mencoba melepaskan diri dari Vika. Tapi, ketika mendapati Arjuna berdiri dari duduknya, Vika juga mengikutinya. Benar-benar tidak membiarkan Arjuna lepas darinya.
"Mas."
Arjuna mundur. Menggeleng dalam penolakan. "Saya benar-benar nggak mau nerima kamu. Mau kamu merayu saya gimanapun juga nggak bakal mempan. Saya nggak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali."
"Lubang yang sama?" tanya Vika bodoh. "Lubang saya nggak bikin Mas terjatuh kok. Beneran deh."
Mata Arjuna sontak membuka. Membelalak langsung. Dan dilihatnya bagaimana Vika yang cengar-cengir. Sungguh, ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
"Pak Bobon!!!"
Memanggil pria paruh baya itu dalam satu teriakan, Arjuna sukses membuat Vika langsung terlonjak. Cewek itu refleks melepaskan tangan Arjuna dan seketika menutup kedua telinganya seraya menjauh.
Vika kaget. Melihat bagaimana dinding, meja, kursi, dan semua yang ada di ruangan itu bergetar. Antara takut dan syok, ia sungguh tak percaya bahwa ada manusia yang bisa membuat dinding bergetar hanya karena teriakan.
'Wah! Dia bisa ngebuat dinding bergetar bahkan tanpa acara banting pintu?'
Vika meneguk ludah. Tak perlu ditanya, sekarang yang ada malah ia yang gemetaran. Bahkan saking gemetarannya, Bobon yang masuk ke ruangan itu sampai terheran-heran.
"Eh? Dek Vika kenapa? Dek Vika lapar? Kok gemetaran gitu?"
Arjuna membelalak. "Kenapa Pak Bobon malah lebih peduli sama dia?"
"E-eh?"
Bobon salah tingkah. Buru-buru menghampiri Arjuna yang tampak gusar.
"M-maaf, Pak. Ehm ... ada apa?"
"Astaga."
Tak langsung menjawab pertanyaan Bobon, Arjuna menyugar rambutnya dengan kesal. Napasnya terlihat memburu dengan wajah yang memerah. Ia terlihat sekali sedang marah.
Bobon melirik pada Vika. Bertanya melalui lirikan matanya. Tapi, cewek itu hanya menggeleng sekali dengan ekspresi tak berdaya.
'Ya ampun. Mampuslah aku kalau sampe buat Pak Arjuna marah lagi.'
Bobon buru-buru mengelap keringat yang timbul di dahinya. Bahkan sekarang tangannya turut gemetaran ketika memasukkan kembali sapu tangan ke dalam saku celananya.
"Bapak lupa apa yang terjadi enam bulan kemarin?"
Pertanyaan itu membuat Bobon menunduk. Ia menggeleng. "Nggak, Pak."
"Kalau nggak lupa kenapa nyodorin saya cewek seperti ini lagi?"
Bobon memejamkan mata. Walau suara Arjuna terdengar lembut ketika bicara, tapi tentu saja kata-kata yang ia ucapkan sebaliknya.
"M-maaf, Pak. Tapi, Dek Vika ini beda dengan cewek waktu itu."
Vika tidak tau apa yang tengah dibicarakan antara Bobon dan Arjuna. Hanya saja Vika tau sesuatu.
"Yang dibilang Pak Bobon benar. Saya beda dengan cewek waktu itu. Saya bahkan beda dengan semua cewek yang ada di dunia ini. Saya nggak ada duanya."
Horor, Bobon melihat pada Vika. Tak percaya kalau cewek itu berani bicara di saat situasi sedang tidak baik-baik saja.
Arjuna mendengkus. "Saya nggak percaya. Dilihat sekilas saja dia ada kelainan. Persis kayak cewek yang terakhir itu, Pak Bobon."
"Dek Vika ini bukannya ada kelainan, Pak," ujar Bobon mencoba meyakinkan. Terlepas dari apa pun yang terjadi, Bobon pun tidak ingin Vika gagal. Kegagalan cewek itu tentu saja melenyapkan keuntungan yang bisa ia dapatkan. "Saya bisa jamin seratus persen Dek Vika ini normal. Beneran deh, Pak. Ya ... dia memang seperti orang gila, tapi dia nggak gila."
Vika mengangguk. Merasa senang karena Bobon membela dirinya.
"Yang Pak Bobon bilang benar, Mas," kata Vika menambahkan. "Saya ini mungkin kayak orang gila, tapi sebenarnya nggak gila."
Mengatakan itu dengan penuh keyakinan, sepertinya butuh beberapa detik untuk Vika benar-benar meresapi apa yang baru saja ia katakan. Dan ketika ia sadar, sontak saja menggerutu.
'Asem deh Pak Bobon!'
*
bersambung ....