webnovel

Beruang Semak Belukar

Kalau diingat-ingat lagi, Vika bisa tergelak seorang diri. Wajah Bobon yang melongo persis seperti orang bodoh saat mendengar pertanyaannya kala itu sukses membuat perut Vika selalu merasa geli. Sumpah! Ekspresi syoknya begitu natural.

"Ya kali kan? Orang nggak mau masih juga dibujuk-bujuk gitu."

Untuk yang kesekian kalinya, Vika terkekeh lantaran otaknya tanpa sengaja kembali teringat akan kejadian itu. Sudah sekitar dua hari berlalu, tapi ternyata masih cukup ampuh untuk memberikan Vika sensasi lucu. Dan ia menganggap itu sebagai salah satu hiburan gratis yang bisa ia dapatkan. Demi mewaraskan otaknya yang mungkin benar-benar terancam gila sebentar lagi.

Itu adalah ketika di pagi hari, di saat Vika baru saja terlelap sekitar dua jam lamanya berkat pulang jam lima pagi dan ia mendapati ada keributan di depan rumahnya. Ia berusaha mengabaikannya. Menutup telinganya dengan bantal dan mencoba untuk melanjutkan kembali tidurnya, tapi tak bisa. Suara ribut perpaduan bentakan-bentakan dan bunyi mesin itu bukannya reda. Alih-alih justru semakin menjadi-jadi.

"Argh!"

Vika bangkit dari tidurnya. Wajahnya tampak kesal dengan rambut yang mengembang berantakan.

"Siapa sih yang buat ribut pagi-pagi? Nggak tau orang mau tidur apa?"

Menunggu sambil menghitung di dalam hati, Vika berharap keributan itu akan segera berakhir.

"Aku itung sampe satu. Kalau mereka masih ribut, aku hajar juga."

Vika membuang napas sekilas. Lalu perhitungan pun dimulai.

"Satu!"

Keributan masih terdengar. Mata Vika sontak menyipit tajam ke arah pintunya. Dengan tangan yang memukul bantal.

"Emang nyari masalah!"

Tak berpikir dua kali atau tak peduli dengan penampilannya yang persis seperti beruang keluar dari semak belukar, Vika keluar dari kamar. Dengan mengenakan pakaian tidur khasnya yang merupakan perpaduan kaus longgar tanpa lengan dan celana katun di atas paha, ia berjalan dengan cepat. Keluar dan mendapati bagaimana Lestari dan Harjo yang menangis dengan histeris.

Vika tertegun. Sepertinya butuh waktu untuk mencerna situasi kala itu. Ada ibu dan ayahnya yang berlutut di tanah. Sementara di depannya ada seorang pria paruh baya berperut buncit yang tampak tertawa-tawa. Di belakang, terlihat ada buldoser yang menyala. Memberikan isyarat bahwa alat berat itu siap beraksi dalam waktu dekat.

"Kamu bilang kamu kaya, Harjo. Makanya aku kasih kamu slot buat main. Ternyata mah kamu itu gembel! Hahahahaha. Gembel malah sok belagak kayak orang kaya."

Vika dengan cepat bisa menilai situasi. Itu pastilah bos judi. Terlebih lagi dengan penampilannya, Vika yakin seratus persen.

Berpakaian necis ala penyanyi pop era 80-an, pria itu tampak bangga memamerkan kalung rantai emas yang menggantung di lehernya. Tidak tanggung-tanggung. Ada lima kalung di sana. Untung saja tidak rupa-rupa warnanya!

"A-aku minta waktu, Bos. Uang itu pasti akan aku bayar."

Memang pria itu adalah bos judi tempat Harjo berjudi selama ini. Bernama Jarot dan sudah bertahun-tahun lamanya malang melintang di dunia perjudian. Tak ada seorang pun yang tinggal di area itu yang tidak mengenal Jarot sebagai bos judi paling berkuasa di sana.

"Mau minta waktu sampai kapan, Harjo? Sampai kamu mampus?!"

Jarot membentak sambil menyentak kakinya dari Harjo. Membuat ayah Vika nyaris terjengkang ke belakang. Lestari buru-buru menahannya sambil berurai air mata. Melihat itu Vika refleks menghampiri kedua orang tuanya.

"Mama. Papa."

Lestari dan Harjo sama-sama menoleh. Melihat pada Vika dengan sorot mata penuh pengharapan.

"Vik, kamu udah ada duit untuk bayar utang judi Papa?" tanya Harjo cepat. Ia meraih kedua tangan putrinya. "Kalau Papa nggak bisa bayar utang itu, rumah kita mau dihancurkan."

Bola mata Vika membesar. Syok. Ia sontak melihat pada Jarot yang tampak mengangkat pinggang celananya. Jarot menyeringai.

"Gimana? Kamu ada duitnya? Kalau nggak ada, rumah reyot ini akan aku hancurkan!"

Jarot menunjuk rumah itu dan lalu tertawa-tawa.

"Walau nggak dapat duitnya, yang penting aku puas. Hahahahaha."

Jarot tentu tidak main-main dengan apa yang ia katakan. Harjo dan Lestari tau itu. Bahkan semua tetangga yang sudah menyaksikan tontonan pagi itu pun juga tau. Terlebih lagi karena operator buldoser juga telah siap siaga. Tinggal menunggu perintah Jarot saja untuk menjalankan alat berat itu.

"Ayo! Bayar utang kamu, Harjo! Kalau nggak, rumah kamu akan aku hancurkan saat ini juga!"

Semakin paniklah Lestari dan Harjo. Mereka tidak bisa membayangkan bila harta satu-satunya yang tersisa di hidup mereka akan hancur begitu saja.

"Vik, gimana ini? Kamu bisa bayar utang Papa kan?"

"Jangan sampai rumah kita dihancurkan, Vik. Kita mau tinggal di mana kalau nggak ada rumah?"

Argh! Vika meremas rambutnya. Sudahlah ia masih mengantuk, eh sekarang ia langsung dihadapkan dengan keributan soal uang dan rumah yang terancam akan dirobohkan dalam waktu dekat.

"Makanya!" rutuk Vika. "Mama dan Papa nggak bisa belajar dari yang sudah-sudah? Kenapa sih Papa mau ikut judi? Kalau kayak gini, yang repot siapa? Aku kan?"

Harjo terdiam. Wajahnya menyiratkan rasa bersalah. Begitu pula dengan Lestari.

"Eh! Kalian ributnya nanti saja. Sekarang itu yang penting bayar dulu utang punya bapakmu itu, Vika!"

Vika berpaling. Berdiri dan membalas bentakan itu.

"Kalau uangnya ada, sudah pasti aku bayar sebelum Bapak datang ke sini. Tapi, aku emang nggak ada duit."

Jarot berdecak seraya memutar bola matanya dengan malas. Ketika ia kemudian berkacak pinggang, maka matanya mendelik pada Vika.

"Kalau begitu kamu nggak ngasih aku pilihan lain. Rumah ini akan aku hancurkan. Walau aku nggak dapat duitnya, tapi aku bisa puas melihat kalian nangis-nangis. Hahahahaha."

Tentu saja. Jangankan melihat rumah itu benar-benar dirobohkan, hanya dengan mendengar ancaman Jarot saja sudah sukses membuat Harjo dan Lestari histeris. Mereka kompak menangis. Lalu bersimpuh di hadapan Jarot. Berusaha untuk memohon.

"Bos, aku mohon. Jangan dirobohkan. Kalau dirobohkan, kami mau tinggal di mana?"

Jarot mendengkus. "Memangnya urusan aku? Hah! Urusan aku itu cuma sama utang kamu. Bayar dan aku nggak akan merobohkan gubuk ini!"

Harjo beralih pada Vika. Kali ini ia memohon pada putrinya.

"Vik, Papa mohon. Cari dulu uang untuk bayar utang Papa. Kalau nggak rumah kita akan dirobohkan."

Kalau Vika ada uang, tentu saja ia sudah melunasi utang itu. Tapi, nyatanya cewek itu memang tidak ada uang. Lagipula bagaimana bisa ia mendapatkan uang lima belas juta dalam dua hari? Sementara pekerjaannya hanyalah kasir di klub malam?

"Argh!"

Rengekan Lestari, bujukan Harjo, ancaman Jarot, suara mesin buldoser, dan bisik-bisik tetangga, sukses membuat kepala Vika terasa amat penuh. Membuat ia tak cukup hanya dengan meremas rambutnya lagi. Alih-alih sekarang ia mengacak-acak rambutnya. Hingga bisa dijamin, beruang yang baru keluar dari semak belukar pun akan terlihat lebih rapi ketimbang dirinya.

"Aku cuma mau utang bapakmu itu lunas. Ada uangnya, aku pergi. Tapi, kalau nggak ada, terpaksa rumah ini aku robohkan."

Vika mendengkus. "Harus berapa kali sih Bapak ngomong mau robohkan rumah ini? Perasaan nafsu amat mau robohkan rumah ini?!"

Mata Jarot membesar. Lumayan kaget ketika mendapati Vika balas membentak dirinya. Tidak menyangka, ternyata cewek berpenampilan beruang semak belukar itu memiliki keberanian juga.

"Bapak tau?"

Jarot mengerjapkan mata, masih sedikit kaget. Ia menggeleng. "Nggak."

"Kalau Bapak mau robohin rumah ini, nggak usah pake buldoser. Suruh aja aku yang robohin."

"Eh?"

Bukan hanya Jarot yang terkesiap. Alih-alih semua orang di sana. Terlebih lagi Lestari dan Harjo. Wajah keduanya sudah sama-sama memucat.

"Vika ...."

"J-jangan, Nak."

Namun, Vika tak mendengarkan permintaan orang tuanya. Vika beranjak. Berbalik arah. Meraih pintu yang membuka itu. Lalu dengan sekuat tenaga menariknya untuk menutup dalam satu bantingan yang amat menggelegar.

"Braaak!"

Tidak ada yang tidak terkejut. Semuanya kompak memegang dada masing-masing dengan mata yang membelalak. Melihat dengan jelas bagaimana bantingan pintu itu membuat rumah itu bergetar hingga ke atap-atapnya. Mereka meneguk ludah nyaris dalam waktu bersamaan.

Suasana mendadak hening. Tidak ada suara yang terdengar. Dan pada saat itu, Vika berkata pada Jarot.

"Lebih hebat aku kan dari buldoser?"

Jarot melongo.

"Eh?"

*

bersambung ....