webnovel

Ada Darah Ada Dana

~Anda butuh dana segar? Kami solusinya.~

~Perantara terpercaya penghubung vampir dan manusia.~

~Berdiri sejak zaman penjajahan Belanda.~

~Dengan motto: kenyamanan dan keamanan adalah yang utama.~

~~~

Vika membaca slogan di kartu nama itu dengan ekspresi tak percaya. Dalam hati ia berkata.

'Aku pikir aku adalah spesies paling gila di dunia, ternyata masih ada yang lebih nggak waras lagi dari aku. Dan itu adalah ....'

Vika mengangkat wajahnya dari kartu nama itu. Melihat pada pria paruh baya yang baru saja membayar tagihannya beberapa saat lalu. Seorang pelanggan yang ia pikir akan segera berlalu, tapi justru kembali lagi karena mendengar perkataan samarnya tadi.

"Nama saya Ageng Sailageng. Biasa dipanggil Pak Bobon."

Vika tambah melongo.

'Dari Ageng Sailageng berubah bentuk jadi Bobon?'

"Kalau nama Adek siapa?"

Mata Vika sontak mengerjap di dalam keremangan lampu klub. Ia mendapati Ageng Sailageng mengulurkan tangannya. Tak yakin, tapi Vika menyambut jabat tangan itu.

"Avika Bhanurasmi," jawab Vika. "Biasa dipanggil Vika."

Nah! Kalau Avika dipanggil Vika kan masuk akal. Terus kalau Ageng Sailageng dipanggil Bobon itu akalnya masuk dari mana?

Bobon tersenyum. Membawa tangan Vika ke depan hidungnya. Ia mengendus. Layaknya anjing pelacak yang biasa membantu pekerjaan para polisi.

"Ehm ... aromanya wangi sekali."

Vika meneguk ludah. Jantungnya berdebar parah. Bahkan satu titik keringat mendadak muncul di dahinya.

'Terlepas dari nama panggilannya yang nggak masuk akal, tapi kayaknya bapak ini benar-benar berkompeten di bidangnya. Apa sales vampir emang punya penciuman setajam ini? Sama kayak vampirnya? Ehm ... mereka udah di-training dulu gitu?'

Pemikiran itu membuat perasaan Vika tak tenang. Antara takut, tapi penasaran juga sih.

"Darah saya ... wangi ya, Pak?"

Bobon berhenti mengendus. Wajahnya terangkat sedikit dengan mata melirik ke atas. Melihat pada Vika.

"Bukan darah kamu yang wangi, tapi hand body kamu."

Dooong!

"Hand body kamu merek apa?" tanya Bobon sambil melepaskan tangan Vika. "Aromanya pas sesuai dengan selera saya. Biar ntar bisa saya beliin buat Ibu di rumah."

Vika buru-buru mengelap tangannya sambil tampak mencebik sekilas. Tapi, ia tetap menjawab.

"Merek Saricantik, Pak."

"Ah, Saricantik. Oke oke. Makasih."

Vika melihat bagaimana Bobon mencatat merek itu di ponselnya. Membuat ia geleng-geleng kepala saja dengan pemikirannya tadi. Dan sekarang ia putuskan bahwa Bobon bukan jenis sales yang pantas untuk mendapatkan predikat sales berkompeten seperti yang ia duga sebelumnya.

"Eh, Dek Vika. Jadi gimana? Pertanyaan saya belum dijawab."

Mata Vika mengerjap beberapa kali. Tampak berpikir, tapi ia tak yakin.

"Pertanyaan yang mana, Pak Bon?"

Bobon memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. Mendaratkan kedua tangannya di atas meja kasir dan menjawab pertanyaan Vika dengan pertanyaan lainnya.

"Dek Vika lagi butuh dana segar?"

'Oh yang itu.'

Jelas sekali Vika memang membutuhkannya. Tapi, melihat nama Ageng Sailageng berubah menjadi Bobon dan mendapati Bobon yang lebih peka terhadap aroma hand body ketimbang darahnya, Vika memutuskan untuk menggeleng. Alih-alih mampu meyakinkan Vika bahwa ia adalah sales terpercaya, Bobon juga memberikan kesan pertama yang buruk bagi gadis itu.

"N-nggak, Pak. Saya lagi nggak butuh dana segar kok."

Mata Bobon yang menyipit membuktikan bahwa ia tidak percaya dengan perkataan Vika.

"Dek Vika bohong ah."

"Nggak ah."

Bobon mengembuskan napas panjang. Tangannya terangkat satu, menunjuk pada cewek itu.

"Cewek kalau nggak ada duit, itu wajahnya kusam loh, Dek Vika. Beda sama cewek yang lagi punya banyak duit. Ckckck. Dek Vika jangan mau ngibulin bapak-bapak yang punya istri dan anak perempuan tujuh orang."

What?!

Vika syok. "Bapak punya anak perempuan tujuh orang?"

"Iya. Makanya saya tau persis gelagat cewek kalau lagi nggak punya duit. Persis kayak kamu," kata Bobon. "Wajah suram, tubuh lesu, dan suka ngoceh sendirian. Itu kalau lama-lama dibiarkan bisa buat kamu gila."

Pundak Vika jatuh lemas seketika. "Gimana bisa ujung-ujungnya malah jadi gila?"

"Loh? Kamu nggak lihat di luar sana? Orang gila mukanya suram kan? Tubuhnya lesu kan? Suka ngoceh sendirian kan?"

Vika menggaruk kepalanya. Ia terlihat bingung.

"Benar kan yang saya bilang? Ehm ... makanya Dek Vika hati-hati. Kalau dibiarkan kere lama-lama, Dek Vika bisa jadi gila."

Diam sejenak, Vika lalu tertawa kaku mendengar peringatan Bobon.

"Ha ha ha ha ha. Terima kasih, Pak. Saya bakal nyoba buat nggak kere lama-lama. Sumpah! Kere atau gila, itu sama-sama pilihan yang nggak saya suka."

Jari Bobon menjetik cepat tepat di depan wajah Vika. Membuat tawa kaku cewek itu berhenti seketika. Kaget.

"Tuh kan! Dek Vika emang lagi kere. Aduh! Kok bohong sih?"

Ya ampun. Vika dibuat takjub oleh kepintaran sales vampir yang satu ini.

"Sini deh, Dek Vika. Saya bilangin ya? Kerjaan ini nggak semenakutkan yang Dek Vika bayangkan. Sesuai dengan motto loh. Kenyamanan dan keamanan adalah yang utama. Jadi, Dek Vika nggak usah khawatir."

Bola mata Vika berputar dengan dramatis. Kalau Bobon mengatakan itu padanya kemarin atau paling tidak tepat ketika klub baru buka, mungkin saja Vika bisa percaya. Tapi, masalahnya jelas sekali Vika sudah mendengar berita terkini dari Aini. Bahwa seorang rekan kerja mereka yang bernama Rossa hampir kehilangan nyawa karena nyaris kehabisan darah.

"Pak, saya memang lagi kere. Bahkan sebenarnya kere itu udah jadi nama belakang saya yang terbaru. Avika Bhanurasmi Kere," ujar Vika miris. "Tapi, bukan berarti saya mau mempertaruhkan nyawa saya buat duit."

Vika menggeleng. Walaupun ia tau menjadi makanan hidup vampir adalah pekerjaan yang paling menjanjikan di zaman ini, tapi ia tidak ingin mengambil risiko. Ia bisa saja menjadi Rossa yang selanjutnya.

"Bapak tau?"

Bobon menggeleng. "Nggak."

"Jadi saya kasih tau deh, Pak," lanjut Vika cepat. "Teman kerja saya, namanya Rossa, sekarang lagi dirawat di rumah sakit. Dan itu karena ia nyaris kehabisan darah, Pak."

"Ckckck. Menyedihkan. Itu pasti karena dia salah milih CV. Coba deh tanyain ke dia. Pasti dia bukan lewat CV ADAD."

Vika melihat kembali pada kartu nama yang masih di tangannya. Melihat nama CV yang tertulis di sana. CV ADAD alias CV Ada Darah Ada Dana.

Astaga!

"CV ADAD sudah legal walau kerjaan ini ilegal. Jadi sudah tentu kejaminan dan kesejahteraan agen bakal diprioritaskan. Beda sama CV lainnya. Yang di luar itu kebanyakan CV abal-abal. Emang krim wajah saja yang banyak abal-abal? Ck. CV perantara vampir dan manusia juga banyak yang abal-abal."

Mendengarkan ocehan Bobon, diam-diam membuat Vika berdoa. Semoga saja ada pelanggan lain yang akan datang dan membayar tagihan agar pembicaraan aneh itu bisa berakhir. Tapi, sejauh matanya melihat, harapannya mungkin hanya akan menjadi harapan belaka.

"Oke deh, Dek Vika. Pikirkan saja dulu. Nanti kalau kerenya sudah hampir membuat Dek Vika gila, langsung saja hubungi saya di nomor yang ada di sana."

Vika cemberut. Dalam hati ia menduga kalau Bobon justru berharap agar dirinya menjadi orang gila sungguhan.

"Dan kalau ada yang mau ditanyakan, pokoknya hubungi saja. Pasti bakal saya jelasin semuanya dengan detail."

"I-iya, Pak, iya," angguk Vika mulai tak sabar. Rasa-rasanya semakin lama ia berbicara dengan Bobon, maka semakin naik pula taraf gila di otaknya. "Pasti saya nanti hubungi Bapak kalau saya beneran butuh atau ada yang mau saya tanyakan."

"Nah gitu dong. Pokoknya kamu jangan takut dulu. Kerjaan ini nggak menakutkan dan yang pasti uangnya banyak."

Vika menarik napas dalam-dalam. Kesabarannya benar-benar sudah terkikis. Tapi, sayangnya di sana tidak ada pintu yang bisa ia banting sesuka hati.

"Yang pasti saya bakal menghubungkan kamu dengan vampir yang sudah terjamin. Jadi---"

"Pak."

Mendadak saja Vika memotong perkataan Bobon. Kali ini Vika tau bahwa ia memang harus menghentikan percakapan itu sebelum ia benar-benar lupa diri.

"Saya mau nanya."

Wajah Bobon berseri-seri. Mengira bahwa Vika akhirnya menerima tawarannya.

"Nanya apa, Dek Vika?"

Menarik napas sejenak, Vika memulas senyum penuh keterpaksaan di wajahnya. Membuat Bobon mengerjapkan matanya sekali. Bersiap menerima pertanyaan Vika. Dan ketika pertanyaan itu mampir ke telinganya, ia sontak terbatuk seketika.

Pertanyaan itu adalah ....

"Vampir suka darah menstruasi nggak?"

*

bersambung ....

Yang baca jangan lupa kasih power stone atau batu kuasanya ya. Biar Vika bisa lempar Pak Bobon pake batu itu. Hahahaha.

V_Missvcreators' thoughts