webnovel

Tuan CEO, Jangan Cintai Aku!

Sejak kematian Melysa, kakaknya yang meninggalkan bayi mungil bernama Liesel, Genevieve yang baru berusia 17 tahun, harus mengambil alih peran sebagai ibu dari bayi tersebut. Liesel terlahir dari hubungan semalam ketika Melysa dijebak rekan kerjanya yang iri kepadanya dengan seorang laki-laki yang tidak dikenal. Akibat peristiwa itu, Melysa terpuruk dalam depresi dan akhirnya meninggal. Genevieve harus berhenti sekolah, mencari kerja, dan membesarkan Liesel sendirian. Hidupnya sangat berat dan penuh penderitaan, hingga pada suatu ketika, ia bertemu CEO tampan dari grup Wirtz tempat ia bekerja dan mereka saling jatuh cinta. Namun ketika cinta mulai bersemi, rahasia kelam di masa lalu membuat hati Genevieve terluka dan memutuskan untuk pergi. *** Adler Wirtz tidak pernah jatuh cinta kepada wanita manapun sebelum ia bertemu Genevieve. Pengalaman buruk 4 tahun lalu ketika ia dijebak mantan kekasih untuk tidur dengan seorang wanita tidak bersalah membuatnya trauma. Selama bertahun-tahun ia menyimpan rahasia kelam itu, sambil berusaha mencari wanita yang tidur dengannya empat tahun lalu itu, setidaknya untuk menunjukkan tanggung jawab. Namun sayang, ketika Adler mulai membuka hati kepada Genevieve, rahasia masa lalunya terkuak ke permukaan bersama dengan munculnya anak perempuan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Hidup Adler serentak berubah dan hubungannya dengan Genevieve pun hancur. Apakah Genevieve akan dapat memaafkan Adler dan melupakan dendam masa lalu? Ataukah ia akan meninggalkan Adler selamanya?

Missrealitybites · Urban
Not enough ratings
296 Chs

Tuan Penolong Genevieve

Suara perkelahian pun berhenti dan suasana kemudian menjadi hening. Lalu tedengar suara langkah kaki seseorang mendekati Genevieve.

"Maaf. Aku datang terlambat, Apakah kau mau kubawa ke rumah sakit? Apa ada yang luka?"

Suara berat itu terdengar kuatir tetapi justru membuat Genevieve merasa seolah diguyur air dingin yang melegakan. Ia membuka mata, di tengah rasa takut yang membuat tubuhnya masih bergetar.

Saat kedua kelopak matanya membuka, ia melihat sesosok lelaki tampan bertubuh tinggi berjongkok di depannya. Wajah pria itu berada sangat dekat dari wajahnya. Untuk sesaat Genevieve seolah membeku di tempat.

Lelaki ini adalah penolongnya.

"Sepertinya barang belanjaan kamu sebagian tidak bisa dimakan lagi." Lelaki penolong itu tersenyum hangat. Ia lalu mengambil kantong belanjaan Genevieve yang separuh rusak dan mengumpulkan beberapa barang belanjaan gadis itu yang terjatuh ke tanah. "Aku punya tas belanja baru di mobil, aku akan memberikannya kepadamu."

Genevieve menelan ludah. Akhirnya kesadarannya pulih dan ia mengangguk lemah.

"Te-terima kasih, Tuan."

"Kau tidak mungkin pulang dalam kondisi seperti ini, Nona. Izinkan aku membawamu untuk menenangkan diri."

Genevieve hanya mengangguk dan menerima uluran tangan sang lelaki penolong. Tanpa banyak bicara, lelaki itu menuntunnya masuk ke mobil.

"Minumlah." Ia mengambil sebotol air dan membuka tutupnya lalu menyerahkannya kepada Genevive.

Genevieve menurut. Air di botol disesap Genevieve perlahan-lahan. Adler menatap wajah cantik yang pucat pasi itu dan hatinya entah kenapa dipenuhi rasa kuatir. Gila! Untung saja tadi ia lewat. Kalau tidak, entah bagaimana nasib gadis ini sekarang.

"Maaf. Siapa namamu?"

"Genevieve, Tuan."

"Nama yang indah," komentar Adler sambil tersenyum, berusaha mencairkan suasana. "Namaku Adler."

Genevieve mengangguk pelan. Suaranya terdengar sangat kecil ketika ia mengucapkan terima kasih lagi. "Terima kasih sudah menolong saya, Tuan Adler."

"Kau tinggal di mana?" tanya Adler. Ia melihat Genevieve sudah mulai tenang dan hari sudah semakin larut. Tentu keluarga gadis ini akan kuatir kalau Genevieve tidak segera pulang. Ia berniat mengantarkan gadis itu hingga selamat tiba di rumahnya untuk memastikan bahwa ia tidak akan diganggu ketiga pria mabuk itu lagi.

"Apartemen saya tidak jauh dari sini…" kata Genevieve dengan suara lemah. "Saya hanya perlu naik bus sekali."

"Kau dari mana?" tanya Adler. "Belanja? Kenapa belanja malam-malam?"

Genevieve menggelengkan kepala. "Saya bekerja di supermarket, hari ini ada acara spesial sale dan kami harus tinggal sampai malam."

Adler membelalakkan mata mendengar ucapan Genevieve. Supermarket? Apakah gadis ini bekerja di supermarket milik keluarganya?

Pertanyaannya segera terjawab karena Genevieve kemudian menjelaskan kronologi bagaimana ia bisa pulag malam dan kemudian diganggu tiga pria mabuk. Rasa paniknya sudah sangat sangat berkurang setelah ia duduk di mobil Adler yang aman selama setengah jam.

Entah kenapa Adler merasa senang saat mengetahui gadis cantik ini bekerja di supermarket milik keluarganya. Artinya ia akan dapat bertemu gadis ini lagi kapan pun ia inginkan. Adler hanya perlu datang ke supermarket cabang tempat Genevieve bekerja.

Sudah terlalu malam, izinkan aku mengantarmu pulang," kata Adler. "Kalau sudah malam begini bus yang lewat sangat sepi."

Awalnya, Genevieve ingin menolak. Namun, kejadian buruk yang menimpanya tadi langsung terbayang, sehingga Genevieve mengiyakan ajakan itu. Ia menyebutkan alamatnya dan Adler segera menyalakan mesin mobil dan menyetir kendaraannya ke apartemen Genevieve.

"Terima kasih, Tuan Adler." Genevieve lalu bergegas turun dari mobil begitu kendaraan berhenti di depan gedung. Setelah menutup pintu mobil ia membungkuk sedikit untuk memberi hormat. Sepasang tangannya memeluk erat kantong belanjaan berisi bahan makanan dan cokelat untuk Liesel.

Adler mengernyit melihat Genevieve tampak sangat kikuk dan sama sekali tidak berbasa-basi mengundang masuk.

'Hanya begini saja? Kenapa aku tidak ditawari untuk masuk?' pikir pria itu dalam hatinya.

"Uhm… kau bisa membawa kantong belanjanya? Kelihatannya berat, lho…" kata Adler berusaha menawarkan.

Genevieve menggeleng kuat-kuat, "Tidak apa-apa, Tuan. Saya bisa sendiri.".

Adler merasa penasaran dengan sikap gadis itu. Tadi di mobil ia sudah berhasil mengajak Genevieve bicara dan gadis itu tampak sangat berterima kasih. Ia sudah berharap Genevieva akan menawarinya masuk ke apartemen dan minum teh atau apa untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, tetapi ia sama sekali tidak berbuat begitu. Genevieve malah bersikap seolah ia tidak sabar melihat Adler pergi.

Adler merasa agak kecewa. Ia sangat menyukai Genevieve dan berharap bisa mengobrol sedikit untuk lebih mengenal gadis itu.

'Ah, ayolah, Ad. Gadis itu baru mengalami hal buruk. Memangnya apa yang kau harapkan?' Adler menggelengkan kepala dan memarahi dirinya sendiri yang kurang pengertian. Ia tersenyum dan melambai kepada Genevie sebelum kemudian berlalu dengan mobilnya.

"Selamat malam, Genevieve."

***

Adler tak dapat melupakan wajah Genevieve di sepanjang perjalanannya pulang ke rumah. Keesokan harinya ia memutuskan untuk datang ke supermarket tempat Genevieve bekerja untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Selain itu… ah, rasanya ia memang ingin bertemu Genevieve.

Ia tidak mengerti kenapa wajah gadis itu tidak mau meninggalkan benaknya. Ada apa ini? Adler belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Ia memijat keningnya dan menarik napas panjang. Mobilnya memasuki lahan parkir supermarket tempat Genevieve bekerja. Begitu mobilnya berhenti, tiba-tiba pikiran Adler dihinggapi dilema. Di satu sisi, ia ingin bertemu Genevieve. Namun, di sisi lain, Adler takut gadis itu masih trauma akibat diserang kemarin dan minta izin tidak masuk kerja.

Adler melangkah masuk ke supermarket yang diberi nama sesuai nama neneknya itu. Ia sudah tidak sabar ingin mengetahui apakah Genevieve masuk kerja atau tidak. Tidak ada yang mengenali siapa ia di swalayan itu. Jati diri Alder sebagai pewaris tunggal memang sengaja ia rahasiakan.

Saat ia mengarahkan pandangan ke seisi penjuru supermarket, tanpa sengaja pandangannya bertumbuk pada sosok gadis cantik yang kebetulan sedang berjalan ke arahnya dengan membawa apron.

"Tuan Adler? Anda ... mau belanja bulanan?" Genevieve tersenyum lebar saat melihat pria penolongnya muncul di supermarket tempatnya bekerja.

'Ah, gadis ini bahkan tak terlihat seperti habis melalui malam yang buruk.' Adler membatin. Ia merasa lega melihat Genevieve ternyata baik-baik saja.

"Hallo, Genevieve, saya sedang ada di sekitar sini dan mau membeli beberapa barang."

"Kebetulan, saya pegawai di sini. Tuan berbelanjalah dulu. Nanti saya beri diskon khusus."

Adler ingin tertawa melihat bagaimana cara Genevieve membanggakan dirinya. Ada rasa hangat yang menyusup di relung hati Adler.

"Tidak usah," kata Adler sambil tersenyum cerah. "Aku tidak perlu diskon."

"Tuan, tolong, saya tidak bisa membalas kebaikan Anda dengan hal lain."

Ada nada sedih yang terdengar dari ucapan Genevieve dan Adler tak suka itu. Maka Adler pun menerima tawaran gadis yang sudah mencuri perhatiannya itu.

"Baiklah… kalau begitu aku akan menerima diskon untuk belanjaanku," kata Adler akhirnya.

Sembari mengantri, Adler melihat bagaimana cara Genevieve memperlakukan pelanggan. Berulang kali Adler mengulum senyum, sampai tiba gilirannya membayar barang belanjaannya. Ia hanya sembarang mengambil barang-barang dari rak di supermarket. Adler tidak butuh apa-apa.

"Terima kasih, Tuan. Saya Genevieve. Silakan belanja lagi lain kali."

"Terima kasih juga, Genevieve," Adler mengangguk lalu keluar membawa kantong belanjanya masuk ke mobil.

"Astaga. Aku pasti sudah mulai gila." Adler tertawa melihat tingkah lakunya sendiri.

***