webnovel

Drama di Sekolah

2 bulan berlalu.

"Akhirnya selesai juga, tinggal menunggu hasil. Pesta perpisahan, lalu kita liburan" ujar Dino bahagia.

"Apa cuma itu yang kamu pikirkan Din??" Tanya ku sinis.

"Hidup itu harus bahagia di, so buat apa kita ambil pusing semuanya. Yang penting kita bisa liburan, dan aku sudah punya rencana liburan dengan pacarku nanti, maaf kali ini aku ingin liburan berdua, lu gak boleh ikut." Dino nyengir sendiri.

"Hhh, terserah lu dah Din." Jawabku singkat.

Hatiku gusar, entah apa yang kurasakan. Yang jelas, aku takut waktu yang kini ku jalani akan segera berakhir.

...

hari Ini adalah hari kenaikan kelas. semua yang berada di kelas 3 akan menjalani kelulusannya dan kami semua yang berada di kelas 2 akan naik kelas dan menjadi senior tingkat akhir disini.

"Di, Minggu depan aku akan pindah ke Kanada. Aku gak kan melanjutkan kelas 3 ku disini." Tiba-tiba dita berbisik padaku di tengah-tengah keramaian pesta.

"Kalo mau pindah, ya tinggal pindah. Itu kan hak mu" jawabku tanpa basa basi. Karna aku berpikir, dia tak mungkin serius dengan perkataan nya itu.

"Sial, nyesel aku bilang ke kamu, dasar bego!!!!" Dita sedikit marah dan menendang kakiku. Dia pun berlari meninggalkan pesta itu, namun aku tak mengejarnya. Karna yang ku tau, jikalau aku mengejarnya, yang ada dia akan menertawaiku.

Pesta kali ini sungguh meriah dengan diadakannya pentas seni, dimana para senior tingkat akhir disini menampilkan segala yang mereka bisa.

"Hi di, 2 bulan ternyata cepat ya. Tak terasa kini kita akan naik kelas. Liburan besok, kamu ada acara?" Tanya Farah yang datang sesaat setelah Dita pergi.

"Ahhhhh, iya. Sebenarnya aku belum tahu apa yang akan ku lakukan nanti saat aku liburan." Jawabku.

"Kalau begitu, bagaimana jikalau kita berlibur bersama?" Ajak Farah.

"Aaa, gimana ya. Mungkin nanti aku akan mengabarinya." Jawabku.

"Ok deh, kutunggu ya. Nanti telfon saja aku jikalau memang kamu bisa" farah meninggalkanku sembari mengisyaratkan ku jikalau aku harus menelponnya nanti. Dan aku hanya bisa mengangguk, menandakan jikalau aku mengiyakan apa yang ia inginkan.

Ditengah keriuhan acara perpisahan itu, pikiranku melayang, ia terbang kembali ke saat dimana aku berkencan dengan Farah.

Kuingat saat Farah mengungkapkan perasaannya padaku. Aku ingat bagaimana aku menolaknya, dan aku ingat bagaimana air matanya jatuh mengalir di pipinya. Dan semua itu, aku lakukan karena bayangan Dita muncul didalam pikiranku. Ya, Dita. Dia yang membuatku ragu dengan perasaanku terhadap Farah. kenangan ku dengan Dita tiba-tiba terlintas, disaat dia menabrakku, sebuah pertemuan pertama yang tak ku duga, saat aku terjatuh berdua dengannya, saat ku berkencan dengannya untuk pertama kalinya meski itu hanyalah sebuah kepura-puraan belaka, dan disaat aku mencium bibirnya. Dia menjadi gadis yang pertama kali ku cium dan membuatku merasa nyaman jikalau aku berada disampingnya. Dan yang paling mengganggu hatiku saat itu adalah airmatanya yang selalu mengalir disaat dia melihatku bersama Farah. Sedetik kemudian aku mengingat kata-kata Dita tentang kepindahannya.

"Tiba saatnya pentas drama dari kelas IX-5. Silahkan saksikan ...." Suara pembawa acara membangunkan aku dari lamunan singkat ku akan Dita. Nampak diatas panggung semua anggota pementasan drama sudah berkumpul dan memberi hormat tanda mereka akan memulai pementasannya.

Musik mulai mengalun dan awal cerita drama mereka pun dimulai dengan sosok pria dengan menggunakan seragam lengkap sekolah. Ternyata mereka bermaksud untuk mementaskan drama tentang kehidupan sekolah mereka. Mulai dari dimana mereka masuk di hari pertama sekolah, sikap canggung yang dipraktekkan pemeran pria itu benar-benar baik. Tidak hanya itu, hampir semua pemerannya benar-benar bisa membawakan karakter yang mereka perankan. Mungkin karena mereka hanya mengulang kejadian yang memang benar-benar mereka alami sebelumnya di sekolah ini. Selama 2 tahun si tokoh utama selalu saja menjadi bahan bullying oleh teman-temannya. Dia hidup penuh dengan tangis, kepedihan dan rasa ingin segera mengakhiri hidupnya. Hingga suatu saat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari atap sekolah. Tapi disaat dia berdiri di ujung jalan dimana dia bisa melihat hidup dan matinya, kemudian terdengar suara seorang gadis dari belakangnya yang malah menyuruhnya segera mengakhiri kehidupan penuh kepedihannya. Namun dibalik kata-kata gadis itu, dia menyiratkan jikalau masih ada banyak orang yang selalu bisa mencintai si pria, salah satunya adalah kedua orangtuanya. Membuat si pria tertegun dan berpikir ulang akan tindakannya tersebut.

"Bukankah hidup itu cuma sekali? Pilih, jadi pemenang atau pecundang? Jikalau kau mengakhiri hidupmu, itu berarti kau adalah pecundang. Dan jika kau tetap berusaha untuk menikmati hidupmu, melawan setiap duka dan kepedihan yang kau rasa dengan senyuman, maka kau akan jadi pemenang. Kau hanya butuh seorang teman yang sanggup mendengar keluhanmu, dan menjadi tempat berbagi setiap luka yang kau rasakan. Dan aku siap menjadi sosok teman itu" gadis itu mengulurkan tangannya. Membiarkan si pria itu memilih, meraih tangannya atau melanjutkan kembali niatnya. Dan sedetik kemudian si pria meraih tangan gadis itu. Dia menangis, air matanya tak sanggup lagi ia bendung. Dan si gadis tiba-tiba memeluknya erat, mencoba menenangkannya.

Awal dari sebuah drama yang kompleks, hingga semua berlanjut kedalam sebuah kisah persahabatan antara si pria dan si gadis itu.

Aku terhanyut dalam pementasan drama kali ini. Hingga tak sadar aku memperhatikannya dari awal, tiap detail, tiap adegan ku perhatikan dengan seksama.

Drama itu berlanjut hingga tahun ketiga mereka berada disekolah, si pria yang kini sudah berubah. Dan si gadis yang kini makin dekat dengannya. Dan tibalah kini drama itu ke dalam akhir ceritanya, si pria yang makin menyukai si gadis, mencoba mengungkapkan perasaannya, namun ia tak pernah sempat. Hingga suatu hari dimana mereka berpisah karena tujuan mereka tak lagi sama, si pria tak sempat mengungkapkan perasaannya. Mereka pun berpisah, tak pernah bertemu. Hingga beberapa tahun kemudian mereka kembali bertemu di sebuah tempat dimana mereka pertama bertemu, yaitu atap sekolah yang dulu pernah menjadi tempat mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Tak disangka, kini si gadis telah berubah dewasa, dia tak lagi sendiri. kini ada seorang pria yang mendampingi dengan sesosok bayi perempuan yang lucu yang dia gendong. Membuat si pemeran utama pria yang memendam perasaannya selama ini menjadi terluka, namun sebuah senyum terulas dari bibirnya, meski pahit. Dia ingat, dia pernah hancur dulu, dan kini ia tak mau kembali hancur. Karena yang dia yakin, dia bukanlah seorang pecundang seperti dulu saat dia belum bertemu dengan gadis itu. Dia memilih untuk melanjutkan hidupnya, melawan semua kepedihan dan luka, seperti kata-kata seorang gadis yang dulu menyelamatkannya. Dan dia akan tetap menyimpan kata-kata itu sampai kapanpun.

Aku yang mulai terbawa suasana dan mulai mengharu biru memilih untuk meninggalkan pertunjukan itu. Aku tak suka sad ending dalam sebuah cerita.

Ku pergi ke suatu tempat dimana aku bisa menenangkan diriku. Sebuah tempat dimana aku selalu menghabiskan waktu selama aku disini, disisi sebuah kolam ikan. Hingga aku pun tak sadar aku tertidur disitu. Di sisi sebuah kolam yang dulu pernah memberiku sebuah kenangan.

....

Ketika matahari mulai bersinar kemerahan, daun-daun mulai berdesir lirih tertiup angin. Aku terbangun, tak kusadari sudah 2 jam aku tertidur ditepi kolam. Perlahan aku mengambil posisi duduk, dengan ditahan dengan salah satu tanganku, aku pun bangkit. Merentangkan tanganku, meregangkan setiap otot-otot dalam tubuhku yang sedikit kaku karena posisi tidurku yang tidak baik. Terasa sekali jikalau badanku sedikit menggigil.

"Mungkin masuk angin" ucapku lirih.

Kuambil tas selempang ku yang selalu ku bawa untuk menyimpan buku-buku sekolahku. Meski hari ini aku tak belajar, aku tetap membawa tas ku ini, ya walaupun cuma berisikan sebuah pulpen juga sebuah buku catatan yang berisi kumpulan puisi karangan ku sendiri.

Aku mulai beranjak dari tempatku terdiam, kulangkahkan kakiku dengan berat, seolah ada sebuah beban yang tertancap di pundak ku.

Langkah demi langkah ku tapaki, hingga tiba di sebuah sudut sekolah dimana aku dapat melihat lapangan tengah dimana panggung tempat acara perpisahan yang sebelumnya berdiri tegak, kini satu demi satu besi dan tiang nya sudah tak lagi terpasang, menyisakan tumpukan besi yang sedikit berantakan. Keadaan sekitar lapangan masih saja sibuk dengan semua anggota OSIS disana. Mereka semua bergotong-royong merapihkan lapangan. Mulai dari sampah, sampai semua perangkat pendukung yang digunakan untuk acara perpisahan tersebut seperti sound sistem juga peralatan band.

Ku hela nafas panjang, kutatap langit yang kini mulai berubah menjadi kuning kemerahan. Kembali ku langkahkan kakiku, kali ini ku bermaksud untuk segera tiba di rumah dan segera mandi untuk menghilangkan segala penatku. Namun ditengah jalan, aku berpikir kembali, apa Dita benar-benar akan pindah ke Kanada. Argghhh aku tidak bisa menerimanya jikalau dia memang harus pergi. Tapi apa alasanku untuk mencegahnya???

....

Hari demi hari berjalan begitu cepat. Aku tetap melakukan rutinitas ku seperti biasa, berdiam diri dalam kamar, dan menulis bait demi bait puisi. Kutuangkan segala isi hatiku dalam tulisanku itu. Namun sampai sekarang aku tidak tahu, untuk apa dan siapa aku sebenarnya menulis. Apakah hanya untuk menyimpannya sebagai sebuah koleksi pribadi ku? Atau aku ingin orang lain dapat membacanya. Ya, semua itu masih jauh untuk ku bisa pikirkan, aku hanya mengikuti kata hatiku, dan hatiku berkata untuk tetap menulis, apa pun itu.

"Mataku lelah" ucapku lirih. Kurentangkan tangan dan kaki ku dalam posisi duduk diatas sebuah kursi dimana ku banyak menghabiskan waktu luang ku di rumah. Kukucek mataku pelan, dan kutatap setiap sudut kamarku. Hingga pandanganku berhenti di sebuah kalender yang selalu kutandai dengan lingkaran merah di setiap tanggal penting supaya aku tidak melupakan apapun. Aku pun berhenti di sebuah tanda di mana bertuliskan "benarkah dia akan pergi??".

Aku pun terkesiap. Segera ku beranjak dari tempat duduk ku. Ku raih tas dan segera ku masukkan buku kumpulan puisi ku. Kubuka pintu kamar ku, segera ku keluar dan ku banting pintu kamarku sampai-sampai kudengar suara teriakan ibuku dengan nada tinggi. Pasti beliau marah karena aku membanting pintu kamarku. Walau sebenarnya aku tak sengaja.

Segera ku nyalakan mesin motor ku dan lekas ku tancap gas, segera pergi ke tempat dimana aku pikir aku bisa menemukan sesuatu yang mungkin akan pergi selamanya dari hidupku.