webnovel

True Love : Senior! I Love U

Matanya dan mata hangat itu beradu sama-sama terkejut menyadari keberadaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dia sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri pernikahan sahabatnya sekaligus pernikahan laki-laki yang sangat dia cintai. Arsen. Dia bisa merasakan ada kabut yang menggelayut di matanya, ada gumpalan air yang memaksa keluar dari sana dan dia butuh menghindar dari tempat itu untuk menumpahkannya. Namun, entah kenapa kakinya tiba-tiba sulit untuk di gerakkan, kepalanya tiba-tiba pusing dan dia hanya bisa berdiri terpaku di tempat. Menyaksikan pemandangan yang sangat menyiksa hatinya, berdiri menyaksikan kenyataan yang tidak pernah di pikirkan sebelumnya. Dia harus mendengarkan janji-janji suci pernikahan yang di ucapkan dia harus melihat laki-laki itu menyematkan cincin pernikahan di jari manis sahabatnya. Dan dia harus melihat laki-laki itu memberikan ciuman pertamanya pada sahabatnya. Dia tidak tahan dengan semua itu. Tidak tahan dengan semua rasa sakit yang mulai menyerang hatinya, tidak tahan untuk segera menumpahkan air matanya. Namun itu pun tidak bisa di lakukannya, air matanya tidak bisa menetes seolah membeku seperti kebekuan hatinya yang sudah tidak bisa merasakan apa-apa.

Ahra_August · Urban
Not enough ratings
406 Chs

TIGA PULUH LIMA

"Apa katamu!" Elise mengepalkan kedua belah tangannya, ingin rasanya tangannya menghantam laki-laki menyebalkan ini, dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan berusaha mengatur emosinya yang mulai naik. "Apa kau akan terus mengatakan hal konyol seperti itu! Itu tidak lucu!" kata Elise datar, merengut kesal.

"Hei, kau kenapa Elise.."

Elise mendengus pelan "Kau sangat menjengkelkan. Aku tidak mau bicara denganmu lagi.."

Arsen menyipitkan matanya, mendecakkan lidahnya "Ya, apa pun kata mereka hatiku masih utuh untukmu , aku tidak peduli tentang pendapat mereka aku hanya peduli tentangmu."

Elise mengerut kening "Kau.."

"Sudahlah.." selanya cepat, lalu bangun dari duduknya dan melangkah menuju pedagang es krim yang mangkal tidak jauh dari tempat mereka duduk.

Elise memicingkan matanya memandangi punggung Arsen yang semakin menjauh, entah kenapa dia tiba-tiba mengakui pada dirinya sendiri kalau menyenangkan sekali berada di samping laki-laki itu, meskipun usianya masih muda tapi dia bisa bertindak dewasa dan membuatnya seperti anak kecil. Terasa aneh tapi Elise menyukainya selama itu adalah Arsen. Elise masih ingat saat-saat dia meninggalkan Arsen begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata untuknya. Laki-laki itu mungkin lebih terluka dari padanya, karena merasa tidak di hargai dan di nilai masih anak-anak. Tapi sekarang siapa yang akan tahu, dia terlihat lebih matang dan lebih dewasa darinya.

Elise selalu merasa minder jika teringat perbedaan usia mereka, dia merasa tidak pantas berdiri bersama Arsen, dia juga selalu merasa kalau hubungan mereka sangat tidak stabil sewaktu-waktu jika angin kencang menerpa akan hancur dengan mudah.

"Ini untukmu.."

Elise terkejut mendnegar suara itu. Dia menoleh ke arah sosok laki-laki yang sekarang sudah kembali duduk dis mapingnya dengan sebelah tangan menyerahkan sebuah es krim ke arahnya. Cepat sekali. Dengan gerakan pelan Elise pun mengambil es krim itu lalu bergumam "Terima kasih.."

Elise mendesah pelan, bagaimana bisa dia selalu teringat pada Arsen tindakan laki-laki itu tidak pernah berubah padanya, selalu hangat dan penuh kasih sayang. Perasaan Elise semakin kacau, bagaimana jika nanti dia kehilangan Arsen.

"Sma-sama, aku masih ingat kalau kau adalah pecinta es krim.." kata Arsen sambil tersenyum, senyum yang begitu menenangkan. Suasana di sekitar mereka menajdi hening karena keduanya sedang asyik menikmati es krim.

"Kau tidak membenciku?"

Arsen menghentikan gerakannya makan es krim "Benci." Keheningan kembali mengitari suasana.

"Kau marah padaku.."

"Marah.." jawab Arsen lagi singkat.

Elise mengangguk "Ya, kau memang harus membenci dan marah padaku.." ada nada kecewa dalam suaranya.

Arsen menyadarinya "Kenapa"

Elise menghela napas ringan "Aku sudah mengecewakanmu, meinggalkanmu. Dan kau membenciku, marah padaku. Jika kau ingin membalas rasa kecewa dan melampiaskan rasa marah dan bencimu aku siap dan tidak akan mengelak.."

"Kenapa kau harus membuat orang yang aku cintai sedih, aku memang marah dan benci tapi itu bukan padamu. Aku marah dan benci pada waktu. Kenapa aku terlahir begitu terlambat seandainya aku lahir lebih dulu dari mu maka semua rintangan dan pikiran konyol yang ada di kepala kecilmu aku bisa menghapusnya dengan muda, tapi aku tidak mampu, aku hanya bisa memaksamu, terus bersamaku tanpa peduli dengan pandangan orang lain.."

"Terima kasih" ucap Elise tersenyum ketika Arsen menggenggam sebelah tangannya. Arsen mengangguk. Elise menatap ke arah laut menatap lampu-lampu perahu nelayan yang sedang mencari ikan terlihat indah, seandainya hidupnya sama indahnya seperti itu. "Nah, Arsen.. apa kau pernah menyukai orang lain selama ini.."

Arsen tertawa "Bagaimana mungkin aku bisa? Hari-hari ku di penuhi dengan belajar dan merindukan mu. Aku tidak punya waktu untuk menyukai orang lai.." jawab Arsen mantap dan terdengar manis di telinga Elise "Nah, bagaimana denganmu.. aku pikir saudara-saudaramu berusaha menjodohkanmu dengan orang lain, contohnya waktu kita di taman bermain, aku pikir kakakmu ingin menjodohkanmu dengan Daniel.."

Elise terdiam dia tidak ingin menjawab itu karena dia tidak tertarik pada Danil, perasaannya juga sama seperti Arsen, dia sibuk bekerja dan merindukan laki-laki itu, bahkan untuk melupakannya saja dia tidak punya waktu.

"..Teman-temanku bilang. Aku seperti balok es. Aku selalu merindukanmu. Ketika makan, aku selalu memesan makanan kesukaan mu meskipun aku tidak bisa memakannya, tapi dengan begitu aku merasa kalau kau ada di sampingku.. aku tidak ingin melupakah satu hal pun tentangmu, meskipun itu hal yang paling kecil." Ujar Arsen lagi.

Elise tersenyum miris dia merasa kalau Arsen terlalu baik untuknya, dan Elise semakin merasa tidak pantas berdiri bersamanya. Elise menghela napas, lalu melirik jam tangan yang melingkar di lengan kurunya "Kita pulang sekarang.." tanyanya lagi. Lalu bangun dari tempat duduknta dan melangkah menuju mobil Arsen yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka duduk sebelumnya.

Arsen terdiam sejenak melihat reaksi Elise, dan berpikir. Apakah dia mengatakan sesuatu yang salah? Arsen mengangguk, gadis itu sudah berjalan mendahuluinya entah kenapa hatinya tiba-tiba merasa terpanggil untuk tidak membuat gadis itu menangis lagi. Arsen merasa dia harus membuat Elise terus bahagia. Membuat gadis itu teidak pernah merasa salah memilih kekasih.

****

Pagi-pagi sekali Elise sudah bangun menyiapkan segala perbekalan yang akan di bawanya untuk piknik di tepi pantai dengan Arsen, dia sendiri tidak tahu ke pantai mana mereka akan piknik. Hanya membutuhkan waktu setengah jam semuanya sudah selesai dikerjakan. Sebenarnya bukan Elise yang mengerjakannya tapi pelayan, dia hanya menjadi pengganggu selama proses pembuatan sushi dan makanan lainnya. Elise juga menyiapkan beberapa buah minuman kaleng, snack, roti, keju dan selai. Dan tidak lupa dia membawa sedikit obat-obatan sekedar jaga-jaga kalau terjadi apa-apa. Setelah selesai memasukkan semua makanan dan obat-obatan itu ke dalam keranjang piknik dia pun segera menuju kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Setelah selesai dia segera berpakaian santai menuju meja makan. Menyeruput secangkir coklat hangatnya yang di campur dengan sedikit marsmellow, kemudian melangkah ke dekat jendela kaca besar rumahnya yang menghadap ke taman. Duduk dis ana di sebuah kursi malas menghadap kesebelah barat, langit di luar mulai terang , dia melirik jam dinding jam enam pagi. Masih terlalu pagi, gumamnya.

Tinggal sendirian di rumah besar sangat tidak enak, Elise merasa jengkel dengan kakaknya yang hidup bebas tanpa beban tapi uang jajan terus mengalir ke tabungannya, sebenarnya dia juga sama seperti kakaknya tapi Elise ingin menikmati hidupnya dengan cara yang lebih bermanfaat lagi. Bali. Sekarang masih jam lima, kakaknya pasti masih bergelung di tempat tidur dengan selimut hangat dan kasur empuknya, benar-benar pengangguran elit.

Tapi Elise juga merasa senang karena kakaknya pergi ke Bali jika tidak dia pasti akan merecokinya dengan banyak pertanyaan apa lagi selama ada Arsen di sini. Mengingat laki-laki itu tiba-tiba membuat Elise tersenyum. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk segera menghabiskan waktu seharian ber piknik keliling kota dengan kekasihnya, membayangkannya saja sudah membuatnya begitu bahagia.