webnovel

True Identity (Asyila)

Yang aku tau namaku adalah Asyila Permata, seorang mahasiswa yang sedang berjuang sendiri untuk sebuah masa depan. Awalnya semuanya selalu berjalan seperti yang aku tau itu tetapi nyatanya tidak, setelah malam mendebarkan itu semuanya tak lagi sama. Ada yang berbeda dalam setiap detik yang sedang melaju dalam takdirku. Sebuah kebenaran yang seperti ilusi? Irama ketakutan dalam melangkah? Serta merta takdir yang sedang menyapa? Dan menjadi inti dari semua ini adalah sebenarnya siapa aku? ~Asyila Permata

Mentari_NA · Sci-fi
Not enough ratings
14 Chs

4 - Dibalik Bayang

"Dokter Fransisco ada yang ingin bertemu anda." ujar seseorang tepat setelah telepon itu tersambung.

"Suruh dia masuk." titahnya dengan wajah datarnya kemudian memutuskan sambungan telepon itu, kembali melanjutkan kegiatannya memeriksa dokumen pasien yang boleh ia izinkan pulang hari ini. Matanya tetap memperhatikan deretan huruf disana tanpa memperdulikan ada seseorang yang melangkah kearahnya

"Apa saya boleh duduk Dok?"tanya seseorang itu dan hanya membalasnya dengan anggukan tanpa mengangkat wajahnya melihat tamunya yang ada

"Boleh saya bertanya sesuatu Dok?" ujarnya lagi.

"Sebutkan saja keluhanmu,karena saya juga tidak bisa memberi waktu yang cukup leluasa."perempuan itu hanya menghela nafasnya merasa sangat diabaikan, padahal dia datang kemari ingin menanyakan sesuatu.

"Saya tidak mempunyai keluhan Dok,saya hanya ingin bertanya sesuatu." Tepat setelah perempuan itu mengucapkan kalimatnya, laki-laki itu mengangkat wajahnya menatap perempuan didepannya dengan pandangan datar tanpa ekspresi

"Lanjutkan." titahnya kemudian kembali menunduk menatap apa saja perkembangan pasiennya hari ini.

Awalnya perempuan berjilbab pashmina instan itu mengerutkan keningnya bingung tetapi beberapa detik kemudian ia paham arti kata singkat itu."Bagaimana caranya Dokter tau bahwa saya dalam bahaya, tiba-tiba Dokter muncul dan menolong saya, dikampus kemarin Dokter juga tiba-tiba ada disana. Apakah Dokter tau siapa sosok bayangan itu?"

"Musuh orangtuamu." Jawabnya sangat singkat

"Musuh orangtuaku? mana mungkin! saya terlahir dipanti dan dibesarkan dipanti. Dokter jangan asal bicara karena jelas-jelas saya ini anak yatim piatu dan tentunya tidak mempunyai orangtua." kesalnya, sepertinya pilihan untuk datang kemari bukanlah hal yang baik.

"Berusahalah mengingat dirimu sendiri Asyila." Gumamnya hampir terdengar seperti bisikan tetapi Asyila masih dapat mendengarnya, ya Asyila. Hari ini dia memutuskan untuk datang bertemu dengan dokter ini daripada harus terus menerus penasaran dengan kejadian demi kejadian yang Asyila alami beberapa waktu terakhir.

"Saya mengingat diri saya Dokter, saya di besarkan di panti. Tumbuh kembang disana, Dokter baru mengenal saya beberapa hari yang lalu jadi jangan sok tau tentang kehidupan saya. Maaf jika perkataan saya kurang mengenakkan, saya permisi. Assalaamualaikum"Asyila berjalan keluar dengan perasaan tak menentu. Apa maksud Dokter itu mengatakan bahwa yang menerornya adalah musuh ayahnya. Sedangkan di fikirannya dia adalah anak dari panti asuhan, hidup tanpa identitas apapun.

Fransisco hanya bisa mengusap wajahnya kasarnya, mengacak rambutnya frustasi. Asyila-nya benar-benar tidak terkendali. Perempuannya berubah. Tidal seperti dulu lagi. Kejadian itu membuat perempuannya menjadi sosok lain dan menjadi pribadi yang baru.

Dokter umum itu membuka laci mejanya memperlihatkan seorang anak kecil dengan pakaian tertutupnya. Pipi yang sedikit chubby, serta jilbab yang cukup memukau. Fransisco merindukan masa-masa itu tapi semuanya berubah karena kejadian tak tragis itu.

***

"Dasar dokter engga jelas, apaan coba musuh orangtuaku. Masa iya aku masih punya orangtua? Enggalah mereka kan sudah meninggal maka dari itu aku tinggal di panti asuhan." Asyila terus mengomel, matanya mencari mobil sahabatnya setelah menemukan Asyila berjalan kesana. Masuk dengan terburu-buru tentunya dengan wajah kesalnya.

"Aduuh... Yayang bebku kenapa sih? Kok cemberut gitu."

"Lebay banget, Ab." bukannya tersinggung yang disebutkan malah tertawa.

"Kenapa Sil? Dokter itu bilang apa?" untuk menengahi keadaan Visam memilih bersuara daripada mendengarkan ocehan tidak jelas dari salah satu sahabatnya, Abzali.

"Yayang beb, jangan cemberut dong nanti cantiknya hilang."

"Diam Ab." kesal Asyila lagi, Visam memilih diam saja sedangkan Abzali malah tertawa lagi.

"Kenapa Asyila? Dokter itu menyakiti kamu atau bagaimana?" Zurais yang duduk dibalik kemudi memilih bersuara.

"Huh panas... Ada panas tapi bukan matahari." Abzali mengipas wajahnya dengan makalah yang ada di genggamannya.

"Sam, kamu engga papa kan? Sini cogan kayak aku kipasan. Siapa tau engga panas lagi." Abzali menoleh kebelakang menatap Visam yang sibuk dengan ponsel.

"Apanya yang panas? Aku engga kenapasan, kan Ac-nya nyala." Visam menghentikan kegiatannya, sambari menatap tajam Abzali. Temannya ini memang sangat cerewet melebihi perempuan.

"Sayangnya akoh kamu diam aja daripada aku kasi kamu hadiah." perempuan dengan rmabut kuncir kudanya yang berada diantara Visam dan Asyila akhirnya membuka suaranya membuat Abzali meneguk ludahnya kasar, Alena ini benar-benar mirip laki-laki.

"Udah... Jalan aja." semuanya langsung terdiam saat Asyila bersuara, Zurais memilih mengikuti keinginan Asyila dan mobil mereka meninggalkan perkiraan rumah sakit.

"Mereka sudah meninggalkan parkiran rumah sakit, jaga baik-baik karena saya sangat yakin mata-mata dia itu sedang memantau dari jauh. Saya berharap banyak darimu." setelah mengucapkan hal itu sambungan telepon terputus, mata tajamnya menatap mobil itu melaju.

"Segeralah kembali Asyila karena saat ini posisimu benar-benar dalam bahaya." bisiknya sangat pelan dimana hanya dirinya yang dapat mendengarnya.

***

Hatinya merasa hampa, malaikat kecilnya berada jauh dari jangkauannya. Sangat-sangat jauh dari posisinya, andai waktu dapat terulang. Kemarin ia berusaha mencari tau dan ternyata kelompok itu sudah menjalankan siasatnya, dia mana mungkin diam kan?

Nyawa malaikat kecilnya dalam bahaya "Andai Mas Aditia masih ada mungkin Asyila tetap ada di sisiku. Kebahagian itu tiada akhir tapi kenapa bisa seperti ini"gumamnya lirih, jemari lentiknya mengusap pelan pigura foto lengkap dipenuhi tawa murni.

"Apa sebaiknya aku ke indonesa juga Bi?" pelayan yang berdiri di dekat pintu langsung menggeleng cepat.

"Tidak Nyonya, itu akan sangat berbahaya. Ada baiknya kita memantau saja, saya cukup yakin Nyonya jikalau Nona muda akan baik-baik saja." pelayan itu berjalan mendekat, mana mungkin ia membiarkan Nyonya-nya kesana.

"Asyila-ku dalam bahaya Bibi. Apalagi bukan hanya kelompok itu yang turun tangan akan tetapi keluargaku juga bekerjasama dengan mereka." Ia menyimpan pigura foto itu diatas mejanya dalam keadaan di baringkan, kakinya melangkah kearah jendela menatap lautan lepas.

"Nyonya... Saat ini kita dalam pengejaran juga, jika Nyonya nekat maka kita akan ketahuan dan jika Nyonya ketahuan maka siapa yang akan menyelamatkan Nona Asyila nanti?" perempuan dengan pakaian panjangnya itu memilih bungkam.

"Nyonya Valexia..."

Perempuan itu menoleh menatap salah satu pelayannya yang datang tiba-tiba, "ada apa Bibi? Kenapa begitu terburu-buru?" tanyanya, perempuan bernama Valexia itu mendekat berdiri tepat di depan pelayan yang baru datang itu.

"Tuan... Tuan... Tuan Fransisco ternyata sedang berada di Indonesia dan saat ini sedang menyamar sebagai dokter umum dirumah sakit besar. Menurut nona Naila yang baru saja menelepon spertinya Tuan sedang berusaha melindungi Nona Asyila." Valexia terdiam, Fransisco?

Bukankah laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa jejak bahkan keluarganya sendiri tidak tau keberadaannya tetapi ternyata berada di Indonesia dan berusaha melindungi Asyila-nya.

"Ya Allah... Alhamdulillah... Asyila-ku." Valexia yang ternyata Ibu dari Asyila berjalan kembali ke arah kursinya, menatap haru pigura foto itu.

"Mas Aditia, Asyila kita sudah aman sekarang dan ternyata Fransisco yang tidak tau keberadaannya berada disana. Mas Aditia, Allah mendengar do'aku." gumamnya lirih, kedua pelayan yang berada disana tersenyum haru melihat Nyonya-nya.

"Ya, dengan saya disini. Ada apa?"

"..."

"Baiklah."

"Maafkan Saya Nyonya tapi tolong masuklah kembali ke ruang rahasia karena keluarga anda sedang menuju kemari untuk memeriksa tempat ini. Dan kali ini bukan kakak Anda yang datang tetapi ayah Anda dan ketua kelompok itu." Valexia menegang, tangannya dengan cepat memeluk pigura foto itu, berjalan cepat kearah sudut ruangan.

Disana memang tidak terlihat apapun tetapi berbeda lagi jika Valexia yang berdiri disana. Wajahnya langsung di analisis tanpa suara dan beberapa detik kemudian pintu itu terbuka, Valexia dengan cepat masuk. Sejenak, menatap kedua pelayannya kemudian ruangan itu kembali tertutup.

Tidak ada siapapun yang bisa membuka ruangan itu bahkan pelayan-pelayan itu sekalipun. Karena kuncinya adalah wajah Asyila, Valexia dan juga Mas Aditia ayah dari Asyila yang telah lama meninggal.

"Buat serapi mungkin dan mari berbaris di halaman depan." ketua pelayan yang sejak awal menemani Valexia itu berlalu, meninggalkan pelayan tadi membereskan semuanya sedetail mungkin. Baik sidik jari ataupun lamgkah kaki Nyonya-nya.

Semua pelayan yang bekerja di rumah tua itu berbaris rapi, dua mobil mewah memasuki pekarangan rumah.

"Selamat datang Tuan Besar." sambut ketua pelayan tepat setelah seorang pria berjas rapi keluar dari mobil.

"Periksa semua tempat ini bahkan sidik jarinya sekalipun. Temukan Valexia apapun yang terjadi." semua bodyguard itu berlalu menjalankan titah.

"Maafkan kami Tuan Besar, Nona tidak ada disini." lapornya setelah 2 jam kemudian.

"Jika salah satu dari kalian menyembunyikan Valexia maka tentunya kalian tau resikonya." setelah mengucapkan itu Dia masuk kedalam mobil tak lama kemudian rombongan itu berlalu.

"Periksa semua tempat, cctv kecil Dan apapun itu singkirkan." perintah ketua pelayan itu dengan tegas tanpa bantahan. Barisan itu bubar melaksanakan perintah.

"Madam ashley, ini sangat berbahaya." ujar salah satu pelayan padanya.

"Apapun akan aku lakukan untuk keamanan Nyonya Valexia walaupun aku harus kehilangan nyawaku sekalipun, Tuan Aditia lah yang memperkerjakan kita dan menyelamatkan kita semua dari perbudakan ataupun tempat menyeramkan itu jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menolongnya bukan?"

"Tuan Aditia tidak memperdulikan berapa banyak uangnya yang habis hanya untuk membebaskan budak seperti kita, memberikan rumah ini untuk kita sebagai tumpangan maka dari itu inilah saatnya kita membalas semuanya, lakukan yang kuperintahkan dan jangan sampai ada yang terlewatkan." Ashley berlalu, pelayan itu tersenyum. Keduanya benar, inilah saatnya mereka semua membalas kebaikan itu jika bukan karena Tuan Aditia maka mungkin saat ini dirinya masih ada di tempat kelam itu.

"Kami akan melindungi keluarga anda, Tuan Aditia." gumamnya dengan janji yang begitu nyata.

Disisi lain, Valexia menatap kepergian ayahnya dengan sorot kerinduan. "Aku merindukanmu ayah, tapi jika aku kembali padamu maka kamu pasti akan memaksaku meninggalkan Allah dan melepaskan jilbab ini, dan itu adalah hal mustahil yang akan ku lakukan. Allah adalah tujuanku dan jilbab adalah mahkotaku." senyumnya tercipta, keluarga memang utama tetapi Allah lebih utama.

Flashback on.

"Kamu yakin akan ikut denganku, Valexia?"

"Ya."

"Meskipun harus meninggalkan keluargamu dan masuk dalam keyakinanku?"

"Ya tentu."

"Valexia, ada baik-"

"Segera bawa aku pergi, sebelum ayah menemukan kita."

"Jangan menyesali apapun yang terjadi di masa depan, karena apa yang kamu lakukan sekarang adalah awal untuk konsekuensi."

Flashback end

"Aku tidak pernah menyesali keyakinan ini Mas, aku menyesali karena tidak bisa lebih cepat menyadari jika hari itu adalah hari dimana mereka merencanakan pembunuhanmu." matanya menatap Ashley yang sedang berbincang dengan pelayan. "Jagalah dia Ya Allah, berilah Mas Aditia ketenangan didekatmu." gumamnya lagi.