webnovel

Bab 7-Gadis yang Bertarung dengan Hatinya

Pertarungan hati

jauh lebih dahsyat daripada Baratayudha

hati juga punya palagan Kurusetra

yang jauh mematikan

dan lebih banyak menebarkan batu nisan

Sekar Wangi melangkah dengan hati tak karuan. Dia tidak tahu hendak menuju kemana. Terlalu banyak dugaan yang berkembang di kepalanya. Selain itu dia juga tidak tahu arah jalan ke Pulau Kabut. Saat berusaha bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya di jalan, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menatapnya heran. Mencari jejak Ratri Geni yang diharapkan bisa membantunya juga sama sulitnya. Gadis itu tak diketahui di mana rimbanya. Dia hanya memperoleh keterangan bahwa keberadaan terakhir gadis itu adalah di Puncak Ciremai.

Dia sangat merindukan Pangeran Arya Batara. Sekaligus cemas terhadap keadaannya. Tidak ada kabar sama sekali dari penculik yang meminta tebusan atau apapun niatnya. Jangan sampai pangeran yang telah membuatnya jatuh hati itu sudah tak bernyawa lagi. Sekar Wangi menepis dugaan mengerikan itu. Pangeran Arya Batara jauh lebih berharga dalam keadaan hidup daripada mati. Mungkin para penculik itu hanya menunggu saat yang tepat saja untuk menyampaikan maksudnya kepada Kerajaan Pajang.

Gadis yang sedang jatuh cinta sekaligus retak hatinya itu memandang sekeliling dengan masgul. Sambil menghela nafas panjang, dia memantapkan hatinya untuk pulang ke Sumedang Larang. Meminta bantuan Ayahnya mungkin menjadi jalan satu-satunya sekarang. Tapi perjalanan akan sangat panjang. Dia harus mencari kuda yang kuat. Selama di Istana Pajang, Pangeran Arya Batara selalu memberikannya keping-keping emas dan perak untuk berbelanja apa saja yang menjadi keperluannya. Dan Sekar Dewi masih menyimpan banyak sisa dari keping berharga itu.

Setelah membeli seekor kuda yang besar dan kuat di sebuah pasar hewan yang ramai, Sekar Wangi memacu kudanya menuju arah barat. Dia harus cepat-cepat menemui ayahnya untuk meminta bantuan mencari Pangeran Arya Batara. Waktu sangat berharga sekarang. Nyawa pangeran pujaannya itu dipertaruhkan.

Jarak ke Sumedang Larang sangat jauh. Sekar Wangi hanya berhenti saat makan dan ketika malam tiba untuk bermalam di penginapan. Dengan kecepatan seperti itu, akhirnya sampai juga Sekar Wangi di wilayah perbatasan Sumedang Larang. Tidak ada aral yang merintanginya sepanjang jalan. Dia memang memilih melalui jalan utama untuk menghindari gangguan begal dan perompak yang seringkali beraksi di jalanan sepi pinggiran hutan. Tidak ada yang berani bertindak di jalan utama karena patroli pasukan kerajaan Pajang atau Sumedang Larang rutin dilakukan di wilayah masing-masing.

Sekar Wangi menghentikan kudanya dan memutuskan untuk singgah di warung makan yang banyak terdapat di perbatasan.

Gadis itu memilih duduk di sudut yang tak terlihat dari jalan agar bisa mengawasi orang-orang keluar masuk di warung yang sangat ramai ini. Sekar Wangi ingin menilai keadaan terkini. Baik di Sumedang Larang maupun informasi lain yang mungkin berguna bagi pencariannya.

Seorang pemuda tampan dengan wajah murung masuk dengan kepala tertunduk. Mengambil tempat duduk tidak terlalu jauh dari Sekar Wangi. Pemuda itu tidak mempedulikan keadaan sekitar sehingga tidak menyadari bahwa Sekar Wangi memperhatikannya dengan raut muka kaget.

Apa yang dilakukan Pendekar Langit sampai datang jauh-jauh ke sini? Sekar Wangi langsung berpikir keras. Ini kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan. Pemuda itu sakti bukan main. Dia akan membujuknya agar mau membantu pencarian Pangeran Arya Batara. Dia tidak perlu mendatangi Istana Sumedang Larang untuk minta bantuan dari ayahnya kalau pemuda ini bersedia membantunya.

Sekar Wangi hendak menghampiri Ario Langit namun segera membatalkan niatnya karena terdengar keributan di luar. Pendekar Langit itu tetap berdiam di tempatnya meski keributan atau pertengkaran itu menimbulkan suara keras sekali di luar.

"Bagaimana bisa?? Aku tidak mau menyerahkan tanahku yang hanya sepetak itu untuk membangun perluasan Padepokan Maung Leuweung. Aku tidak mau meski diganti rugi sebesar apapun!" Terdengar seseorang mempertahankan pendapatnya dengan nada tinggi.

"Ki Acep, kau tidak bisa terus menolak tawaran kami. Ki Sambarata tidak bisa memperluas padepokan jika kau tidak mau menjual tanahmu karena ladangmu itu berada di tengah-tengah lokasi pembangunan. Para petani lain sudah mau dan menerima ganti rugi dengan senang hati. Terimalah keping perak ini dan belilah tanah yang lebih luas di tempat lain." Suara lain mencoba membujuk dengan halus. Sekar Wangi melangkah keluar. Suara ribut-ribut itu menarik perhatiannya.

Petani tua yang bernama Ki Acep itu menggelengkan kepala berulangkali. Petani itu keukeuh mempertahankan sebidang tanahnya yang kecil karena sangat subur dan selama ini sanggup menopang kebutuhan keluarganya dengan bercocok tanam di sana. Lagipula dua keping perak yang ditawarkan sangat tidak masuk akal. Semestinya tanah seluas kepunyaannya seharga paling tidak lima keping perak.

Padepokan Maung Leuweung adalah padepokan besar. Anak muridnya berjumlah ribuan. Dipimpin oleh Ki Sambarata yang berjuluk Maung Atirabhasa. Banyak beredar kabar angin yang menyebutkan bahwa Ki Sambarata mempunyai kemampuan untuk menjelma menjadi seekor harimau. Kakek tua pemimpin Maung Leuweung itu juga dikabarkan tak mempan senjata tajam karena memiliki ilmu kebal. Karena itulah Padepokan Maung Leuweung sangat kesohor terutama di wilayah Jawa bagian barat. Barangkali jika ingin disamakan maka padepokan ini setara dengan Padepokan Pringgondani di Lembah Serayu yang dipimpin Ki Ageng Jatmiko. Kabar angin yang berhembus bahkan menyebutkan bahwa Ki Ageng Jatmiko dan Ki Sambarata sesungguhnya adalah saudara seperguruan.

Utusan Padepokan Maung Leuweung yang bernama Ki Jantura itu memerah raut mukanya setelah melihat betapa keras hatinya Ki Acep mempertahankan tanahnya. Namun dia tidak mau mempergunakan jalan keras karena banyak sekali orang yang menonton kejadian ini. Ki Jantura membalikkan bada hendak pergi saat terdengar suara orang berdehem dan berkata.

"Hmm. Maung Leuweung memang terbukti tidak memiliki gigi. Masa kalah sama seorang petani bodoh dan lemah." Ki Jantura menoleh ke asal suara. Seorang lelaki muda berbaju compang-camping seperti seorang pengemis mencibirkan mulutnya. Kontan saja hati Ki Jantura panas. Dia mendekati si pengemis dan membentak.

"Apa maksud perkataanmu itu Kisanak?! Apakah kau hendak mencari gara-gara dengan Maung Leuweung?!"

Pengemis itu tidak nampak takut. Dia membuka capingnya yang lebar dan dipenuhi tambalan. Terlihat muka tampan pucat dengan jenggot dan kumis yang rapi. Wajah itu memiliki mata yang berbinar-binar dan bergerak-gerak dengan liar. Lelaki tampan yang terlihat sangat aneh.

"Hahaha. Kalau memang aku berniat mencari gara-gara kau mau apa?!"

Ki Jantura yang memang pada dasarnya berwatak berangasan tidak bisa menahan dirinya. Tangannya terayun dengan niat menampar wajah pucat pengemis itu dengan maksud memberinya pelajaran. Namun tangan itu terhenti di udara. Seolah ada tangan tak kelihatan yang menahannya.

Murid Padepokan Maung Leuweung itu makin marah. Kali ini dia menendang bertubi-tubi ke tubuh pengemis yang tetap mencibirkan mulutnya itu. Kembali kaki Ki Jantura terhenti di udara tanpa tahu oleh sebab apa.

*******