webnovel

Bab 23-Kampung Nelayan yang Damai

Kedamaian bisa saja tak jauh bersembunyi

dari kita

yang mencarinya dengan putus asa

karena menyangka semua damai ada di langit

jauh tak berujung

sehingga membuat kita makin murung

Raden Soca mengajak Ratri Geni ke sebuah rumah nelayan yang sederhana. Nelayan tua yang merupakan kepala kampung dan dulu bertindak sebagai ayah asuh Raden Soca saat masih kecil. Kepala kampung dan istrinya langsung memeluk erat Raden Soca begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Mereka memang tidak mempunyai anak sehingga saat diminta kesediaannya oleh Panglima Kelelawar untuk mengasuh Raden Soca, dengan senang hati keduanya bersedia.

Mereka sama sekali tak menyangka mendapat kunjungan dari anak asuh yang sekarang sudah beranjak dewasa. Menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Apalagi setelah dilihat Raden Soca membawa serta seorang gadis cantik jelita yang terlihat baik dan sangat sopan serta…kelaparan!

Sambil menunggu makanan dihangatkan, ibu asuh Raden Soca menyajikan ubi dan jagung rebus yang kebetulan belum lama diangkat dari tungku sehingga masih hangat. Dalam tempo sekejap saja dua potong jagung dan ubi rebus telah pindah tempat ke perut Ratri Geni. Raden Soca menahan ketawanya. Gadis ini sama sekali bukan gadis pemalu. Sungguh menyenangkan melihat betapa lahapnya Ratri Geni makan jagung dan ubi rebus. Bukan cuma lahap tapi juga cepat!

Ratri Geni membetulkan duduknya. Perutnya terasa nyaman setelah kemasukan makanan hangat itu. Kantuk mulai menyerangnya. Ingin rasanya langsung tertidur pulas di serambi rumah yang menghadap ke laut ini. Diiringi suara deburan ombak dan dibelai oleh angin laut yang semilir. Mata Ratri Geni mulai kuyup. Ibu Asuh Raden Soca keluar sambil membawa wadah makanan yang masih mengepul. Sop Ikan! Mata Ratri Geni kembali terbuka lebar. Apalagi disusul kemudian dengan sambal pedas dan nasi panas. Ratri Geni menyingkirkan rasa kantuknya jauh-jauh. Ini jauh lebih penting daripada membesarkan dengkur. Tanpa sungkan gadis ini menyendok kuah yang masih mengepul itu ke dalam mangkok.

Raden Soca menutup mulut sambil memalingkan muka agar tak terlihat senyumnya yang lebar dan geli. Ratri Geni tidak peduli dengan sekitar. Malam ini cuacanya cukup dingin. Sup ikan ini luar biasa enak. Barulah Ratri Geni menyadari darimana Raden Soca mendapatkan keahlian memasak enak. Rupanya sejak kecil dia sudah diajari cara memasak dengan enak. Tak heran Sima Braja lebih memuji masakan Raden Soca dibanding dirinya.

Ratri Geni benar-benar makan besar malam itu. Entah sudah berapa mangkuk sup yang telah dihabiskannya. Raden Soca sampai terheran-heran. Gadis seramping ini makannya sebanyak itu! Satu hal yang dikagumi Raden Soca adalah Ratri Geni sama sekali tidak menyembunyikan sikapnya yang terus terang. Saat lapar dia akan makan sebanyak yang dia mampu. Saat mengantuk, gadis ini dengan seenaknya merebahkan diri dan tidur di tempat apapun dengan nyaman. Seperti sekarang ini. Saat orang-orang masih terjaga karena asik bercerita melepas rindu, Ratri Geni sudah tertidur dengan nyenyak di serambi.

Malam berlalu tanpa kecemasan. Pagi harinya Raden Soca terbangun dengan tubuh segar. Istirahatnya cukup malam tadi. Diapun tertidur di serambi bersama Ratri Geni dan ayah serta ibu asuhnya. Dilihatnya gadis itu sudah tidak ada di tempat berbaringnya. Raden Soca berjalan ke pantai yang berada persis di depan rumah. Agak di tengah laut yang hanya sedikit berombak, Raden Soca melihat Ratri Geni berdiri di air setinggi lehernya. Tubuhnya menghadap matahari pagi yang memerah. Sejak fajar menyingsing gadis itu sudah terbangun lalu bersamadi dengan tenang di laut. Raden Soca tidak mau mengganggu dan hendak kembali ke rumah untuk menyiapkan makan pagi saat dia melihat sesuatu yang menakjubkan.

Ratri Geni yang tadinya bersamadi sambil berdiri dengan air sebatas lehernya, kini mengambang bersila di atas air! Tubuh gadis itu bersila di permukaan air dan terombang-ambing gelombang kecil. Namun matanya tetap terpejam dan tidak terganggu sedikitpun dengan keadaan sekitar. Raden Soca menggeleng-gelengkan kepala. Entah samadi macam apa yang dipelajari gadis itu sehingga bisa bersila mengambang di atas permukaan air seperti itu.

Apa yang sedang dilakukan Ratri Geni sesungguhnya adalah salah satu dari Empat Samadi yang dipelajarinya dari Kitab Langit Bumi. Cara samadi yang sedang dilakukannya adalah Samadi Air atau Ranu. Apabila sudah terlatih dan mendalami hingga kesempurnaan, maka tubuhnya bisa mengambang di atas air saat bersamadi. Dalam Samadi Ranu ini Ratri Geni bisa menyerap unsur air yang tidak bisa didapatnya jika masih tenggelam dalam air. Samadi dengan cara Ranu ini membuat hawa sakti yang berpusar di dalam tubuhnya adalah Danu Cayapata karena pukulan langka itu sangat berhubungan dengan unsur air.

Hanya satu cara samadi dari Kitab Langit Bumi yang masih belum dikuasai betul oleh Ratri Geni, yaitu Samadi Maruta. Gadis ini belum bisa sampai mengambang di udara pada saat bersamadi. Dia selalu gagal dan terjatuh meskipun sempat beberapa detik mengambang di udara. Entah apa yang menyebabkan, tapi Samadi Maruta inilah yang belum berhasil sepenuhnya dia kuasai.

Raden Soca tidak jadi kembali dalam rumah. Pemuda ini duduk di atas pasir yang mulai hangat dan tenggelam dalam samadi Inti Bumi seperti yang diajarkan oleh Ki Ageng Waskita melalui kitab yang diwariskan kepada Jaka Umbara.

Pemandangan aneh di pesisir laut selatan. Dua sosok muda-mudi sama-sama bersamadi dengan khusuk. Satu mengambang di atas air dan satunya di atas pasir. Para nelayan sudah keluar melaut sejak dinihari sehingga tidak ada satupun yang menyaksikan kejadian langka dan menakjubkan itu.

Entah berapa lama dua orang itu bersamadi dengan caranya masing-masing. Namun saat matahari sudah mulai meninggi, Ratri Geni menyudahi samadinya dan berjalan menuju pantai tempat Raden Soca masih bersamadi dengan tenang.

Ratri Geni yang sudah merasa lapar lagi, berhenti dan membatalkan niatnya menuju rumah orang tua asuh Raden Soca. Gadis ini sangat tertarik dan penasaran melihat cara Raden Soca bersamadi. Cara bersamadi yang sangat dihafalnya. Samadi Inti Bumi yang diajarkan oleh Ki Ageng Waskita yang sempat melatihnya beberapa saat sebelum dia akhirnya ditugaskan oleh tokoh sakti itu untuk pergi ke Puncak Ciremai.

Ratri Geni berdiri bersedekap tak bergerak di hadapan Raden Soca. Menunggu hingga Raden Soca mengakhiri samadinya dan membuka mata.

"Darimana kau belajar Samadi Inti Bumi, Raden?" tanya Ratri Geni menyelidik.

Raden Soca tersenyum hangat. Setelah bersamadi Inti Bumi dia selalu merasakan pikirannya menjadi tenang dan memandang hidup dengan lebih sabar dan arif.

"Dari seorang tokoh sakti yang mengorbankan dirinya untuk kesembuhanku yang terluka parah nyaris tewas saat itu, Ratri. Seorang tua yang luar biasa. Aku sangat berhutang budi kepadanya." Mata Raden Soca sedikit menerawang. Teringat pengorbanan Ki Ageng Waskita hingga melalui nyawanya sendiri.

"Maksudmu Ki Ageng Waskita?" Ratri Geni langsung pada dugaannya.

Raden Soca memandang heran lalu mengangguk mengiyakan. Ratri Geni kembali memandang tatapan tajam namun senyum mengejeknya mulai terlihat.

"Kapan kau belajar Samadi Inti Bumi dari Ki Ageng Waskita, Raden? Sebelum atau sesudah peristiwa Puncak Ciremai?"

Raden Soca balik memandang Ratri Geni dengan heran. Untuk apa gadis ini bertanya hingga hal terkecil seperti ini?

"Jauh sesudah kejadian Puncak Ciremai. Saat itu aku menolong seorang pemuda baik yang menjadi korban keganasan Putri Anila, Putri Aruna dan Paman Amranutta di pinggiran Alas Roban."

Senyum mengejek Ratri Geni semakin mengembang.

"Kalau begitu kau harus memanggilku Kakak Seperguruan! Aku belajar Samadi Inti Bumi dari Ki Ageng Waskita jauh sebelum peristiwa Puncak Ciremai." Ratri Geni tertawa tergelak dengan raut muka puas.

Hah?

Raden Soca menatap dengan pandangan tak percaya.

--***