webnovel

TIPL - Keberatan untuk Menyeimbangkan

Setelah pertengkaran tadi, Peyvitta sekarang memilih untuk mencoba menenangkan dirinya, dia lelah kalau harus terus berdebat dengan mereka yang notabenenya tidak ingin kalah.

Memang cukup masuk akal kalau pada dasarnya manusia tidak mau kalah, tapi kalau harus memaksakan keinginan diri agar menjadi keinginan orang lain itu tidak baik.

Masih mending kalau keinginannya adalah sebuah hal yang baik untuk orang tersebut, bagaimana kalau malah sebaliknya?

Meskipun keinginannya tersebut adalah sebuah keinginan yang berdampak positif dalam pikirannya, tetap saja harus memikirkan orang lain juga.

Tidak bisa dengan mudah untuk memaksakan keinginan diri kita kepada orang lain, karena besar kemungkinan kalau orang itu juga mempunyai sebuah keinginan yang cukup mungkin akan bertolak belakang dengan keinginan kita.

"Vitt," panggil Pelvetta sambil duduk di samping Peyvitta.

Memperhatikan ekspresi yang sekarang tengah kembarannya pasang, dia tahu kalau sekarang Peyvitta tengah banyak pikiran dan juga tengah lelah dengan keadaannya.

Peyvitta menengadahkan kepalanya dan kemudian menjawab. "Hm, ada apa?"

"Lo tadi bahas tentang pernikahan lo sama Om Santosa ya?" tanya Pelvetta perlahan, semula memang Pelvetta sudah mendengar beberapa percakapan antara kedua orang tuanya dengan Peyvitta.

Peyvitta menganggukkan kepalanya. "Iya," jawab Peyvitta dengan menggunakan nada bicara yang sangat lemah.

Pelvetta teringat akan sesuatu hal, Pelvetta merasa tidak enak. "Sorry ya, gara-gara gue lo jadi terjebak dalam masalah ini."

Memang seperti yang sudah Peyvitta bahas tadi, sebelumnya Santosa itu lebih dulu tertarik pada Pelvetta, hanya saja Pelvetta menolak dan setelah itu kedua orang tuanya lebih memberikan Peyvitta sampai akhirnya Santosa memang jatuh hati pada Peyvitta.

"It's okay, gak papa."

Peyvitta tidak ingin mempermasalahkan semua yang sudah terjadi, karena hal itu sama sekali tidak ada keuntungan untuknya di waktu sekarang.

Mempermasalahkan semua hal itu sama saja dengan membuat suasana semakin memburuk, hal itu tidak akan sampai membuat masalah yang sekarang tengah dihadapi menjadi hilang begitu saja.

"Hm, terus tadi bahas Kak Bima itu ada apa?" tanya Pelvetta yang merasa penasaran saat dirinya semula mendengar kalau pembahasan antara Papahnya dan juga Peyvitta ada menyangkut tentang Bima.

"Papah minta gue milih salah satu dari mereka, kalau gak tunangan sama Om Santosa, ya menerima Kak Bima." Dengan penuh kejujuran Peyvitta menjawab dan memberi tahu hal yang sebenarnya.

"Terus lo pilih yang mana?" Pelvetta jadi ingin tahu siapa orang yang pada akhirnya dipilih oleh Peyvitta.

Kening Peyvitta berkerut dan tatapannya langsung berubah. "Gak pilih dua-duanya lah, gila aja gue pilih salah satu dari mereka."

Pelvetta tahu kalau dari dua orang itu tidak ada yang Peyvitta sukai, tapi masih ada sebuah tanda tanya dalam dirinya. "Kenapa gak pilih Kak Bima?"

Nada tanya yang Pelvetta gunakan sekarang terdengar berbeda dengan sebelumnya, dalam kalimat ini Pelvetta seolah seperti orang yang begitu menyayangkan keputusan Peyvitta yang tidak memilih seorang Bima.

Peyvitta menggelengkan kepalanya dan kemudian memberikan penjelasan, "Gak bisa, gue gak bisa nerima Kak Bima. Kak Bima terlalu sempurna buat gue, gue gak mau bersama dengan dia. Gue keberatan kalau gue harus menyeimbangkan diri gue dengannya. Jadi, ya gitu deh."

Ternyata apa yang Peyvitta ucapkan tadi pada Herman tentang alasan kenapa dirinya menolak Bima setelah sebelumnya dia membahas tentang umur saat dirinya harus bersama dengan Santosa, ternyata sama dengan alasan yang dirinya beritahukan pada Pelvetta sekarang.

"Oh, semua orang tahu itu." Pelvetta memang tidak merasa aneh mendengar bagaimana Peyvitta membeberkan kelebihan-kelebihan Bima.

Peyvitta menganggukkan kepalanya. "Ya gitu lah, intinya gue gak suka sama Om Santoso dan gue gak mau sama Kak Bima. Gue juga bingung sebenarnya kenapa Kak Bima bisa suka sama gue," papar Peyvitta.

Mendengar hal ini membuat Pelvetta terdiam kebingungan. "Lo tahu gak?" tanya Pelvetta yang membuat Peyvitta merasa ppenasaran.

"Apa?" tanya Peyvitta yang memang dirinya merasa tidak tahu apa yang akan Pelvetta bicarakan.

Sebelum Pelvetta memberi tahu Peyvitta akan hal yang sekarang sudah ada di ujung pemikirannya, Pelvetta sempat memandang Peyvitta sejenak.

Memperhatikan manik bola mata Peyvitta yang sekarang tengah memancarkan kegelisahan yang jelas.

"Sebenarnya orang yang pertama kali dikenalkan sama Kak Bima itu gue," ucap Pelvetta menggunakan nada bicara yang terdengar cukup rendah.

Ada sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan dan sedang Pelvetta rasakan sekarang. Sebenarnya dia merasa begitu berat untuk menceritakan hal ini, tapi akan dia lakukan dengan tujuan bisa membuat Peyvitta sedikit lega.

"Hah?" Peyvitta merasa begitu kaget mendengar penuturan dari Pelvetta. "Lo? Terus kenapa lo gak sama Kak Bima aja?" tanya Peyvitta yang benar-benar kebingungan saat mengetahui kenapa kembarannya tidak bersama saja dengan Bima.