webnovel

Mulai bekerja

Kringgg!

Sudah kesekian kali alarm itu berbunyi, tetapi gadis yang kini bernama Gwen masih belum mau untuk bangun dari tidurnya yang nyenyak. Setidaknya kini ia sedikit ada pergerakan walau matanya masih saja terpejam, sampai ia tak sadar bahwa ranjangnya tidak seluas yang ia miliki di dunia nyata.

Gedubrak!

"Argh ... sakit ..." Casey meringis seraya mengusap kepalanya yang terbentur ke lantai. Ia ingin kembali tertidur lagi, tetapi merasa seperti ada yang janggal sampai di mana ia memeriksa jam di ponselnya. Netranya membulat setelah melihat jam yang tertera di sana, pukul 04.30.

"Sial, tinggal tiga puluh menit lagi!" seru Casey seraya berlari menuju kamar mandi.

Casey mandi dengan asal, yang terpenting tubuhnya terkena air itu sudah cukup. Karena hari pertama ia bekerja adalah hari yang paling penting dibanding apa pun. Jika ia telat, bagaimana nasib dirinya ke depannya? bisa-bisa tingkat love para pria itu turun bahkan sebelum ia berusaha menaikkannya, dan akhirnya ia tidak bisa kembali ke dunia nyata.

Casey memandang dirinya di cermin yang dibalut dengan seragam pelayan lengkap topinya dan aksesoris di lehernya. Manis sekali. Sungguh, Casey terpesona dengan fisik Gwen. Karena ia tak yakin, jika tubuh aslinya yang menggunakan seragam pelayan seperti ini akan sama cantiknya dengan Gwen. Yang ada jika Eleana melihatnya, gadis kejam itu akan menertawainya dengan puas.

Ah, ngomong-ngomong Eleana, Casey jadi rindu mulut tajam gadis itu ....

Tok Tok!

"Gwen? Apa kau sudah bangun?" suara Asylin dari luar kamar. Casey langsung saja berjalan dengan sedikit cepat untuk membuka pintu kamarnya.

"Selamat pagi, Asylin," sapa Casey dengan senyum merekah.

"Selamat pagi, Gwen. Sudah kuduga kau akan sangat cantik menggunakan pakaian itu," puji Asylin membuat pipi Casey merona.

"Terima kasih."

"Ukurannya benar pas?"

"Pas sekali! Tidak ada masalah!"

Asylin terkekeh pelan. "Syukurlah, kalau begitu kita mulai saja, jangan lupa kunci pintumu," ujar Asylin mengingatkan. Casey mengangguk lalu mengunci pintu kamarnya setelah itu menyusul Asylin yang sudah lumayan jauh darinya.

Casey tidak hanya bersama Asylin, pelayan-pelayan yang lain pun sudah siap untuk mengawali hari dengan semangat yang membara.

"Ngomong-ngomong Gwen, kau harus bertemu dengan kepala pelayan terlebih dahulu," ujar salah satu pelayan dengan surai pendek.

"Ah, aku baru ingat ada kepala pelayan," batin Casey.

"Seharusnya kemarin, tapi karena beliau sedang sakit jadi diwakilkan oleh Asylin. Ya, kan, Asylin?"

Asylin hanya mengangguk seraya tersenyum tipis.

"Oh ... lalu kapan aku bertemu dengan beliau?" tanya Casey.

"Sekarang," jawab Asylin seraya menarik lengan Casey membuat korban terkesiap. "Kalian langsung saja bekerja, kami akan menyusul."

"Roger!"

Jujur saja, jantung Casey sedikit berdebar karena akan bertemu dengan kepala pelayan. Saat ia memainkan game ini di dunia nyata, kepala pelayan itu memiliki sifat tegas dan terbilang galak menurut Casey. Mirip-mirip seperti ibunya tapi levelnya lebih atas.

"Anu, Asylin, kalau boleh tahu, memangnya kepala pelayan sakit apa?" tanya Casey untuk memecah keheningan karena sepanjang jalan di mansion itu hanya terlihat mereka berdua saja.

"Kelelahan dan kepalanya sering terasa pusing. Jadi beliau harus banyak-banyak istirahat," jawab Asylin. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar yang tertera tulisan 'kepala pelayan'.

Asylin menoleh ke arah Casey. "Siap?"

Casey meneguk ludahnya kasar lalu mengangguk ragu. Asylin mengetuk pintunya terlebih dahulu.

Tok tok!

"Mrs. Belinda, ini saya, Asylin."

"Masuk." Suara yang lumayan kecil dari dalam kamar. Asylin akhirnya membuka pintu tersebut masuk ke dalam kamar, Casey mengikutinya dari belakang.

Ruangan tersebut penuh dengan bingkai foto keluarga, yang Casey yakini itu adalah keluarga dari Mrs. Belinda. Harum kamarnya beraroma bunga ditambah kayu mahoni. Ditambah konsep kamar tersebut lebih klasik dibanding ruangan lainnya. Terlihat nyaman sekali untuk ditempati.

Casey berhenti mengagumi seisi kamar itu, lalu beralih pada wanita paruh baya yang berada di ranjang kayu tersebut. Ia memberanikan diri untuk tersenyum pada Mrs.Belinda.

"Mrs. Belinda, biar saya perkenalkan gadis yang ada di sebelah saya. Namanya Gwen yang akan menjadi pelayan baru di mansion ini," jelas Asylin.

"P-perkenalkan nama saya Gwen Valerian. Mohon bantuannya Mrs.Belinda." Casey membungkuk layaknya orang jepang yang pernah ia lihat di film animasi dari negara sakura itu. Mrs Belinda hanya menatapnya dengan ekspresi datar, membuat telapak tangan Casey berkeringat karena saking groginya.

"Apa kau handal dalam urusan rumah tangga?" tanya Mrs.Belinda to the point. "Membersihkan ruangan lebih tepatnya, lanjutnya.

"Rasanya aku ingin berteriak tidak bisa tapi takut akan didepak dari tempat ini." batin Gwen.

"S-saya bisa ...."

Mrs.Belinda memalingkan pandangannya, meraih gelas teh hangatnya. "Bekerjalah dengan sungguh-sungguh, jangan kecewakan tuan Noel, Luke, Eric dan tuan Gabriel. Prioritas kami adalah mereka."

"B-baik, Mrs.Belinda ...."

"Tolong gantikan aku dahulu selama aku tidak ada, Asylin. Jangan sampai ada masalah," titah Mrs.Belinda.

Asylin mengangguk sopan. "Baik, Mrs.Belinda. Saya berjanji."

Cklek

Casey mendesah lega setelah mereka keluar dari kamar Mrs.Belinda. Melihat tingkah Casey, Asylin terkekeh geli. "Kau terlihat sangat gugup, Gwen."

"Huaa, tentu saja, aku sedikit takut sejujurnya ...."

"Aku tahu, haha. Kalau begitu, ayo kita mulai bekerja, sebelum matahari kian terlihat."

Asylin dengan lugas menjelaskan banyak hal pada Casey seraya mengelap guci berwarna keemasan. Terlihat mahal, jangan tanya berapa harganya. Harga diri Casey pun bisa dibeli sepertinya. Casey bisa melihat betapa telatennya Asylin dalam bekerja, selama ini ia sama sekali tak pernah memperhatikan begitu fokusnya dengan pekerjaan sebagai pelayan. Hidupnya hanya makan, tidur, mandi, dan bermain game saja. Casey mencoba mengikuti Asylin, ia mengelap sebuah lemari kaca yang menjulang tinggi. Ia benar-benar harus fokus, jika tidak, bisa-bisa dirinya menyenggol sesuatu yang harganya sudah pasti semuanya fantastis.

Setelah merasa sudah selesai membersihkan debu-debu yang melekat di suatu barang, kini mereka harus menyapu debu dan kotoran itu.

"Gwen, kau bisa sapu dari ujung sana," titah Asylin.

"O-oke."

"Kalau begitu aku tinggal dulu, aku harus membersihkan ruangan lain."

"E-eh? Aku di sini sendiri?" tanya Casey, wajahnya sedikit pucat.

"Ya, kau bisa, kan? Aku tidak akan lama, kok."

"B-baiklah ...."

Melihat mimik wajah Casey yang sedikit ragu, membuat Asylin tersenyum simpul seraya menepuk bahu Casey dengan lembut. "Semangat! Yang terpenting adalah teliti dan berhati-hati dalam mengerjakan sesuatu. Semua akan baik-baik saja," ujarnya berniat menenangkan.

"Aku mengerti." Casey tersenyum merasa bersyukur telah bertemu dengan Asylin yang begitu baik dan sabar mengajarinya.

Setelah kepergian Asylin, kini tinggal Casey seorang diri di ruangan itu. Ia meraih gagang sapu dan pengkinya. Dirinya yakin bisa melakukannya setelah 3 jam menonton semua video cara menyapu dengan benar. Dengan telaten dan berhati-hati Casey menyapu, tak sedikit pun membiarkan debu-debu mengumpat di sela-sela lemari mau pun sofa.

Mission Complete.

Casey tersenyum puas seraya mengelap keringat di dahinya setelah berhasil menyapu seluruh lantai yang ada di ruangan keluarga. Ternyata sungguh melelahkan apalagi ruangan tersebut sangatlah luas. Tak lama dari itu, Asylin telah kembali dari ruangan lain menghampiri Casey.

"Sudah selesai, Gwen?"

"W-wa! Kau mengagetkanku! Aku telah selesai menyapunya. Kau sudah selesai?"

"Ya, kita tinggal mengepel saja sepertinya. Lalu pindah ke dapur untuk membantu para koki menyiapkan sarapan."

Casey menganga melihat Asylin yang terlihat tidak lelah, bahkan ia sangat cepat membersihkan ruangan lain.

Memang levelnya sudah sangat berbeda.

Karena sudah tak memiliki banyak waktu lagi, mereka segera mengepel lantai dari area yang berbeda. Ia sebenarnya sedikit ragu, jika dirinya mengepel dengan posisi maju, lantai yang sudah di pel malah akan kotor lagi karena terinjak olehnya.

"Gwen!" panggil Asylin membuat Casey terkejut. Tatapannya tak percaya melihat cara mengepel Casey.

"Y-ya?"

"Kau salah posisi ... bukan seperti itu caranya, kau harus berjalan mundur agar lantai yang sudah bersih tak terinjak lagi olehmu," koreksi Asylin. Wajah Casey langsung saja memerah karena malu.

Ternyata benar yang ia lakukan salah!

"M-maaf! Aku sungguh-sungguh minta maaf!" Casey menunduk dalam, malah membuat Asylin terkekeh pelan.

"Tidak apa-apa. Lanjutkan lagi saja, Gwen."

Kali ini Casey memperbaiki cara mengepelnya, dan setelah selesai semua mereka pindah lagi menuju dapur. Para pelayan yang lain pun telah berada di sana. Karena satu jam lagi waktu para tuan untuk sarapan pagi.

Aroma makanan menyeruak masuk ke dalam rongga hidung Casey setelah sampai di dapur. Rasanya perut Casey ingin berteriak meminta makan, tetapi sadar dengan posisinya. Karena memang belum waktunya para pekerja untuk makan.

Casey mulai membantu meletakkan piring yang telah terisi makanan lezat itu ke meja makan. Ia juga sedikit membantu bagaimana meletakkan garpu, sendok, dan pisau sesuai kegunaannya. Karena dirinya memang terbiasa dengan table manner.

"Gwen, bisakah kau membangunkan Tuan Eric? tanya Olla salah satu pelayan.

Netra Casey membulat, dirinya harus membangunkan Eric? Seorang diri?

"A-aku?" Casey memastikan kembali.

"Ya, aku sedikit tidak enak perut, tolong aku, ya?" pintanya lagi.

"Pergilah Olla, biar Gwen yang melakukannya." Asylin mengambil alih. Olla sumringah dan langsung saja pergi ke kamar kecil untuk menyelesaikan urusannya.

"Kau bisa kan, Gwen?" tanya Asylin. "Tuan Eric sedikit santai, tidak seperti tuan Luke mau pun tuan Noel. Dan juga, apabila tuan Eric saat dipanggil tak ada sahutan, kau boleh masuk ke dalam kamarnya. Itu perintah dari beliau juga."

Casey mengangguk ragu seraya tersenyum kikuk. "B-baiklah."

Tak menunggu lama, Casey langsung bergegas menuju ruangan Eric. Ia mencoba mengingat di mana ruangan para empat pria itu. Sampai ia terhenti di sebuah pintu berwarna putih tulang. Ia menoleh ke kanan kiri untuk memastikan patokan area tersebut, dan meyakini bahwa pintu di depannya ini memang kamar pria pilihannya.

Casey menarik napas panjang dan mengembusnya perlahan, mencoba menetralkan kegugupannya. Setelah merasa hatinya mantap, ia mengetuk pintu itu.

Tok tok!

"Tuan Eric? Saya Gwen ingin memberitahukan bahwa sarapan sebentar lagi akan siap."

Tak ada jawaban.

Tok tok!

"Tuan Eric?" panggil Casey lagi.

Casey sudah memasang telinganya dengan baik untuk menangkap suara, tetapi memang sama sekali tidak ada jawaban dari dalam kamar. Casey meneguk ludahnya kasar, berarti dirinya harus masuk ke dalam kamar jika seperti ini.

Karena sudah tak ada waktu lagi untuk berpikir panjang, Casey memutar kenop pintu tersebut dengan pelan.

Di sanalah Eric berada. Pria itu masih berada di ranjangnya, terlelap seperti enggan untuk bangun karena nyaman berada di alam mimpi. Casey menatap pria bersurai light brown, bulu matanya yang lentik, dan segala hal yang menempel pada pria itu benar-benar membuat mahakarya ciptaan tuhan yang begitu indah. Jantung Casey berdebar dengan kencang karena bisa melihat Eric dengan jarak sedekat ini.

Rasanya Casey tak tega untuk membangunkan Eric, tetapi pria di depannya ini butuh asupan nutrisi, dan Casey pun bisa-bisa kena marah jika tak berhasil membangunkan Eric.

"T-tuan Eric, sudah saatnya bangun." Casey mencoba membangunkannya lagi.

Casey lega setelah Eric mulai mengerang merasa tak nyaman dengan tidurnya, tetapi Casey langsung dibuat kecewa karena ternyata Eric hanya mengubah posisinya.

Ya, seperti inilah kesalnya ibu Casey saat membangunkan anaknya.

Casey memberanikan diri untuk menepuk lengan Eric, "Tuan, ayo bangun ...."

"Hm ... sebentar lagi ...."

"T-tidak bisa Tuan, sarapan sudah si-"

Lengan Casey ditarik pelan oleh sebuah lengan kekar dan membawanya ke dalam pelukan hangat tuannya. Netra Casey membulat, jantungnya kembali berdebar dengan kencang. Sedangkan pria tampan itu masih terlelap dengan memeluk dirinya. Ia ingin lepas, tapi lengan Eric begitu kuat. Casey tak ingin Eric merasakan detak jantungnya yang terus berpacu dengan cepat.

"Tidurlah," ujar Eric yang masih mengigau bahkan tanpa sadar membelai punggung Casey dengan lembut.

Wajah Casey kian merona, tubuhnya seakan tersetrum saat tangan itu membelainya.

Tuhan, Casey harus bagaimana?!